Minggu, 26 Februari 2012

AS Kutuk Laporan Pendeta Iran yang akan Dieksekusi karena Pindah Agama
 
 
Amerika Serikat mengutuk laporan bahwa pengadilan Iran telah menyetujui hukuman mati bagi seorang pendeta Kristen warga Iran yang dinyatakan bersalah murtad, atau meninggalkan agama Islam.

Gedung Putih mengatakan hari Kamis tindakan Iran terhadap Pendeta Youcef Nadarkhani adalah satu lagi “pelanggaran yang keterlaluan” kewajiban internasionalnya, undang-undang dasar dan nilai-nilai agamanya sendiri.


Nadarkhani beralih agama ke Kristen ketika ia masih remaja dan menjadi pendeta Gereja Iran yang beranggotakan 400 orang di kota Rasht, Iran utara. Ia ditangkap tahun 2009 dan dinyatakan pengadilan bersalah murtad, kemudian dijatuhi hukuman mati tahun lalu.


Situs Internet reformis Iran “Rahsa News” mengatakan hari Selasa pihak berwenang telah menyampaikan perintah eksekusi ke penjara Rasht dimana Nadarkhani ditahan. Laporan itu mengatakan pendeta tersebut dapat dieksekusi setiap saat sekarang.


Gedung Putih mengatakan peradilan Nadarkhani dan proses penghukuman itu menunjukkan apa yang disebutnya “pelanggaran yang terus-menerus hak-hak universal warganya” oleh pemerintah Iran. Gedung Putih meminta kepada masyarakat internasional agar menyampaikan kepada Iran tuntutan pembebasan segera pendeta itu. Amerika Serikat dan Iran memutuskan hubungan diplomatik setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979.


Dalam pernyataan lain, Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan Washington juga telah menyaksikan peningkatan dramatis penangkapan kaum Bahai oleh Iran dan penindasan semua bentuk kebebasan mengutarakan pendapat.(MWP)

Pemimpin Gereja Harus Melek Hukum
Medan - Momentum World Prayer Assembly (WPA) 2012 menghangat di Sumut. Menjelang perayaan Hari Doa Sedunia di Sumut Tahun 2012 banyak kegiataan telah mewarnai kegiatan gerakan doa sedunia yang dilaksanakan di 220 negara dan 200 kota di Indonesia ini. Jumat, 24 Februari lalu, bertempat di GSJA Anugerah Jalan Mojopahit Medan digelar seminar “Sumatera Utaraku Sadar Hukum dan HAM”, dan ibadah doa bersama.

Sebagai Pembicara Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Wilayah Sumut, Baldwin Simatupang BcIP SH MH dan moderator Burhan Sidabariba SH MH. Dalam seminar tersebut Baldwin Simatupang menjelaskan, masyarakat harus berupaya mematuhi hukum yang berlaku dan tidak melanggar HAM. “Gereja dan jemaatnya hendaknya terlibat mengambil kebijakan dalam kemajuan negeri ini,” ucapnya.


Acara ini digelar Yayasan Sumatera Berdoa dan dihadiri para pemimpin interdenominasi gereja di Sumut, tokoh kristen, aktivis dan pemuda gereja. Dalam ibadah doa bersama, doa pembuka dan pujian dibawakan oleh Pdt JD Manullang dan doa persembahan oleh Pdt Alexander Agustine.

Doa syafaat masing-masing dibawakan Ir Binsar Nainggolan MSi yang mendoakan tentang kebahagiaan orang yang berpegang teguh pada hukum (Amsal 29 : 18b). Pdt H Tambunan berdoa untuk suksesnya pelaksanaan WPA 2012 di Sumut. Berdoa untuk kesatuan tubuh kristus dibawakan AP Bangun dan berdoa agar tercipta kerukunan dan persaudaraan sejati di Sumut dan Indonesia disampaikan Pdt Dian Susiarto MTh.

Kata sambutan dari Sumatera Berdoa oleh Pdt DR Paul F Wakkary. Menurut Ketua Panitia WPA 2012 di Sumut ini, puncak WPA 2012 di Sumut akan digelar pada 16-17 Mei mendatang. Pada 16 Mei 2012 WPA 2012 di Sumut akan digelar di Lapangan Benteng Medan yang dihadiri oleh anak sekolah minggu dan pada 17 Mei mendatang akan dihadiri para orangtua dan pemuda di Pardede Hall, Medan.


