Rabu, 27 Maret 2013

13 Situs Kristen Jepang Diusulkan Masuk Situs Warisan Dunia UNESCO


Situs, Kristen, Jepang,Warisan, Dunia, UNESCO.jpeg
13 situs penting Kristen di Jepang diusulkan Pemerintah agar masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia,UNESCO.  Satu dari 13 situs adalah situs Kristen Nagasaki's Oura Cathedral yang dibangun oleh misionaris Prancis dari Société des Missions Étrangères pada tahun 1864. 

Badan Administrasi Nagasaki dan Kumamoto pada Selasa (29/1) lalu mengajukan draft proposal kepada Menteri Kebudayaaan Jepang Hakubun Shimomura untuk segera diajukan kepada badan PBB urusan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO).   

Katedral Oura yang dibangun untuk menghormati 26 martir Kristen, 9 dari Eropa dan 16 lainnya dari Jepang yang disalibkan pada tahun 1597 atas perintah Toyotomi Hideyoshi, adalah bangunan pertama bergaya Barat yang dinyatakan sebagai 'harta nasional' pada tahun 1933. 

Selain katedral, pemerintah setempat juga mengusulkan situs lain, termasuk beberapa tempat di mana banyak orang Kristen Jepang tewas dibunuh, termasuk kuburan bawah tanah (katakombe) lokasi di mana para pengungsi selama periode penganiayaan tewas dan dimakamkan.

Rabu, 20 Maret 2013

"Gereja" Atheis Semakin Diminati


Gereja” Atheis Semakin Diminati.jpg

Memanfaatkan hari Minggu sebagai kesempatan untuk beribadah tidak lagi monopoli umat Kristiani.  Umat dari agama lain pun melakukan hal sama.  Kini tidak saja sekelompok jemaat yang menyatakan diri bertuhan (Theis) yang beribadah, sekumpulan orang yang mengklaim dirinya sebagai tidak bertuhan (Atheis) pun memanfaatkan “tanggal merah” juga sebagai wahana “beribadah”.

Adalah Sunday Assembly atau Sidang Jemaat Minggu, sebuah perkumpulan atheis yang digandrungi anak muda Inggris juga melakukan “sidang peribadatan” mereka di hari minggu.  Meskipun ada nyanyian-nyanyian yang terdengar di sana, namun jangan dibayangkan nyanyian itu layaknya pujian di gereja berisi ungkapan iman dan penyembahan.  Sama sekali tidak.  Begitu juga ketika ada orang yang berbicara di belakang podium, berorasi, jangan juga ditafsirkan sebagai sebuah khotbah yang didalamnya membacakan firman Allah.  Tidak.  Sama sekali tidak ada.

“Gereja” Atheis yang didirikan oleh komedian Sanderson Jones dan Pippa Evans untuk pertama kali menggelar ibadah di The Nave , gedung bekas gereja, di Islington, London Utara.   Jones, seperti dirilis The Huffington Post Inggris, mengatakan pendirian “gereja” Atheis itu dimaksudkan untuk memberi ruang orang-orang non-religius (tidak beragama) agar dapat menjalin komunikasi dan meneguhkan satu sama lain.

Tidak hanya itu Sunday Assembly, seperti tertulis dalam situsnya sundayassembly.com juga mengundang mantan orang-orang  percaya yang kecewa terhadap gereja, keluar dan menjadi atheis untuk bernostalgia dan mencari keakraban dalam sebuah komunitas, 'mengubah niat baik menjadi tindakan. '

Sulit dinalar memang.  Bagaimana mungkin orang yang beribadah dalam (bekas) gereja; bersekutu di dalam gereja menyebut diri tidak percaya Tuhan.  Tapi ini memang realita yang ada.  Tentu saja gereja tidak boleh menutup mata, apalagi sekadar memberi label sesat/kafir.  Menjadi otokritik sekaligus mencari solusi dan pencegahan mungkin lebih bijak.

