Sabtu, 05 Oktober 2013

Ritual menyembah setan marak di India
 
India - Kelompok Kristen di Negara Bagian Nagaland, sebelah timur India, sedang bekerja keras untuk meredam semakin meningkatnya pertumbuhan pemujaan setan, setelah beberapa laporan menyebut ribuan remaja dari jemaat gereja melakukan ritual menyembah setan dalam beberapa bulan terakhir.

Kantor berita milik Vatikan Agenzia Fides baru-baru ini melaporkan bahwa lebih dari tiga ribu anak muda diidentifikasi telah melakukan ritual menyembah setan di Ibu Kota Kohima, Nagaland, seperti dilansir situs the Huffington Post, Selasa (9/7).

Direktur Gerakan Misionaris Nagaland, Wati Longkumer, mengatakan kekuatan sebenarnya dari bentuk penyembahan setan ini memang sulit untuk ditentukan. Namun, kelompok itu juga ada di kota terbesar di Nagaland yaitu Dimapur, dan mereka menggunakan situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter untuk memperluas jaringan mereka.

"Beberapa anak muda Kristen yang menolak menyembah setan telah memberitahu kami bahwa mereka dipanggil untuk melakukan ritual lewat tengah malam di Pemakaman Korban Perang Kohima dan di lokasi lain. Mereka juga diminta memakai kaos hitam dan akan dipanggil dengan julukan baru," kata Longkumer.

Dia mengatakan dirinya telah melihat salah satu bentuk keanggotaan dari penyembah setan yang menamakan diri mereka sebagai Sapi Jantan Hitam, dan mengajak anak-anak muda untuk menjadi bagian dari penyembah setan.

Organisasi yang dibentuk Longkumer menjadi bagian dari Dewan Gereja Pembabtis Nagaland, yang terdiri dari lebih 1.300 jemaat, dan telah mengerahkan departemen kepemudaan mereka untuk memberi laporan rinci terkait masalah ini.

Lebih dari 90 persen penduduk Nagaland, yakni dua juta orang Kristen, dan sekitar tiga perempat dari mereka mengidentifikasi sebagai Nasrani.

Sementara perwakilan Persekutuan Injil India yang berbasis di Nagalan mengatakan beberapa orang tua merasa khawatir dengan nasib anak-anak mereka jika meninggalkan rumah sekitar tengah malam.

"Bentuk penyembahan setan telah mengubah sikap dan pandangan hidup para pemuda, meskipun belum ada aktivitas kriminal yang dilakukan oleh mereka telah dilaporkan sejauh ini," ucap dia.

Pada April lalu, kelompok gereja-gereja di Nagalan telah membuat organisasi untuk menyelamatkan anak-anak muda dari jeratan penyembahan setan. Gereja Katolik Roma di Nagaland mengatakan pihaknya terkejut mengetahui tentang fenomena ini dan bekerja sama dengan kelompok dari Kristen Protestan untuk melawan hal itu.(DAP)