Selanjutnya dalam acara itu pengumuman oleh Johnny Silaban dan doa penutup oleh Pdt Samuel Ghozaly D. Sementara itu dalam temu persnya di Medan Club pada hari Rabu (22/2) yang dihadiri Ketua Yayasan Sumatera Berdoa JA Ferdinandusmengharapkan seminar dapat membekali para pemimpin interdenominasi gereja di Sumut dengan kesadaran hukum dan HAM dan sekaligus mewujudkan Sumut yang sadar Hukum dan HAM.(MWP)

Selasa, 14 Februari 2012

Tips Sukses Mendirikan Gereja Di Indonesia Ala Yayasan Paramadina
 
JAKARTA (Jaring News) -
Di tengah maraknya kisruh pendirian gereja dan tempat ibadah lainnya di Indonesia, ada berita sejuk. Sebuah laporan penelitian tahun 2011 yang dilakukan oleh tim peneliti Yayasan Paramadina, sebuah organisasi sipil yang membidangi toleransi agama, menemukan ada tiga faktor di balik kisah-kisah sukses tujuh dari 13 gereja yang diteliti yang berhasil mendirikan gereja. Penelitian yang bertajuk “Kontroversi Pendirian Gereja di Jakarta dan Sekitarnya,” itu diungkapkan oleh Testriono, peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam tulisannya di situs kantor berita Common Ground (www.commongroundnews.com) kemarin (10/1).

Menurut dia, di seantero Indonesia, ada banyak gereja yang berhasil mendapatkan izin pembangunan gereja, dan jemaatnya beribadah dengan tenang di tengah masyarakat yang majemuk dari segi agama yang dianut. Dalam penelitian yang dilakukan Yayasan Paramadina tersebut terungkap berbagai faktor yang mengakibatkan adanya hubungan antaragama yang konstruktif dan berbagai situasi di mana gereja berhasil mendapatkan izin pendirian.

Ada tiga faktor, paling tidak. Faktor pertama adalah dukungan dari pemerintah setempat dan kepolisian. Mereka memiliki wewenang untuk menerima atau menolak pengajuan izin pendirian gereja dan menghentikan massa yang ingin mengganggu proses pembangunan gereja. Dalam kasus GKI Terang Hidup Jakarta misalnya, kepolisian setempat memfasilitasi dialog antara panitia pembangunan gereja dan kelompok-kelompok yang menentang pembangunan gereja tersebut. Kepolisian juga memberikan pengamanan dan menginformasikan masyarakat sekitar tentang proses ini.

Faktor kedua adalah dukungan dari tokoh agama setempat. Misalnya, dalam kasus gereja St. Mikael Bekasi, panitia pembangunan gereja mendekati seorang tokoh Muslim yang memiliki banyak pengikut di daerah itu. Pendekatan ini berhasil menciptakan hubungan baik dan mengubah sikap tokoh ini untuk mendukung pendirian gereja tersebut.

Faktor ketiga adalah keberhasilan dialog dengan masyarakat Muslim di daerah sekitar untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk menegaskan bahwa gereja tersebut tidaklah dibangun untuk memfasilitasi kristenisasi terhadap umat Muslim, tetapi untuk digunakan oleh anggota gereja saja. Semua gereja yang sukses didirikan yang diteliti bisa meyakinkan masyarakat sekitar bahwa pembangunan gereja tidak dimaksudkan untuk memurtadkan umat Muslim.

Misalnya, ketika gereja St. Albertus Bekasi dibangun, panitia pembangunan gereja mengajak masyarakat sekitar, aparat pemerintah setempat dan kepolisian untuk mengadakan sejumlah dialog. Pendekatan yang berulang ini perlahan meyakinkan masyarakat sekitar untuk bisa mendukung pendirian gereja tersebut.

“Ini adalah beberapa faktor penting untuk memelihara hubungan baik antara kelompok mayoritas agama dan kelompok minoritas – dan semestinya dipublikasikan secara lebih luas. Faktor-faktor ini bisa juga berlaku untuk kesuksesan pendirian masjid di daerah-daerah mayoritas Kristen,” tulis Testriono.

Meskipun demikian, ia juga mengingatkan tetap penting bagi panitia pembangunan untuk mengantisipasi respon dari organisasi keagamaan yang konservatif, yang dalam banyak kasus menolak pendirian gereja. Organisasi-organisasi ini, meski sedikit jumlahnya, terus menyuarakan sikap menentang di tempat-tempat tertentu dan memobilisasi warga untuk menentang gereja yang sedang dibangun – sering kali dengan cara-cara kekerasan.

“Untungnya, organisasi-organisasi arus utama, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan sayap pemudanya, telah selalu mendukung hak untuk mendirikan tempat ibadah. Membangun gereja dengan dukungan cabang organisasi-organisasi ini biasanya menghalangi organisasi-organisasi radikal untuk menolak pembangunan gereja dengan kekerasan. Organisasi-organisasi arus utama ini seharusnya terus menuntut agar pemerintah daerah dan kepolisian menjamin hak untuk membangun tempat ibadah serta mengedukasi Muslim untuk secara aktif mendukung hak ini. “

Sumber: http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/9744/tips-sukses-mendirikan-gereja-di-indonesia-ala-yayasan-paramadina