Selasa, 19 Maret 2013

Bukan Servant Leaders

servantleader.jpgRibuan tahun lalu, seperti dikisahkan dalam Matius 20:20-28, para murid Tuhan Yesus meributkan soal bagaimana menjadi orang yang penting di mata Yesus. Kisah itu rupanya juga diwarnai intrik-intrik nepotisme kedekatan sebagai keluarga.  Ibu dari Yohanes misalnya yang kemudian ikut campur tangan, berharap Yohanes dan Yakobus anaknya bisa menjadi orang penting di dekat Yesus. Benar, Yohanes dan Yakobus memang masih ada hubungan kerabat, namun patut disayangkan jika Ibu Yohanes, kerabat dekat itu justru menjadi orang yang paling tidak mengerti perihal makna pelayanan sejati.
Peristiwa itu  memang terjadi di masa lampau, di masa gereja perdana, tapi bukan berarti hal sama tidak terjadi di masa kini.  Alih-alih orang berkenan belajar dari sejarah, yang tampak mata justru orang berlomba-lomba menjadi yang utama.  Parahnya, orang selalu dan selalu terjebak lagi di lubang sama.  Di mana letak servant leaders yang kerap didengung-dengungkan orang?  Apakah benar servant leader  yang sejati itu seperti apa yang banyak orang seminarkan saat ini?  Sedikitnya ada 4 hal yang perlu ditilik untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang servant leader.

1.  Bukan Sekadar Model.
Servant leaders harus  dipahami bukan sekadar sebuah model kepemimpinan.  Dia bukan bagian atau salah satu dari sekian banyak model kepemimpinan yang kemudian dikembangkan. Servant leaders banyak diinterpretasi dengan penerapan ketiadaan jarak antara eksekutif dan bawahan.  Suasana kantor didesain sedemikian rupa untuk merubah tampilannya agar tidak lagi terlihat seperti jaman feodal,  lebih terbuka.  Atau hal lain lagi, contoh, ketika perjamuan makan semua orang duduk bersama-sama satu meja yang sama, dengan menu makanan yang sama, padahal jabatan berbeda.
Tetapi servant leaders bukan itu.  Itu tidak lebih dari asesories semata, sekadar sebuah model.  Tapi tidak sedikit orang yang menganggap apa yang sebenarnya asesories itu sebagai sesuatu yang sudah sangat hebat dan dikagumi.  Padahal jika dikomparasi dengan apa yang Yesus ajarkan itu menjadi bukan apa-apa.  Namun yang terjadi sekarang ini adalah, banyak orang yang mengaku pakar servant leadership tak lebih dari mengutip pemikiran kristiani yang kemudian dimodifikasi demi kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan agama (sekuler). Namun yang lebih menyedihkan, adalah sikap gereja yang kemudian menarik produk yang sudah diturunkan kualitasnya itu masuk kembali ke dalam gereja.  Nilai penting yang seharusnya menjadi keunikan dari kepemimpinan kristiani itu menjadi turun kualitasnya hanya karena keengganan para hamba Tuhan menggali nilai itu yang sesungguhnya sudah gamblang dipaparkan dalam Alkitab.

2. Bukan Sekadar Kedewasaan
Servant leaders juga bukanlah bentuk dari kedewasaan seseorang.  Ketika orang matang dalam berpikir dan bersikap, dia akan enggan meributkan sesuatu yang tak perlu.  Cenderung mengalah supaya tak ada keributan.  Karena itu orang seperti ini akan mencipta suasana yang menyenangkan.  Terkesan penuh dengan penguasaan diri, penuh dengan pengendalian diri, apapun yang dilakukannya selalu ada perhitungannya.  Orang dewasa juga berpikir untung-ruginya terhadap sesuatu yang dilakukan.  Dalam kancah kepemimpinan, orang yang dewasa mengandaikan orang yang menerapkan servant leaders.  Sejatinya itu tak lebih dari bayang-bayang semata, jauh dari keutuhan dalam servant leaders.  Servant leaders bukan model kepemimpinan, bukan pula nilai kedewasaaan, bukan sekadar itu.  Sekalipun dalam servant leaders terdapat unsur-unsur itu, tetapi bukan itu yang menjadi tolok ukur pertamanya.  Bukan itu yang kemudian menjadi pondasinya.

