Bukan Servant Leaders
Ribuan
tahun lalu, seperti dikisahkan dalam Matius 20:20-28, para murid Tuhan
Yesus meributkan soal bagaimana menjadi orang yang penting di mata
Yesus. Kisah itu rupanya juga diwarnai intrik-intrik nepotisme kedekatan
sebagai keluarga. Ibu dari Yohanes misalnya yang kemudian ikut campur
tangan, berharap Yohanes dan Yakobus anaknya bisa menjadi orang penting
di dekat Yesus. Benar, Yohanes dan Yakobus memang masih ada hubungan
kerabat, namun patut disayangkan jika Ibu Yohanes, kerabat dekat itu
justru menjadi orang yang paling tidak mengerti perihal makna pelayanan
sejati.
Peristiwa itu memang terjadi di masa lampau, di masa gereja
perdana, tapi bukan berarti hal sama tidak terjadi di masa
kini. Alih-alih orang berkenan belajar dari sejarah, yang tampak mata
justru orang berlomba-lomba menjadi yang utama. Parahnya, orang selalu
dan selalu terjebak lagi di lubang sama. Di mana letak servant
leaders yang kerap didengung-dengungkan orang? Apakah benar servant
leader yang sejati itu seperti apa yang banyak orang seminarkan saat
ini? Sedikitnya ada 4 hal yang perlu ditilik untuk mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh tentang servant leader.
1. Bukan Sekadar Model.
Servant
leaders harus dipahami bukan sekadar sebuah model kepemimpinan. Dia
bukan bagian atau salah satu dari sekian banyak
model kepemimpinan yang kemudian dikembangkan. Servant leaders banyak
diinterpretasi dengan penerapan ketiadaan jarak antara eksekutif dan
bawahan. Suasana kantor didesain sedemikian rupa untuk merubah
tampilannya agar tidak lagi terlihat seperti jaman feodal, lebih
terbuka. Atau hal lain lagi, contoh, ketika perjamuan makan semua orang
duduk bersama-sama satu meja yang sama, dengan menu makanan yang sama,
padahal jabatan berbeda.
Tetapi servant leaders bukan itu. Itu
tidak lebih dari asesories semata, sekadar sebuah model. Tapi tidak
sedikit orang yang menganggap apa yang sebenarnya asesories itu sebagai
sesuatu yang sudah sangat hebat dan dikagumi. Padahal jika dikomparasi
dengan apa yang Yesus ajarkan itu menjadi bukan apa-apa. Namun yang
terjadi sekarang ini adalah, banyak orang yang mengaku pakar servant
leadership tak lebih dari mengutip pemikiran kristiani yang
kemudian dimodifikasi demi kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan
agama (sekuler). Namun yang lebih menyedihkan, adalah sikap gereja yang
kemudian menarik produk yang sudah diturunkan kualitasnya itu masuk
kembali ke dalam gereja. Nilai penting yang seharusnya menjadi keunikan
dari kepemimpinan kristiani itu menjadi turun kualitasnya hanya karena
keengganan para hamba Tuhan menggali nilai itu yang sesungguhnya sudah
gamblang dipaparkan dalam Alkitab.
2. Bukan Sekadar Kedewasaan
Servant
leaders juga bukanlah bentuk dari kedewasaan seseorang. Ketika orang
matang dalam berpikir dan bersikap, dia akan enggan meributkan sesuatu
yang tak perlu. Cenderung mengalah supaya tak ada keributan. Karena
itu orang seperti ini akan mencipta suasana yang menyenangkan. Terkesan
penuh dengan penguasaan diri, penuh dengan pengendalian diri, apapun
yang dilakukannya selalu ada perhitungannya. Orang dewasa juga berpikir
untung-ruginya terhadap sesuatu yang dilakukan. Dalam kancah
kepemimpinan, orang yang dewasa mengandaikan orang yang
menerapkan servant leaders. Sejatinya itu tak lebih dari bayang-bayang
semata, jauh dari keutuhan dalam servant leaders. Servant leaders bukan
model kepemimpinan, bukan pula nilai kedewasaaan, bukan sekadar
itu. Sekalipun dalam servant leaders terdapat unsur-unsur itu, tetapi
bukan itu yang menjadi tolok ukur pertamanya. Bukan itu yang kemudian
menjadi pondasinya.