Bona Sigalingging: Kami Tidak Akan Menerima Relokasi


Kelompok Radikal Teror Jemaat GKI Yasmin.jpg

“Tujuan Mendagri itu negosiasi. Pertanyaan saya, negosiasi untuk apa? Masa putusan MA (Mahkamah Agung) dan rekomendasi Ombudsman dinegosiasikan. Negosiasi itu berarti kita tawar menawar. Sekarang ada ribuan putusan pengadilan. Apakah setiap putusan yang berkekuatan hukum tetap lalu dinegosiasikan? Mau jadi apa negeri ini,"  "Kami tidak akan menerima apa pun relokasi,"
Hal itu disampaikan Bona Sigalingging, juru bicara GKI Yasmin, seusai rapat kerja gabungan antara pemerintah dan DPR membahas GKI Yasmin di Kompleks DPR, Rabu (8/2), seperti dirilis Kompas.com
Dalam pertemuan itu Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat, menegaskan tidak akan pernah menerima tawaran relokasi bangunan gereja dari pemerintah. GKI Yasmin akan tetap mendesak agar pemerintah menjalankan putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman RI.
Tawaran itu ditolak, karena Bona menilai secara yuridis putusan MA telah menyebut Wali Kota harus mencabut pembekuan izin mendirikan bangunan gereja, disamping putusan senada oleh Ombudsman.
"Kami sebagai warga negara yang taat hukum akan berpijak pada hukum, tidak pada yang lain. Alasan historis tidak pernah ada di negeri ini usulan relokasi menyelesaikan konflik sejenis. Kita kembalikan ingatan ke kasus HKBP Ciketing, Bekasi. Kami tanya di manakah jemaat HKBP Ciketing beribadah? Tidak di gerejanya yang sah seperti yang dijanjikan relokasi. Padahal mereka dijanjikan secepatnya IMB gereja dikeluarkan," kata Bona.

Senin, 13 Februari 2012

FPI Silaturahmi Tutup Gereja

Posted : 28 Oktober 2011
dilarang-membangun-gereja.jpg

Untuk mendapatkan pem-beritaan yang seimbang atas aksi penutupan GPDI Cituis, REFORMATA dan komisi  hukum PGLII, Hasudungan Manurung menemui Ketua FPI Banten, Habib Muhammad Assegaf beberapa waktu lalu. Dalam perbincangan Habib menjelaskan bagaimana latar belakang aksi penutupan pada 4 September lalu itu.  Dia juga memprotes pemberitaan salah satu media yang dirasakan telah memprovokasi kemarahan dirinya dan kelompoknya.
“Tidak benar kalau kami mengintimidasi GPDI Cituis. Kami tidak melarang agama apa pun untuk beribadah. Kami hanya menyampaikan aspirasi rakyat. Kami ingin meredam kemarahan warga, atas kegiatan gereja tanpa ijin pemerintah yang jelas,” kata Habib.
Upaya penutupan terhadap GPDI Cituis ini terhitung yang kedua kalinya. Pdt. William Laoh, selaku gembala GPDI Cituis, mengakui bahwa sejak tahun lalu, tepatnya 23 November 2010, telah menerima surat dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, Kecamatan Pakuhaji. Surat tersebut bersifat teguran dan pemberitahuan agar seluruh aktifitas gereja dihentikan, dengan alasan tidak memenuhi peraturan SKB 2 Menteri. Kendati telah menerima surat teguran (23/11/2010), aktifitas ibadah di GPDI Cituis tetap dijalankan. William beranggapan surat teguran itu hanya sepihak, karena pihak Kelurahan dan RT, serta masyarakat tidak ada masalah dengan keberadaan GPDI Cituis.   Selain itu, William meyakini dia dan jemaat yang dipimpinnya punya hak yang sama dengan masyarakat lain untuk dapat beribadah sebagai umat beragama. Belum lagi sulitnya mendapatkan surat ijin, menjadi alasan lain untuk GPDI Cituis tetap melakukan kegiatan ibadah.
Sepuluh bulan berlalu, tepatnya pada 5 September 2011, pihak Pemerintah Kabupaten Tangerang, Kecamatan Pakuhaji, kembali mengeluarkan surat penghentian kegiatan kebaktian atas GPDI Cituis, menindaklanjuti aksi penutupan gereja oleh FPI, 4 September 2011.