3.  Bukan Sekadar Pengalaman Kepemimpinan.
Orang boleh punya puluhan atau bahkan ratusan tahun pengalaman memimpin, tapi servant leaders tidaklah terletak di situ.  Ada banyak orang yang sukses dalam kepemimpinannya, tetapi tidak pernah menggapai servant lea-ders. Kecenderungan orang dalam pengalaman kepemimpinan yang kuat justru sulit dikoreksi. Semakin kuat, semakin lama, semakin berpengalaman orang dalam kepemimpinan, semakin tidak terkoreksilah dia.  Ini menjadi ironi tersendiri. Pengalaman yang telah membuat orang menjadi hebat justru berbalik menimbulkan pengalaman yang salah dalam kehidupannya.
Kepemimpinan bukan sekadar pengalaman belaka. Pengalaman memang bisa memberi pencerah-an, tapi pengalaman juga bisa menghasilkan hal yang ber-beda.  Pengalaman yang membuat orang mencipta banyak keberhasilan dan merasa itu adalah prestasinya, dan memang betul, tapi karena pengalaman yang telah menggunung itu membuat dia merasa bahwa orang lain tidak ada apa-apanya.  Inilah masalahnya, disanalah letak problemnya.
Pengamalan harus dikelola sedemikian rupa dengan tanggung jawab yang penuh.  Sehingga pengalaman itu bukan sekadar bagaimana triknya, lebih jauh, pengalaman itu harus berbasiskan semangat servant leaders. Tanpanya basis yang tepat, maka pengalaman bisa menjadi berbahaya.

4. Bukan Sekadar Sebuah Kreasi             
Komparasi demi komparasi dilakukan demi menemukan karya atau kreasi yang benar-benar matang.  Tak sedikit orang lantas berpikir bahwa inilah hal yang ideal, paling pas, hebat dan seterusnya.  Tapi sesungguhnya tidaklah demikian.  Dengan membuat banyak kreasi dan memikirkan banyak hal untuk menghasilkan banyak kreasi memang terkesan mengarahkan orang pada suatu struktur bangun servant leaders. Namun upaya-upaya yang terkesan positif ini justru kian menjebak orang hanya memikirkan lalu membuat sebuah kreasi-kreasi dalam kepemimpinan.
Dalam bagian seperti ini menjadi satu hal penting orang untuk menyadari, bahwa servant leaders adalah sebuah originalitas pemikiran kristiani yang diajarkan oleh Tuhan Yesus.  Servant leaders bukan sekadar kreasi-kreasi kepemimpinan yang dibuat orang.  Servant leaders adalah sebuah kesadaran yang dibangun dalam kepemimpinan berdasarkan takut akan Tuhan.  Karena itu perlu keluasan dan lebar dalam memahami Servant leaders, untuk dapat mengerti dengan utuh apa yg menjadi esensi darinya. Dengan begini kita dapat lebih berhati-hati, berjaga-jaga agar tidak terjebak pada tempat yang salah.  Karena itu perlu juga memperhatikan sungguh-sungguh keseluruhan aspek hidup kita, bagaimana kita bisa memainkan peran dengan tepat, jeli.  Sehingga, dengan demikian sungguh-sungguh boleh menjadi pemimpin yang melayani.  Tapi tidak terjebak pada sekadar model kepemimpinan. Tidak terjebak hanya mengandalkan sebuah kedewasaan.  Juga bukan sekadar panjangnya pengalaman atau kreasi-kreasi yang diciptakan.
Lebih dari itu, servant leaders adalah bentuk kesadaran relasi yang sehat dengan Tuhan.  Memahami panggilan untuk melayani Tuhan, mengerti apa yang menjadi tujuan dan maksud Tuhan, serta berani membayar apa yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari apa yang dikerjakan adalah ekspreasi nyatanya.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang tidak akan cengeng atau hilang dari tengah-tengah pergulatan, atau lari dari medan pertempuran.  Dia akan menjadi seorang yang konsisten, bertanding dan bertempur untuk menggapai kemenangan demi kemenangan.  Pemimpin yang melayani bukan pecundang. Yesus adalah ideal dari pemimpin yang melayani.  Lihat betapa lembutnya Yesus.  Kelembutannya digambarkan Alkitab dengan bagaimana Dia mengambil anak kecil dan me-meluknya.  Tapi juga lihatlah Yesus yang sangat murka tatkala menjungkirbalikkan dagangan orang-orang di bait suci.  Karena itu jangan salah mengenal Yesus. Jangan pula sekadar mengambil satu aspek dari-Nya.  Ia Mahakuasa karena dia Anak Allah, Dia juga Mahapemurah karena selalu berbagi dalam hidup.  Yesus mati bukan karena tak berdaya, tapi karena mempersembahkan jiwanya untuk sebuah kehidupan.  Jadi, Yesus Kristus Tuhan, Dialah yang akan memberi kita kekuatan kemampuan untuk menjadi servant leaders.