Rabu, 12 Oktober 2011

PERSEPSI

Ada sebuah kisah nyata yang terjadi di Vietnam ratusan tahun yang lalu dengan judul ”The temple to Truong's wife is located on the side of the Hoang river, village of Vu dien, district Ly Nhan, province of Ha Nam. Bila anda sempat mengunjungi Vietnam, tanyalah kisah istri Tuan Truong ini kepada warga setempat, mereka pasti tah...u persis kisahnya. Berikut ini kisah singkatnya :

Ada seorang pria yang masih sangat muda, ia harus mengikuti wajib militer, harus menjadi tentara dan berperang. Ketika itu istrinya sedang hamil sehingga ia harus meninggalkan istrinya sendirian di rumah. Saat berpisah mereka menangis cukup lama karena ia tidak tahu apakah sang suami akan kembali dengan selamat atau tidak. Pergi berperang tentulah sangatlah beresiko. Bisa saja mati dalam beberapa minggu, beberapa bulan, atau mungkin juga terluka parah atau jika beruntung akan pulang selamat.

Singkat cerita, pria muda tersebut cukup beruntung, dia selamat. Beberapa tahun kemudian dia dibebastugaskan. Istrinya sangat gembira mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dengan ditemani anak laki-lakinya yang masih kecil, dia pergi ke pintu gerbang desa untuk menyambut suaminya. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya masih bergabung dengan pasukan militer.

Pada saat mereka bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan, mereka menitikkan air mata kegembiraan. Mereka sangat bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah. Saat itu adalah saat pertama kalinya pria itu melihat anak laki-lakinya yang masih kecil.

Berdasarkan tradisi, mereka harus membuat persembahan di altar leluhur, untuk memberitahu para leluhur bahwa keluarga telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar untuk membeli bunga, buah-buahan dan barang persembahan lain yang diperlukan untuk membuat persembahan di altar. Pria itu membawa anaknya pulang dan mencoba membujuk anaknya untuk memanggilnya ayah. Tapi anak tersebut menolak.

“Tuan, kamu bukanlah ayah saya. Ayah saya adalah orang lain. Dia selalu mengunjungi kami setiap malam, dan setiap kali ia datang, ibu saya akan berbicara dengannya lama sekali. Saat ibu duduk, ayah saya juga duduk, saat ibu tidur, dia juga tidur. Jadi, kamu bukanlah ayah saya.”

Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Dia membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Semua kebahagiaan lenyap seketika. Ayah muda tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah es. Dia tidak dapat lagi tersenyum. Dia menjadi sangat pendiam.

Istrinya yang sedang berbelanja, tidak tahu sama sekali mengenai hal ini. Sehingga, sewaktu ia pulang ke rumah, ia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap wajahnya lagi. Dia tidak mau berbicara, dia menjadi sangat dingin, seakan-akan memandang rendah istrinya. Wanita itu tidak mengerti, Mengapa? Sehingga sang istri mulai menderita. Menderita sangat mendalam.

Setelah persembahan selesai dibuat, wanita tersebut meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa kepada para leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat sujud dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Setelah selesai, ia tidak mengizinkan istrinya melakukan hal serupa, karena ia berpikir istrinya tidak pantas menampakkan dirinya di depan altar para leluhur. Wanita muda itu kemudian merasa malu, “terhina” karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi.

Menurut tradisi, selesai upacara, mereka harus membereskan persembahan dan harus duduk bersuka cita menikmati makanan dengan kegembiraan. Tetapi pria muda itu malah pergi keluar ke desa, menghabiskan waktunya di kedai arak. Lalu mabuk karena dia tidak dapat menanggung penderitaannya. Ia tidak pulang ke rumah hingga larut malam. Dia mengulangi perbuatan itu hingga beberapa hari, tidak pernah bicara dengan istrinya, tidak pernah menatap istrinya, tidak pernah makan di rumah. Wanita muda tersebut sangat menderita dan ia tidak dapat menanggungnya. Pada hari keempat, ia melompat ke sungai dan mati.

Karena istri telah meninggal, malam itu suami harus tetap tinggal di rumah untuk menjaga anak laki-lakinya yang masih kecil. Dia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya. Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak : “Ini dia Ayahku!” Dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding. “Tuan, ayahku biasanya datang tiap malam dan ibu berbicara banyak dengannya, dia menangis di depannya, setiap kali ibu duduk, ayah juga duduk, setiap kali ibu tidur, ayah juga tidur.” Jadi “ayah” yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah bayangan ibunya. Ternyata, wanita itu biasanya berbicara dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan suaminya.

Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya :”Setiap orang di desa memiliki ayah, kenapa aku tidak punya ?’’ Untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk bayangannya di dinding dan berkata : “Ini dia ayahmu!” dan ia mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak kita sendirian ? Tolong, cepatlah pulang sayang.”
Itulah percakapan yang sering ia lakukan. Tentu saja saat ia duduk, bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mengerti. Dia sadar akan kesalahannya, dia mulai menangis dan terus menangis, dia menjambak rambutnya, dia memukul dadanya. Tapi semua sudah terlambat, istrinya sudah mati.

Akhirnya semua penduduk desa belajar dari tragedi itu, mereka lalu mendoakan wanita malang itu dan mendirikan sebuah stupa untuk mengingatkan kepada setiap orang persepsi keliru dapat membuatmu menderita hebat.

Pesan apakah yang dapat kita ambil dari cerita di atas ?

Manusia cenderung selalu melakukan pengandaian dalam berbagai hal. Banyak sekali ‘andai’ dan ‘andai’. Pengandaian yang muncul dalam diri manusia berasal dari persepsi yang ada dalam benaknya. Dan manusia cenderung merasa persepsinya selalu benar sehingga ia merasa mampu membaca pikiran orang lain dan peristiwa mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin tidak bisa mengendalikan setiap kondisi dan situasi, tapi kita bisa mengendalikan ‘reaksi’ kita terhadap kondisi dan situasi tersebut. Lucunya seringkali kita yang selalu ingin mengubah dunia. Seolah-olah hidup kita baru lebih bahagia setelah dunia setuju dengan cara kita, hidup kita baru terpuaskan bila dunia berjalan sesuai kehendak kita. Kita ingin dunia berubah seperti kehendak kita. Alih-alih mendapatkan kedamaian, malah bertambah penderitaan. Dengan kata lain, seringkali karena bersikukuh dengan persepsinya, manusia mengalami akhir yang tak mengenakkan, bahkan suatu "tragedi". Itulah resiko yang harus kita tanggung kalau kita selalu mendewakan persepsi.

Sesungguhnya, kita semua punya kemampuan mengubah akhir yang tak mengenakkan itu bila mau ‘berbicara’. Namun terkadang kemampuan ‘berbicara dan mendengarkan’ kita dikalahkan oleh harga diri yang begitu tinggi karena berpegang teguh pada persepsi. Harga diri mencegah kita untuk memahami kebenaran yang ada dalam diri orang lain. Sebagai contoh, saat menderita, kita selalu yakin penderitaan ini disebabkan oleh orang lain. Kita lebih memilih menderita dengan memegang persepsi keliru yang kita anggap benar. Dalam hal beriman kepada Tuhan pun kita cenderung memakai persepsinya sendri. Tuhan dipersepsikan semau kita. Manusia tidak mau membuka diri pada sosok Tuhan yang sesungguhnya. Maka jangan heran, banyak orang yang tidak mau membaca Alkitab karena merasa sudah tahu Tuhan. Jadi ada baik saat kita merasakan sesuatu, kita perlu bertanya : “Apakah kita yakin persepsi kita benar ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.