Beraksi Sesuai Pelaporan
Berawal dari laporan salah satu anggota FPI yang dipimpin Habib Muhammad, yang menyebutkan kalau banyak warga tidak suka dengan kehadiran GPDI Cituis. “Mereka ingin mendirikan gereja dan melakukan kebaktian, tanpa ijin pemerintah,” ungkap Habib mengulang laporan anggotanya. Berdasarkan pelaporan itu, maka Habib meminta bukti penolakan warga. Permintaan Habib diresponi, dan terkumpullah 40 tanda tangan warga yang dikoordinasi oleh Ustad Amung yang sebenarnya akrab dengan Pendeta William, aku Habib.
“Ini bukti kalau masyarakat tidak suka adanya kegiatan GPDI Cituis. Maka silaturahmi yang kami lakukan itu untuk meredam kemarahan masyarakat, yang mau macam-macam,” jelas Habib. Saat diminta bukti tanda tangan tersebut, Habib menyatakan telah memberikannya ke pihak MUI, Kecamatan, dan Polsek.
Aksi penutupan yang diakui Habib sebagai silaturahmi itu, mampu menjadi pendorong dikeluarkannya surat penghentian kegiatan kebaktian atas GPDI Cituis dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, Kecamatan Pakuhaji.
Surat tersebut dikeluarkan berdasarkan surat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Pakuhaji.  Surat bernomor 01/MUI/Pkhj/2011, tanggal 4 September 2011 dan surat dari DPW FPI nomor 150/SB/DPW-FPI tanggal 15 Agustus 2011 itu merupakan pemberitahuan, serta pernyataan penolakan masyarakat Desa Suryabahari dan Desa Sukawali terhadap kegiatan kebaktian atau gereja di Perumahan BTN Cituis Indah.
“Pernyataan kalau kami ditolak oleh masyarakat Desa Suryabahari dan Desa Sukawali, diresponi terbalik, khusus oleh warga sini. Mereka mengaku tanda tangan yang diedarkan tanpa redaksi, mereka dijebak dan sudah disampaikan kepada pihak kepolisian,” urai Pdt. William.
Terkait apa yang disampaikan saksi soal nada ancaman saat dilakukan aksi penutupan, Habib Muhammad Assegaf menyatakan hal itu tidak benar. “Yang menyampaikan itu siapa orangnya? Tidak ada orasi, kami hanya ngobrol-ngobrol dan pulang,” tandas Habib
Mengutip pernyataan Habib bahwa, “kami tidak ingin melarang agama apa pun untuk beribadah,” REFORMATA menyodorkan saran: bagaimana jika Habib dan FPI dapat memberi dukungan kepada GPDI Cituis untuk dapat beribadah? Habib menjawab, “Kami tidak dapat memberi keputusan, masih ada yang lain MUI, Polsek, Kecamatan dan lainnya.” Sementara itu, Simon Hantulaut, yang mengaku sebagai penanggung jawab keamanan daerah setempat dan berada di lokasi saat kejadian mengatakan: “Itu sama sekali bohong. Sudah selesai urusannya, kami sedang upayakan untuk dapat mempertemukan Habib dengan Pdt. William. ”Kondisi perumahan BTN Cituis sejak awal bahkan sampai hari ini sebenarnya selalu aman dan ramah dengan kehadiran GPDI Cituis,” tutur Simon. Namun, lagi-lagi ada sekelompok orang yang tidak suka dan menyebar dukungan. Jika FPI dinilai, dipakai untuk menjalankan penolakan ini, Ketua DPD FPI Provinsi Banten, Habib Muhammad bersuara: “Tolong dibereskan administrasinya. Habib akan mendukung di belakang.”
Kini GPDI Cituis sedang mengupayakan memenuhi persyaratan SKB 2 Menteri, demi ijin yang harus diperoleh untuk dapat beribadah. “Kami akan tetap beribadah, apa pun risikonya. Kami sudah siap,” ungkap Pdt. William pasrah.
Ombudsman Beri Waktu 1 Bulan untuk Selesaikan Kasus GKI Yasmin
 
Jakarta - Komisi Ombudsman RI memberikan waktu sebulan kepada pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan permasalahan GKI Yasmin yang tak kunjung selesai. Waktu enam bulan yang dijanjikan Mendagri Gamawan Fauzi, dirasa terlalu lama.

"Itu (6 bulan) terlalu lama, kasus ini sendiri kan sudah berlarut-larut penyelesaiannya," kata anggota Komisi Ombudsman, Ibnu Tricahyo, kepada detikcom, Kamis (9/2/2012).

Jika dalam waktu sebulan, belum ada kemajuan berarti dari penyelesain kasus GKI Yasmin, Ombudsman meminta kepada DPR untuk kembali memanggil seluruh pihak terkait. "DPR harus punya inisiatif," jelasnya.

Ibnu juga menyarankan, dalam waktu sebulan ini, pemerintah secara gamblang, harus menjelaskan kepada publik kasus GKI Yasmin. Pemerintah harus membuka semua informasi mengenai kasus ini.

"Karena sebenarnya menurut saya ada yang tidak terbuka dalam kasus ini, masalah perizinan dan sengketa itu sendiri adalah dua hal yang berbeda," papar Ibnu.

Pemerintah juga harus berani menunjuk siapa pihak yang salah dalam kasus ini. Negara, tegas Ibnu, tidak boleh kalah terhadap tekanan-tekanan yang ada.

