Sebuah fenomena perkembangan jaman..
Sekarang
ini kita melihat banyak motivator berkhotbah seperti pendeta. Dan
banyak juga pendeta yang menyampaikan khotbahnya seperti motivator.
Banyak motivator mengambil sumber dari ayat Alkitab, sementara Pendeta
juga mengutip kata-kata orang besar dan hebat sebagai pendukung
khotbahnya. Pertanyaan saya, kalau demikian apa bedanya motivator
dengan pendeta?
Pertanyaan ini memang fenomena aktual, yang dengan
mudah kita temukan, baik di gereja maupun media. Dengan semakin
terbukanya ruang media, memungkinkan banyak khotbah disiarkan, baik
secara audio maupun video. Di sisi lain, juga fenomena pengkhotbah
dadakan, yang mendadak muncul tanpa jelas latar belakang
pembelajarannya. Yang penting fasih lidah. Mengapa? Mari kita selusuri
dengan teliti.
Pertama, harus kita pahami, era yang sedang kita
jalani, dimana pola pikiran postmo menguasai jaman ini. Di sini saya tak
hendak mengulas konsep pemikiran postmo, karena ruangnya tak akan
cukup. Kita akan membicarakannya sambil berjalan. Posmo adalah sebuah
konsep berpikir. Era pemikiran secara umum dibagi beberapa
tahap: tradisional, modern dan post modern. Tapi yang disebut
tradisional, cikal bakal pemikiran modern, post modern, juga sudah ada,
dan demikian juga sebaliknya. Jadi, era ini tidak berdiri sendiri secara
murni, melainkan saling mempengaruhi. Karena itu diperlukan ketelitian
dalam mengenalinya.
Secara umum pula, era tradisional bisa dikatakan
iman berperan secara dominan. Sementara di era modern rasio menjadi
tuannya. Nah, di era post modern, perasaan menjadi pusat. Dalam
pendekatan keilmuan, tradisional itu eranya teologi, modern itu eranya
filsafat, sementara post modern itu eranya psikologi. Saya biasa
menggambarkan hal ini dalam bagan. Namun harus dipahami, semua pemahaman
tentang hal ini sangat terbuka diperdebatkan, karena sangat tergantung
pendekatan dan latar belakang warna pendidikan seseorang. Dan, lagi-lagi
kita tak akan mengulas isu itu disini.
Kembali ke isu antara pendeta
dan motivator. Di era postmo, motivator bertumbuh subur. Disebut
motivator karena mereka berusaha memotivasi orang untuk meyakini apa
yang mereka ajarkan, yang mereka sebut sebagai “jalan sukses”. Ini
adalah usaha membangun sebuah keyakinan bahwa saya bisa. Biasa juga
disebut sugesti. Namun tak semua orang setuju secara teori menyamakan
memotivasi dan mensugesti. Saya sendiri melihat ini sebagai dua hal yang
sama, dengan baju yang dimodifikasi. Semua pendekatan ini adalah
pendekatan psikologis. Psikologi sebagai ilmu menjadi tuan rumah disini.
Manusia dipelajari sebagai obyek untuk bisa menerima apa yang akan
disampaikan. Untuk itu dibangun sebuah cara. Dan diyakinkan bahwa dia
bisa melakukan apa saja. Sehingga semboyannya adalah: Anda bisa! Apa
yang kamu mau, kamu bisa! Slogan lainnya: Apa kabar, luar biasa!
Wah, keren sekali ya.
Nah, di dalam agama ini (motivasi) disebut
iman. Bahasa kerennya: Jadilah seperti imanmu (Apa yang kamu mau, kamu
bisa). Pas kan? Sehingga ini menjadi salah satu titik temu untuk saling
melompat dan memanfaatkan, antara pendeta dan motivator. Soal siapa
meniru siapa, kita tak akan ulas di sini. Psikologi sering disebut
sebagai agama baru. Di sini teologi diabaikan, bahkan banyak pengkhotbah
lebih suka belajar teknik psikologi dalam mensugesti ketimbang belajar
teologi untuk mengerti Alkitab dan kehendak Allah seutuhnya. Terjadi
sinkretisme (percampuran) yang sangat kental. Nah, susah deh, membedakan
mana pendeta dan motivator, kecuali melihat apa yang mereka pegang,
Alkitab atau buku panduan. Kemiripan meliputi dari cara hingga isi, dan
trik meyakinkan pendengarnya. Misalnya, memanfaatkan kekuatan sound
systim, lighting, orang, dan berbagai alat bantu lainnya.
