Aum Shinrikyo
Ramainya
pembicaraan mengenai “kiamat 2012” sedikit banyak mengingatkan kembali
kita pada nama “Aum Shinrikyo”. Walaupun menghilang cukup lama
pemberitaannya sejak pertengahan medio 1990-an dan kalah pamor dengan
aksi-aksi terorisme bernuansa 11 September, rekam jejak Aum Shinrikyo
sebagai sebuah sekte dengan manifestasi tindakan teror, menjadi hal yang
tak akan terlupakan.
Secara terminologis Aum Shinrikyo (オウム真理教 Ōmu Shinrikyō) berasal
dari bahasa Sansekerta “Aum” yang berarti alam semesta, dan “Shinrikyo”
yang bermakna agama kebenaran. Aliran keagamaan ini diakui secara resmi
oleh otoritas Jepang pada tahun 1989 dan mempunyai beberapa alias,
seperti Aum, Aleph, dan Kebenaran yang Tertinggi (Supreme Truth).
Aum Shinrikyo, sebuah sebuah kultus keagamaan, di awal
pembentukannya tidak banyak berbeda dengan kultus-kultus keagamaan lain
di Jepang yang membawa nuansa Gerakan Zaman Baru (New Age Movement).
Karakteristiknya pun tak jauh berbeda: kuatnya personalitas pimpinan,
kepercayaan terhadap tanda-tanda zaman yang menuju suatu akhir waktu
tertentu, serta sinkretisme yang harmonis.
Pemimpin kultus, atau sebuah sekte keagamaan sering menjadi pintu
yang tepat dalam mempelajari bagaimana aliran tersebut terbentuk dan
berkembang. Sang pendiri, Shoko Asahara (nama alias dari Chizuo
Matsumoto), dikisahkan mulai membangun aliran ini dari sebuah kamar
apartemennya di Tokyo pada tahun 1984. Metode kultus ini tampak dari
kegiatan yoga dan meditasi yang menjadi awal perekrutan anggota. Hanya
dalam beberapa tahun, popularitas aliran ini meningkat pesat, tidak
hanya di kalangan awam, tapi juga di kelompok-kelompok mahasiswa. Tahun
1995, kelompok ini mengklaim sudah memiliki 40.000 anggota di seluruh
dunia dengan 9.000 diantaranya berada di Jepang. Dengan jumlah anggota
sebanyak itu, perkiraan uang yang bisa dikumpulkan oleh kultus ini
melalui berbagai skema pada masa puncaknya mencapai 1,5 milyar USD.
Sisi menarik yang patut dicatat dalam perkembangan kelompok ini
adalah bagaimana Asahara mampu membangun sinkretisme dari Budha, Hindu,
dan doktrin-doktrin kekristenan tentang akhir zaman. Sebuah nubuatan
yang populer dilontarkan oleh Asahara mengenai akhir dunia yang
disebabkan Perang Dunia III sehingga menciptakan apa yang disebutnya
“Armageddon” nuklir. Tidak itu saja, sama seperti sang mesias yang
menebus dosa dunia, Asahara yang juga pernah mengklaim dirinya sebagai
“kristus”, mempunyai misi yang sama.
Nubuatan-nubuatan akhir zaman dan suara-suara kenabian yang
diucapkan Asahara, yang juga otomatis menjadi kebijakan aliran, berubah
menjadi bencana tatkala teror mulai dilancarkan. Tapi sebenarnya, lampu
kuning terhadap potensi kekerasan dalam skala besar dari kelompok ini
sudah terekam ketika beberapa percobaan pembunuhan dan tindakan
kekerasan lainnya, terutama kepada para anggotanya yang coba keluar,
terjadi dalam kelompok ini sebelum insiden terbesar: teror gas sarin di
Tokyo tahun 1995.