Sebelumnya, DPR sudah meminta agar pemerintah segera menyelesaikan permasalahan GKI Yasmin yang hingga saat ini tidak kunjung terselesaikan.

"Memutuskan agar pemerintah (pusat dan daerah) dalam waktu yang sesegera mungkin menyelesaikan permasalahan GKI Yasmin Bogor secara tuntas dengan melibatkan seluruh unsur dan elemen masyarakat yang terkait," kata Ketua Komisi II, Agun Gunanjar.

Keputusan yang dibacakan tersebut merupakan kesimpulan bersama Komisi II, Komisi III dan Komisi VIII DPR RI. Keputusan ini diambil setelah mendengar keterangan dari Mendagri dan Ombudsman.(MWP)


sumber:
http://www.detiknews.com/read/2012/02/09/082253/1837946/10/ombudsman-beri-waktu-1-bulan-untuk-selesaikan-kasus-gki-yasmin?9911012

Senin, 06 Februari 2012

Konsultasi Theologi

2012, Tahun Kekacauan?


2012, Tahun Kekacauan.jpg

 Pdt. Bigman Sirait
Bapak Pengasuh yang Baik, tak terasa kita telah memasuki tahun 2012. Ada banyak ramalan kalau tahun ini dunia akan berakhir/kiamat.  Banyak kesulitan dan penderitaan akan terjadi di seluruh belahan dunia ini. Bagaimana Bapak menanggapi semua ini? Apakah benar seperti kata Alkitab, bahwa dunia semakin jauh dari Tuhan, dan itulah penyebab dari penderitaan itu? Dan apakah yang diramalkan kiamat itu, maksudnya kehidupan yang semakin kacau dan penuh persoalan? Bagaimana menurut Bapak.
Salam
Norma, Tanjung Priuk-Jakut