Selasa, 01 Oktober 2013

PENYEGELAN GEREJA St. BERNADETTE


GEREJA St. BERNADETTE.jpg
Photo Repro Inet
Gereja Paroki St Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan, didemo massa yang mengatasnamakan warga sekitar pada Ahad, 22 September 2013, sekitar pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Massa menggembok gereja tersebut dari luar dan meminta pembangunan gereja dihentikan, seperti dilansir TEMPO.CO, Senin, 23 September 2013.
Pastor Paroki St Bernadette, Paulus Dalu Lubur, CICM, menjelaskan, Para pendemo datang dengan mengenakan pakaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna merah. "Seperti mau berperang saja," ucap Romo Paulus. "Mereka mengatasnamakan warga sekitar," tambah Romo.
“Saya percaya mereka yang datang kemarin tidak mayoritas, atau tidak seratus persen warga di situ. Kami sudah mendapatkan dukungan dari beberapa ustaz, haji, dan pemuka masyarakat di sekitar lokasi rencana pembangunan gereja,” ujar Romo.
Terkait hal itu, Sekretaris Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Antonius Benny Susetyo mengatakan, bahwa gereja tersebut sudah mendapatkan IMB pada 11 September 2013 dan baru akan memulai pembangunan.
“Gereja baru saja mendapat IMB. Masyarakat sekitar sudah menyetujuinya. Kita berharap agar aparat keamanan memberi jaminan rasa aman,” kata Benny.
Menyikapi sikap dan tindakan para pendemo yang menggembok pintu masuk tempat peribadatan umat St. Bernadette, Bintaro, Tangerang Selatan, Ketua Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila mengecam penyegelan gereja St. Bernadette yang dilakukan oleh massa. Ia menilai kasus penyegelan rumah ibadah berulang akibat ketidaktegasan aparat penegak hukum. "Para pelaku intoleransi beragama itu tak pernah mendapat hukuman yang membuat jera, kejadian serupa kerap berulang," katanya kepada Tempo, Senin 23 September 2013.
"Penegakan hukumnya masih tidak tegas, seharusnya tidak boleh ada bias penegak hukum kepada kelompok mayoritas," kata Siti.
Dia meminta aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa menegakkan aturan yang seimbang. "Peraturan kan hanya ada satu, jangan malah mendukung tirani mayoritas," ujar Siti. Apalagi, saat ini semakin banyak kelompok fanatik yang muncul dan pada akhirnya main hakim sendiri.
Hal senada juga disampaikan oleh mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Salahuddin Wahid, meminta pemerintah Tangerang Selatan ikut menyelesaikan masalah penyegelan Gereja Paroki Santa Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan.
Pria yang akrab disapa Gus Solah itu mengatakan; "Wali Kota harus berkoordinasi dengan kapolres, camat, lurah, serta tokoh masyarakat,"
Masalah intoleransi beragama seperti ini, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. "Kalau pemerintah diam saja, apa gunanya ada pemerintah?" ujar adik mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Gus Solah mengatakan pemerintah harus melindungi kebebasan warganya untuk beribadah tanpa memandang status mayoritas atau minoritas.
Menurut dia, tindakan massa menggembok gereja merupakan sebuah pelanggaran hukum. "Seharusnya yang bisa menyegel hanya aparat pemerintah, itu pun kalau tak ada izin," katanya.
Gus Solah mengatakan masalah perizinan tempat ibadah memang harus diselesaikan. Gus Solah menganggap seluruh tempat ibadah memang harus memiliki izin. Akan tetapi, penyelesaian masalahnya tak boleh dilakukan sendiri oleh warga di sekitar tempat ibadah.

Jumat, 27 September 2013

Pengacara Kenya Gugat Penyaliban Yesus Kristus

DEN HAAG — Seorang pengacara mengajukan gugatan hukum adalah hal biasa. Namun, jika kasus yang digugat terjadi 2.000 tahun lalu, mungkin jadi hal luar biasa.

Dola Indidis, seorang pengacara asal Kenya, mengajukan sebuah gugatan hukum ke Pengadilan Kriminal Internasional (IJC) di Den Haag, Belanda.

Namun, yang digugat Indidis adalah peristiwa penyaliban Yesus Kristus yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu.

Dalam gugatannya, Indidis menuntut Pemerintah Italia dan Israel atas pengadilan dan penyaliban Yesus yang dinilainya tidak adil.

Dalam berkas gugatan yang dimasukkannya ke IJC, Indidis menggugat Gubernur Yudea Ponsius Pilatus, Raja Yudea Herodes, Kaisar Romawi Tiberius, sejumlah tetua Yahudi, Republik Italia dan Israel.

"Saya memasukkan gugatan karena pengadilannya yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan, dan kecurigaan," kata Indidis.

ICJ dikabarkan sudah membentuk sebuah panel awal untuk memeriksa gugatan Indidis, tetapi panel ini menemukan masalah "kecil".

"ICJ tidak memiliki yurisdiksi untuk kasus semacam ini," kata juru bicara ICJ.

"ICJ menangani kasus persengketaan antarnegara. Dan secara teori kami tidak bisa menerima kasus ini," tambah juru bicara itu.

Bukan kali ini saja Indidis mencoba untuk mengajukan kasus ini. Pada 2007 dia memasukkan gugatan yang sama ke Pengadilan Tinggi Kenya.