Rabu, 09 Januari 2013

Dicari Pemimpin Seperti Ayub


Dicari Pemimpin Seperti Ayub.jpg
Integritas semakin langka di muka bumi ini.  Lebih mudah dijumpai orang yang tidak berintegritas, daripada mereka yang berintegritas, sehingga semakin sulit menemukan orang yang dapat dipercaya.  Lantas apa sebenarnya yang dimaksudkan integritas di dalam Alkitab? Dalam Ayub 2: 3 disinggung tentang Ayub sebagai sosok berintegritas dengan beberapa aspeknya, yaitu saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ayat yang sama juga menceritakan bagaimana Ayub tetap tekun dalam kesalehannya. Di sini tentu tidak sedang membicarakan tentang pergumulan Ayub, tapi lebih menilik kualitas integritasnya.  

Dalam Kamus Inggris-Indonesia, kata Integrity diterjemahkan sebagai “Menjauhi Kejahatan“.  Menarik, orang yang berintegritas adalah orang yang menjauhi kejahatan.  Lalu apa yang dimaksud dengan menjauhi kejahatan?  Tentu banyak hal untuk mendefinisikannya, tapi ini dekat dengan aspek kesejalanan/ seiring-sejalan antara perkataan dan perbuatan, ini integritas.  Artinya, apakah perkataan itu adalah benar, dan memang benar-benar akan dilakukan, sehingga layak untuk membuat semacam “gentlemen agreement“.  Mencari orang seperti ini tentu saja amatlah sulit.  Alih-alih orang dapat dipegang kata-katanya, sering kali sudah ada kontrak, lengkap dengan klausulnya pun lantas coba diakali agar terhindar dari kewajiban.  Ironis!  Ini bukan saja bisa terjadi pada orang dunia, tapi juga orang kristen, orang gereja, atau bahkan pendeta.  Justru yang kerap membuat orang kecewa berat adalah kalau itu terjadi di atau dengan orang gereja.  Karena orang berpikir apa yang dikatakan, apa yang dibicarakan, yang menjadi semangat bersama itu adalah sesuatu yang benar.  Kebenaran yang akan dijaga dan dilakukan dan tidak mungkin dilupakan atau dihianati.  Tetapi faktanya, penghianatan itu justru tampak nyata.   Intergritas adalah suatu hal yang perlu digumulkan, di mana antara kata dan fakta yang dilakukan itu dapat sejalan.  Jika tidak, itu adalah suatu kejahatan (merujuk terjemahan integrity).
 
Menjauhkan diri dari kejahatan juga berarti, dia tidak akan melanggar apa yang telah diucapkan dan tidak akan mengubah janjinya.  Dia akan menanggung segala konsekuensinya, sekalipun akibat dari janji yang dibuat adalah hal yang pahit dan merugikan dia.  Tapi dia  berani menerima dan menanggung itu.  Integritas menunjukkan suatu nilai yang luar biasa, sehingga antara kata dan fakta, kata dan kelakuan itu sejalan.  Janganlah kiranya orang menyebut kita sebagai “munafik“, seperti apa yang dilakukan banyak pemimpin yang hanya berucap kata tapi tidak pernah melakukannya.  Mereka berkata “jangan ini“, tetapi sesungguhnya mereka sendiri berbuat itu.  Lagi-lagi ironis.  Amat sangat mudah ditemui pemimpin munafik dikolong langit ini dengan segala perilaku yang tidakterpuji.  Karena itu pemimpin yang bermutu perlu diciptakan. Ada beberapa aspek  yang dapat menunjukkan bahwa pemimpin itu bermutu:

1. Keseimbangan kata dan fakta.
Ini berbicara tentang keberanian untuk menanggung segala konsekuensi akibat dari apa yang dikatakan.  Orang seperti ini tidak melarikan diri dari dampak yang ditimbulkan.  Karena itu dia disebut orang yang tidak munafik. 