Norma yang dikasihi Tuhan, berbicara tentang kekacauan dan kiamat harus proposional, dan ditempatkan secara terpisah. Soal kiamat, dengan tegas dan sangat jelas, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat disurga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja.“(Markus 13:32). Nah, jika kita berbicara tentang tahun 2012 akan banyak kesulitan dan penderitaan, mari kita urut secara teliti dan berdasarkan konteks.
Bicara tentang akhir jaman, dengan jelas Alkitab memberikan indikasi akan bebagai kesulitan dan bahaya. Ada tanda umum akhir jaman yang dapat dibagi dalam beberapa blok, antara lain: Alam, Politik, Sosial, dan Agama.
Dalam tanda alam, dikatakan akan ada bencana alam, kebanjiran, gempa bumi, dan berbagai peristiwa alam lainnya. Ini sudah, sedang, dan akan terus terjadi, hingga titik akhir jaman. Jadi, tak boleh dikatakan, ketika bencana alam terjadi, itu berarti akan akhir jaman – karena tanda itu sudah, sedang, dan akan. Itu sebab, jika kita dengar atau lihat ada bencana dan kita teliti, maka dengan mudah kita akan menemukan bahwa sebelumnya juga ada peristiwa itu. Sampai kapan?  Kita semua tidak tahu.
Begitu juga dengan tanda politik, yang diwarnai dengan perebutan kekuasaan, peperangan antara Negara, atau yang lebih kecil, antara faksi, atau bahkan keributan keributan lokal yang berskala besar. Saat ini, dengan mudah kita melihat pergolakan politik di Afrika, Timur Tengah, dan sekitarnya. Tak terbilang korban yang jatuh, dan tak jelas masa depan bangsa. Semua terjebak dalam kebencian dan usaha untuk saling meniadakan. Manusia semakin beringas dan meningkatnya daya rusak yang mencengangkan. Bahkan persaudaraan bisa terancam oleh ambisi perebutan kekuasaan yang tak kunjung usai.
Sementara dalam konteks sosial, dikatakan akan terjadi kelaparan, bahkan dalam kemajuan teknologi, ini menjadi realita yang tak terbantah. Sebuah fakta yang mencengangkan. Saat ini, setiap hari ada banyak orang yang mati karena kelaparan. Disini, dunia tampak berjalan miring. Di satu pihak ada yang semakin kaya dan jaya, tetapi di pihak lain ada yang terpuruk dan tidak berdaya, bahkan harus mengakhiri hidupnya secara menyedihkan. Dalam isu sosial,  juga ada problema degradasi moral. Manusia menjadi mahluk paling egois, anarkis, sinis, hedonis, materialistis, narsis, dan opportunis. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia berjuang hanya untuk diri, bukan sesama. Bahkan keluarga juga sering terabaikan. Persoalan moral telah menjadi momok penyakit tersendiri dalam kehidupan akhir-akhir ini.
Begitu juga perihal agama. Bangkitnya agama baru yang berorientasi kepada diri, dan ironisnya, tampil berbaju sama tapi jiwa yang sangat berbeda. Dalam kekristenan, uang menjadi tujuan pelayanan, segala cara dilegalitas atas alasan keagamaan. Terjadi pemalsuan ibadah. Alkitab berkata, orang melayani untuk perutnya, sementara umat hanya senang mendengar apa yang cocok dengan telinganya, dan bukan kebenaran. Belum lagi derasnya aliran sesat, yang bukannya menurun, tetapi sebaliknya semakin meningkat jumlahnya, dan sangat hebat daya tariknya. Pengikut mereka terus bertambah, dan sudah dapat dibayangkan klaim mereka sebagai yang diberkati. Mungkin umat lupa, apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, bahwa banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang terpilih. Banyak yang ke gereja tetapi sedikit yang ke surga. Norma yang dikasihi Tuhan, itulah kesulitan yang sudah, sedang, dan akan terus terjadi, dalam konteks akhir jaman.
Sementara berbicara tahun 2012, dengan mudah kita melihat kesulitan yang ada. Ekonomi dalam konteks dunia, cukup meradang. Kesulitan Amerika belum usai, sementara Eropa semakin terseok. Yunani bangkrut, Italia mengganti perdana menterinya. Portugal, dan Spanyol dibayang-bayangi kesulitan. Masyarakat Ekonomi Eropa, bahkan sempat diwarnai isu kembali keposisi semula – dengan masing-masing mata uangnya. Jepang mengalami tsunami, Thailand kebanjiran besar. Timur tengah bergolak, praktis ekonomi terpuruk. Iran dan Israel, didukung Amerika dan kawan-kawan semakin memanas hubungan politiknya. Sepertinya perang hanya menunggu waktu. Apakah tahun 2012? Mungkin ya, tapi mungkin juga tidak. Itu situasi di luar negeri, bagaimana dengan Indonesia?
Untuk kesulitan di Indonesia ada berbagai ancaman berjalan semu. Maksudnya, tampak aman tapi sesungguhnya mencekam. Jakarta, terancam banjir lima tahunan. Pemerintah kota menyatakan telah siap diri menyambut banjir. Membangun tanggul, melebarkan dan membersihkan kali. Tapi, ada yang dilupakan, bahwa lahan hijau untuk penyerapan semakin menghilang di Ibukota, berganti tembok yang menjulang tinggi. Persoalan air tanah yang tak punya pola pengendalian sudah membuat Jakarta turun mendekati permukaan laut. Jika curah hujan tinggi, sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan dataran yang terus menerus menurun. Bukankah persiapan dan kemanan yang dikatakan pemkot bersifat semu? Memang ada yang disiapkan, namun tampaknya lebih besar ancaman yang terabaikan. Itu soal banjir. Sementara soal ekonomi, penduduk Indonesia digambarkan sebagai hebat, karena pendapatan perkapitanya naik tinggi. Padahal, jika diteliti, memang ada kenaikan, tetapi hanya menyentuh orang perkotaan dan jumlahnya tidaklah banyak. Sekedar mengingatkan, bahwa penduduk Indonesia, 69,7% tinggal di pedesaan. Maka, jika jumlah pendapatan sekelompok kecil orang naik 5x lipat, ditambah dengan semua orang di pedesaan, lalu dibagi rata, tampaknya pendapatan orang di pedasaan naik tinggi, padahal tidak. Yang pendapatannya naik, itu orang kota, bukan orang di pedesaan. Nah, ini semu kan! Artinya, kesulitan dari sektor ekonomi mengancam serius, khususnya pada masyarakat lapis bawah. Sementara kelas menengah keatas menatap optimis, tapi bolehkah melupakan rakyat kebanyakan. Belum lagi maraknya korupsi yang melahirkan orang kaya baru, bahkan berusia sangat muda. Ini persoalan yang dapat meledak di tahun 2012. Ketidakpuasan lapis bawah dalam berbagai demo yang bergolak, dari isu tanah hingga pembantaian. Isu hak azasi manusia dan kesemena-menaan.  Dan gugatan pengurus peralatan pedesaan yang merasa diabaikan dan dipermainkan. Semua menyatu menjadi kemarahan yang berpotensi menciptakan konflik politik yang tidak sederhana. Bilakah? Bisa saja tahun 2012. Jadi, Norma yang dikasihi Tuhan, semua kesulitan sangat dimungkinkan tahun 2012, ada banyak alasan. Tinggal bagaimana pemerintah mengatasinya, ini sangat menentukan. Akankah pemerintah bersikap mau menang sendiri, masa bodoh pada kesulitan rakyat, ini akan menjadi penentu.    
Jadi jelas ada kesulitan di berbagai belahan dunia, khususnya Indonesia, bahkan dalam keluarga. Manusia makin jahat, memang itu yang dikatakan Alkitab. Manusia semakin cinta diri dan berusaha keras meniadakan yang lainnya. Namun, sebagai anak Tuhan, selalu ada harapan bagi mereka yang hidup benar dan bergantung pada Tuhan. Selamat menikmati kemenangan ditengah kekacauan, dan kesulitan, di tahun 2012. Semoga boleh menjadi bekal perenungan memasuki tahun 2012, untuk kita semua pembaca kibaidmks.