Pada 20 Maret 1995, beberapa anggota Aum Shinrikyo memasuki lima
kereta bawah tanah yang penuh penumpang dan mulai melepaskan gas sarin
yang mematikan. Akibatnya 12 orang meninggal dan ribuan orang ikut
terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung dari gas mematikan
yang mulai digunakan pada masa NAZI. Horor yang tercipta dari kejadian
tersebut sempat melumpuhkan transportasi Tokyo. Dan dalam waktu kurang
dari 48 jam, otoritas berwenang mulai menyerbu semua fasilitas yang
berhubungan dengan Aum Shinrikyo. Sekitar 200 orang kunci Aum Shirinkyo
langsung ditahan. Sebagian besar langsung didakwa dengan ancaman hukuman
tiga tahun. Sang pemimpin, Shoko Asahara sendiri, divonis hukuman mati
pada tahun 2004.
Entah pesan apa yang ingin disampaikan oleh Shoko Asahara lewat
aksinya ini. Rasionalitas dalam konteks peradaban modern sulit untuk
menemukan persinggungan aksi ini dengan bangunan peradaban modern yang
ada di Jepang. Satu-satunya hal yang bisa ditemukan adalah:
‘irasionalitas’ dari aksi ini. Bukannya kelompok ini tidak pernah
melakukan aksi yang ‘rasional’. Setidaknya mereka telah menempuh
mekanisme elektoral, walaupun gagal total. Mindset mereka sebagai sebuah
kelompok milenial tidak mampu dikomunikasikan secara politik. Mungkin
ini pula yang menjadi titik balik bagi strategi ‘non-elektoral’ mereka.
Bagi mereka, semua bangunan peradaban modern serta struktur masyarakat
sekarang tidak mampu memenuhi tujuan mereka, dan satu-satunya cara yang
‘rasional’ bagi mereka adalah mengaborsi struktur masyarakat yang
seperti itu.
Metomorfosis dari kelompok berbasis religius menjadi kelompok teror
menjadi perdebatan tersendiri. Pola ini sebenarnya tidak jarang terjadi,
suatu gerakan kesalehan yang kemudian menjadi ‘berbahaya’ juga terjadi
pada kelompok lain.
Tahun 1984, sebuah kelompok keagamaan di bawah pimpinan Bhagwan
Shree Rajneesh (alias Osho), melancarkan bio-terorisme dengan
menyebarkan bakteri salmonela di 10 rumah makan di The Dalles, Oregon.
Akibatnya 750 orang menjadi sakit. Komunitas tersebut, yang kemudian
dikenal dengan nama Rajneeshpuram, menekankan pada mistisisme timur,
pemujaan individu, dan yang paling kontroversial adalah penekanan
terhadap kebebasan seksual. Meskipun masih menjadi perdebatan kenapa
kelompok ini melakukan tindakan berbahaya tersebut, dugaan akan konflik
horisontal dengan masyarakat atau komunitas lokal menjadi hipotesis kuat
kenapa mereka melakukan tindakan berbahaya tersebut.
Bagaimana di Indonesia? Apakah kemunculan kultus-kultus dan
sekte-sekte tertentu punya potensi destruktif bagi struktur sosial yang
ada? Memang keberadaan kelompok-kelompok sempalan atau kultus tertentu
di Indonesia tetap ada dan berkembang, walaupun sering berlindung di
bawah identitas agama resmi tertentu. Ancaman dan diskriminasi menjadi
karakter yang muncul tatkala sebuah sekte atau kultus mencoba berkembang
secara kuantitas. Jadi, potensi untuk melakukan tindakan teror kepada
masyarakat masih minor, justru sebaliknya, kelompok ini yang berpotensi
besar menjadi korban.
Setidaknya, Aum Shinrikyo, menjadi sebuah catatan tersendiri
mengenai benturan antara masyarakat dan struktur masyarakat yang
dilaksanakan oleh suatu pemerintahan tertentu dengan semangat zaman
tertentu pula. Peradaban modern disertai rasionalitas ketat, tidak serta
merta menghapus nilai-nilai konservatisme atau tradisionalisme.
Permasalahan terjadi tatkala semangat tradisionalisme, yang bisa dengan
mudah dibungkus label-label religius, berkumpul dan berwujud sebuah
komunitas anarkhis yang menolak, sekaligus ditolak, oleh bangunan
peradaban yang ada. Bagi kelompok semacam ini, satu-satunya bahasa yang
bisa dikomunikasikan dan dimengerti ‘status quo’ adalah teror.