2. Katakan “Benar“ untuk “Benar“, dan “Salah“ untuk “Salah“.
Ini adalah kebalikan dari orang munafik.  Orang seperti ini adalah orang yang dapat dipercaya, yang memiliki kegairahan untuk hidup benar sehingga dia tidak menyerempet ke dalam kejahatan, apalagi terjebak di sana.  A adalah A, dan B adalah B, apapun konsekuensi yang akan diterimanya, harus dijalankan, harus diwujudkan, dan dia berani bertangungjawab atas apa yang telah diucapkan.  Baginya lebih baik rugi daripada untung, tapi mengingkari janji.  Lebih baik tidak untung, kalau karena itu dia harus berkata tidak jujur dan melanggar ucapan sendiri.  Alangkah indahnya jika kita menemukan orang yang dapat dipercaya. 

3. Jujur
Katakan “Ya“ untuk “Ya“, dan “Tidak“ untuk “Tidak“,memang bisa disebut sebagai kejujuran, tapi itu lebih terkait pada sebuah prinsip dan sikap yang memang memiliki korelasi dengan kejujuran.  Tetapi jujur yang dimaksud di sini lebih kepada konteks situasi di mana anda mendapatkan sesuatu sangat berharga yang orang lain tidak tahu.  Dalam situasi ini anda bisa saja berdusta, apalagi anda tidak punya kewajiban untuk berkata (jujur/sebenarnya) benar tentang hal itu.  Dalam konteks itu Anda tidak punya kewajiban tertentu, karena itu anda bisa saja tidak jujur, dan orang tidak tahu tentang hal itu.  Tapi kemudian batin ini gelisah.  Orang memang tidak tahu, tetapi apakah aku bisa hanya diam saja?  Lalu kemudian bertanya pada diri tentang bagaimana seharusnya yang dapat dilakukan, bagaimana aku melakoni kehidupanku, bagaimana seharusnya aku menjalani hari-hariku, agar aku tidak terjebak dan akhirnya menjadi korban dari ketidakjujuran diri yang menenggelamkan. 

Kejujuran akan memberi orang nilai diri.  Dikenal sebagai seorang jujur, dikenal sebagai orang yang memegang prinsip itu menyenangkan.  Pertama, karena anda tidak munafik; Kedua, Anda bisa dipegang omongannya, orang yang memiliki integritas; Ketiga, anda terkenal jujur, tidak memanfaatkan situasi apapun untuk keuntungan diri.  Jujur dalam bereaksi, jujur dalam mencermati, jujur dalam memberikan pendapat apapun dalam kehidupan ini.  Karena itu, dalam setiap pergumulan kehidupan, itu yang harus dilakoni.  Setiap pemimpin harus memainkan peran itu.  Tetapi, ketika menjalaninya bukan berarti semua akan berjalan mulus.  Seperti apa yang diceritakan dalam kitab Ayub, setan akan terus mengutak-atik, menggoda untuk menjadi orang yang senang bermunafik ria.  Setan akan menggoda untuk tidak perlu bertanggungjawab atas apa yang telah diucapkan.  Kalau perlu dirubah di tengah jalan: “ Ya“ menjadi “Tidak“ dan “Tidak“ menjadi “Ya“.  

Realita yang ditemui ternyata jauh berbeda.  Ada lebih banyak pemimpin yang justru tidak memiliki kriteria sebagai pemimpin bermutu, seperti dijelaskan sebelumnya.  Terlalu mudah menemukan pemimpin yang berkata “A“, tapi bertindak “B“.  Mudah menemukan pemimpin yang sepertinya simpati kepada rakyat miskin, tapi sejatinya tak lebih dari usaha “menjual“ orang miskin demi keuntungannya sendiri.  Karena itu setiap pemimpin harus betul-betul sadar diri, dan tahu posisi, supaya integritasnya dapat terbangun, lebih-lebih lagi jika itu adalah rohaniawan.  Kalau rohaniawan dan para pendeta tidak lagi bisa dipercaya, lalu apa lagi yang akan terjadi.  Ini mengerikan sekali. Saat ini diperlukan pemimpin, hamba-hamba Tuhan yang berintegritas, yang selalu mau menjauhkan diri dari kejahatan dengan tidak munafik.  Menjauhkan diri dari kejahatan dengan menjaga perkataannya, “Ya“ untuk “Ya“, dan “Tidak“ untuk “tidak“, memelihara kejujuran, dan jujur dalam setiap aspek kehidupan.  Semoga anda dan saya ada di sana, melakukan hal yang sama, diinspirasi oleh kebenaran Firman Allah, dan hidup kita menjadi hidup yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.