Politik Dua Muka SBY Di Papua!


Rizal Ramli.jpg

Dr.  Rizal Ramli, Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Menteri Ekonomi era Gus Dur, Dr Rizal Ramli ingin ada perubahan di negeri ini. Di dadanya terpatri jiwa nasionalisme. Kecintaanya terhadap bangsa ini ditunjukkannya dengan terus berjuang untuk keadilan. Lahir di Padang, Sumatera Barat, 10 Desember 1953. Pernah dipenjara saat kuliah di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung, karena melawan Soeharto. Dia bersama beberapa rekannya mendirikan ECONIT Advisory Group. Di lembaga think-tank ekonomi independen inilah ia mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang ini. Satu diantaranya ia kritisi soal kontrak PT Freeport Indonesia, dan kesenjangan ekonomi di Papua. Menikah dengan Siaw Fung (Afung). “Saya sangat mencintai istriku, dan tidak merasa malu menikah dengan seorang China,” katanya di depan jasad istrinya yang terbujur kaku. Istrinya meninggal karena kanker. Walau tidak lama hidup dengan Afung, namun ia selalu ingat pesan istrinya, cinta Papua. Beberapa waktu lalu REFORMATA berkesempatan bertatap muka di kantornya Rumah Perubahan 2.0 di Duta Merlin, Jakarta Barat. Demikian Petikannya:

Berita Papua yang bergejolak sekarang ini membuat banyak mata tertuju ke sana. Anda sepertinya orang yang amat peduli dengan Papua?
Saya mengenal Papua karena saya pernah meneliti di Papua. Satu waktu ada seorang lulusan doktor dari Amerika ketika itu minta izin dari saya untuk mengunakan bahan-bahan penelitian tersebut agar digunakan mendukung tulisannya, katanya untuk memperjuangkan keadilan. Nama orang itu adalah Amien Rais, dan ia jadi terkenal gara-gara itu. Walau pun untuk orang Papua sendiri belum terlihat sendiri manfaatnya, itu yang pertama. Kedua, ketika almarhum istri saya, Afung. Ia sangat cinta sekali Papua. Ia sebenarnya sudah berencana tinggal di Papua, dan sudah beli tanah di sana. Tetapi ketemu saya, saya jatuh cinta, akhirnya kita menikah. Dia banyak kawan-kawan di Papua. Waktu Barnabas Saebu ingin mencalonkan gubernur di Papua Barat. Ia (Afung) ikut naik turun gunung untuk membantu memenangkan Barnabas. Tetapi sayang, Barnabas mirip seperti SBY, tidak sesuai ucapan dengan tindakan. Ngomongnya indah. Mulutnya manis, tetapi yang dikerjakan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan orang Papua.

Berita terakhir adalah penembakan yang terjadi setelah Kongres Rakyat Papua ke-III...
Saya belum lupa kata-kata Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Dorkus Yokoisembut usai membuka Kongres Rakyat Papua (KRP) ketiga beberapa waktu lalu. “Sekali lagi kami memohon aparat jangan serta-merta mengambil tindakan, kami orang Papua sudah punah, jangan lagi membunuh kami, cukup sudah.” Kata-kata itu mengetarkan hati saya. Karena itu saya bersikap, jika rakyat Papua merasa dianaktirikan oleh pusat kekuasaan dan elite penguasa, saya ihklas, bersedia menjadi wali bagi semua warga Papua sebagai warga Republik Indonesia yang sah, bermartabat. Warga Papua sudah memberikan apa yang mereka punya, namun pemerintah pusat membalas budi-baik warga Papua tidak sepadan.
Dan perlu diingat, bahwa masa Gus Dur, Kongres Rakyat Papua ke-II juga ada peran Gus Dur di sana. Gus Dur bukan saja mendukung tetapi juga membantu dana. Kongres yang ketiga kemarin sudah tutup, lalu terjadi penembakan. Saya pernah merasakan dipenjara di Suka Miskin ketika melawan Soeharto, tidak sekejam sekarang. Tidak ada penembakan. Ini betul-betul biadab. Saya tidak bisa menerima ini. Apapun tidakan kekerasan, itu fasisme.