3. Bukan Sekadar Pengalaman Kepemimpinan.
Orang
boleh punya puluhan atau bahkan ratusan tahun pengalaman memimpin,
tapi servant leaders tidaklah terletak di situ. Ada banyak orang yang
sukses dalam kepemimpinannya, tetapi tidak pernah menggapai servant
lea-ders. Kecenderungan orang dalam pengalaman kepemimpinan yang kuat
justru sulit dikoreksi. Semakin kuat, semakin lama, semakin
berpengalaman orang dalam kepemimpinan, semakin tidak terkoreksilah
dia. Ini menjadi ironi tersendiri. Pengalaman yang telah membuat orang
menjadi hebat justru berbalik menimbulkan pengalaman yang salah dalam
kehidupannya.
Kepemimpinan bukan sekadar pengalaman belaka.
Pengalaman memang bisa memberi pencerah-an, tapi pengalaman juga bisa
menghasilkan hal yang ber-beda. Pengalaman yang membuat orang mencipta
banyak keberhasilan dan merasa itu adalah prestasinya, dan memang betul,
tapi karena pengalaman yang telah menggunung itu membuat dia merasa
bahwa orang lain tidak ada apa-apanya. Inilah masalahnya, disanalah
letak problemnya.
Pengamalan harus dikelola sedemikian rupa dengan
tanggung jawab yang penuh. Sehingga pengalaman itu bukan sekadar
bagaimana triknya, lebih jauh, pengalaman itu harus berbasiskan
semangat servant leaders. Tanpanya basis yang tepat, maka
pengalaman bisa menjadi berbahaya.
4. Bukan Sekadar Sebuah Kreasi
Komparasi
demi komparasi dilakukan demi menemukan karya atau kreasi yang
benar-benar matang. Tak sedikit orang lantas berpikir bahwa inilah hal
yang ideal, paling pas, hebat dan seterusnya. Tapi sesungguhnya
tidaklah demikian. Dengan membuat banyak kreasi dan memikirkan banyak
hal untuk menghasilkan banyak kreasi memang terkesan mengarahkan orang
pada suatu struktur bangun servant leaders. Namun upaya-upaya yang
terkesan positif ini justru kian menjebak orang hanya memikirkan lalu
membuat sebuah kreasi-kreasi dalam kepemimpinan.
Dalam bagian seperti
ini menjadi satu hal penting orang untuk menyadari, bahwa servant
leaders adalah sebuah originalitas pemikiran kristiani yang diajarkan
oleh Tuhan Yesus. Servant leaders bukan sekadar kreasi-kreasi
kepemimpinan yang dibuat orang. Servant leaders adalah sebuah kesadaran
yang dibangun dalam kepemimpinan berdasarkan takut akan Tuhan. Karena
itu perlu keluasan dan lebar dalam memahami Servant leaders, untuk dapat
mengerti dengan utuh apa yg menjadi esensi darinya. Dengan begini kita
dapat lebih berhati-hati, berjaga-jaga agar tidak terjebak pada tempat
yang salah. Karena itu perlu juga memperhatikan sungguh-sungguh
keseluruhan aspek hidup kita, bagaimana kita bisa memainkan peran dengan
tepat, jeli. Sehingga, dengan demikian sungguh-sungguh boleh menjadi
pemimpin yang melayani. Tapi tidak terjebak pada sekadar model
kepemimpinan. Tidak terjebak hanya mengandalkan sebuah kedewasaan. Juga
bukan sekadar panjangnya pengalaman atau kreasi-kreasi yang diciptakan.
Lebih dari itu, servant leaders adalah bentuk kesadaran relasi yang
sehat dengan Tuhan. Memahami panggilan untuk melayani Tuhan, mengerti
apa yang menjadi tujuan dan maksud Tuhan, serta berani membayar apa yang
mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari apa yang dikerjakan adalah
ekspreasi nyatanya.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin
yang
tidak akan cengeng atau hilang dari tengah-tengah pergulatan, atau lari
dari medan pertempuran. Dia akan menjadi seorang yang konsisten,
bertanding dan bertempur untuk menggapai kemenangan demi
kemenangan. Pemimpin yang melayani bukan pecundang. Yesus adalah ideal
dari pemimpin yang melayani. Lihat betapa lembutnya
Yesus. Kelembutannya digambarkan Alkitab dengan bagaimana Dia mengambil
anak kecil dan me-meluknya. Tapi juga lihatlah Yesus yang sangat murka
tatkala menjungkirbalikkan dagangan orang-orang di bait suci. Karena
itu jangan salah mengenal Yesus. Jangan pula sekadar mengambil satu
aspek dari-Nya. Ia Mahakuasa karena dia Anak Allah, Dia juga
Mahapemurah karena selalu berbagi dalam hidup. Yesus mati bukan karena
tak
berdaya, tapi karena mempersembahkan jiwanya untuk sebuah
kehidupan. Jadi, Yesus Kristus Tuhan, Dialah yang akan memberi kita
kekuatan kemampuan untuk menjadi servant leaders.