Melihat kondisi sekarang di Papua sepertinya tidak ada kenyamanan, tidak ada kebebasan....
Saya memahami semua kepahitan yang dialami saudara yang berasal dari Papua. Sebenarnya bukan hanya teman-teman Papua yang mengalami perlakukan itu. Kalau orang mengatakan bapak Rizal enak ya di Jakarta, ternyata tidak juga. Saya sendiri mengalami ketidaknyamanan, tiap hari kantor saya diawasi dan dijaga polisi. Kalau ada kegiatan di kantor bisa sampai 15 orang. Sebenarnya bukan hanya di Papua yang terjadi gejolak itu, hal ini juga dialami saudari kita yang lain. Bayangkan, saudara kita, Munir dibunuh. Saya masih ingat ketika ketemu Munir ketika ia baru ke Jakarta bertemu saya. Munir dibunuh, dipatahkan lehernya. Dan sepertinya tidak ada niat pemerintah untuk mengungkap kasus ini.

Kalau demikian apa yang harus dilakukan?
Jadi yang harus kita lakukan adalah perubahan, tindakan nasional. Kalau perubahan di tingkat nasional sudah terjadi maka, perubahan di Papua akan terjadi. Sekarang ini pemerintahan menerapkan politik dua-muka SBY-Boediono. Kalau kita dengar kata-katanya manis, mensejahterakan Papua, memperjuangkan nasib Papua dengan kesetaraan. Tanpa kekerasan, kenyataannya malah sebaliknya.

Mengapa Anda sebutkan pemerintahan SBY berpolitik dua muka?
Rezim SBY-Boediono memang menjalanakan politik dua muka di Papua. Di satu sisi, dalam berbagai pidato dan penyataan, SBY menyatakan pendekatan damai, perlakukan setara, dan tanpa kekerasan terhadap warga Papua. Tapi di sisi lain, dalam kenyataan-nya, terus berlangsung, bahkan semakin meningkat kekerasan di bumi Papua. Politik dua muka rezim SBY-Boediono tersebut harus kita hentikan sekarang juga. Karena kebijakan itu justru akan memicu peningkatan ketidakpuasan, keinginan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia ini. Saya ingin menegaskan, bahwa masalah Papua bukanlah sekedar masalah lokal, tetapi merupakan refleksi dari kelemahan dan politik dua muka rezim SBY-Boediono. Beberapa negara asing mulai aktif bermain di Papua karena melihat kelemahan kepemimpinan nasional. Suatu hal yang mereka tidak akan berani lakukan di masa Presiden Soekarno dan Soeharto. Kelemahan kepemimpinan adalah sumber disintegrasi bangsa, seperti halnya Presiden Gorbachev di Uni Soviet.

Sepertinya warga Papua semakin mengkristal keinginan untuk merdeka?
 Saya kira-kalau cara-cara kekerasan tidak dihentikan, kekerasan masih terus terjadi di Papua, memang sepertinya Papua harus merdeka. Untuk itu, kita serukan agar siapa yang melakukan penembakan terhadap 60 orang di Papua agar diadili dengan ganjalan yang setimpal.

Warga Papua bukanlah anak tiri republik ini, tetapi nyatanya ada penangkapan, disiksa....
Saya sadar sepenuhnya, bangsa kita disibukkan bicara NKRI harga mati. Padahal, pembunuhan penganiayaan, penyiksaan, penghilangan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang bagi orang asli Papua oleh aparat masih terus terjadi. Ada semena-mena, tindakan kekerasan yang tidak manusiawi, justru meningkatkan kebencian dan dendam warga Papua kepada NKRI. Padahal, seluruh warga Papua adalah anak kandung revolusi kemerdekaan 1945, dan anak kandung perubahan. Ratusan pejuang Papua telah ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Lalu, dorongan perubahan seperti apa yang diharapkan?
Perubahan nasional sekarang juga. Jika perubahan terjadi, kita akan lakukan perubahan kebijakan dan cara penyelesaian masalah Papua. Tidak akan ada lagi politik dua muka. Dan tidak ada lagi cara-cara kekerasan yang tidak manusiawi.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah dalam hal ini?
Harus ada dialog. Ruang dialog dan demokrasi harus dibuka seluas-luasnya, sehingga akar masalahnya dapat diketahui, dipetakan, dan dicarikan solusinya. Karena itu, dalam mengatasi kompleksitas masalah Papua, harusnya mengedepankan pendekatan kemanusiaan, persauda-raan, dan kebangsaan. Tidak bisa pemerintah pusat bertindak sepihak terhadap semua keputusan yang kaitannya dengan Papua. Harus melibatkan orang Papua sendiri. Dialog yang saya maksud adalah dialog yang pernah dilakukan Gus Dur.
Harus ada transparansi dan akuntabilitas dan keamanan kepada TNI-Polri, jangan sampai mengarah pada politik adu domba, di mana aparat keamanan harus berhadapan dengan rakyat Papua, terutama rakyat dan buruh di sekitar perusahaan tambang. TNI-Polri dan warga Papua adalah saudara sebangsa yang senasib sepenanggungan, bukan malah dibenturkan. Sekali lagi, kita wajib membela hak-hak warga negara Papua sesuai konsitusi dan mengedepankan perdamaian, keadilan dan kesetaraan. 
Hotman J. Lumban Gaol