Bagaimana semestinya? Ini menarik dikaji lebih mendalam lagi.
Kita
mulai dari motivator. Ini adalah produk barat, karena itu tidak
mengherankan jika banyak ayat Alkitab ada di sana. Di Barat, Alkitab tak
lagi sepenuhnya dipandang sebagai kitab suci. Oleh sekelompok orang
Alkitab dinilai sama dengan buku yang lainnya. Jadi mereka tak segan
mengutipnya sebagai catatan kaki. Sebagaimana lazimnya orang menulis
sebuah buku. Nah, sebagai catatan kaki, sering pemikiran Alkitab tampak
mendominasi, hanya saja, bahayanya, berganti pusatnya. Jika dalam
teologi yang benar, Alkitab mengajarkan Allah adalah pusatnya, maka
dalam psikologi manusia adalah pusatnya. Jika Alkitab
mengajarkan: Jadilah kehendak-MU, ya Allah. Maka psikologi jadilah
seperti kehendakmu! Apa yang kamu mau! Jadi, dari sumber yang sama, tapi
pusat yang sangat berbeda. Ini diteruskan, betapapun semuanya sangat
bertolak belakang dengan Alkitab. Itulah repotnya seorang motivator yang
Kristen. Tanpa sadar, dia ditelan di rimba ini, apalagi semuanya tampak
baik, karena tak mengajarkan apa yang jahat, atau percaya pada setan.
Bahkan sebaliknya, menolong banyak orang. Ini biasa menjadi slogan para
motivator: Telah banyak yang merasakan manfaat, atau berhasil karena
mengikuti kelas saya, kata mereka. Soal ini, Alkitab pernah berkata dan
memperingatkan umat: Awas, iblis bisa tampil seperti malaikat terang.
Sekarang,
bagaimana dengan para pengkhotbah, kenapa mereka bisa terpengaruh.
Masalahnya sederhana saja. Karena banyak yang mau jadi guru, tapi tidak
mau jadi murid lebih dahulu. Cobalah pikirkan! Untuk meraih S1 teknik
sipil memerlukan 4-5 tahun kuliah. Lalu pengalaman yang memadai agar
mendapatkan ijin menghitung struktur bangunan bertingkat. Demikian
seterusnya, belajar lagi, untuk tingkatan yang lebih beresiko tinggi.
Gawatnya, untuk jadi pengkhotbah, yang memiliki resiko amat sangat
tinggi, yaitu tersesat, banyak yang tak mau belajar. Jika S1 sipil salah
menghitung, bisa jatuh korban nyawa. Maka pengkhotbah, bisa menyesatkan
dan mendorong orang ke neraka. Seharusnya mereka belajar seperti yang
dikatakan dalam kitab Yakobus. Tapi mereka sering berdalih, murid Tuhan
Yesus juga bukan orang terpelajar. Atau yang lebih ngetrend lagi, Tuhan
berbicara pada saya.
Mari kita periksa kebenarannya. Ingat Paulus
sang rasul adalah murid Gamaliel, seorang guru terkenal. Pertanyaannya
sederhana, apakah Gamaliel lebih hebat dari Yesus Kristus? Mereka lupa,
tidak kurang dari 3,5 tahun para murid belajar kebenaran dari Yesus
Kristus, Sang Benar. Belajar, siang, malam. Duduk, dan juga ketika
berjalan. Semua yang dilewati, ditemukan, bisa jadi pelajaran. Seperti
pohon ara yang tak berbuah, yang dikutuk Yesus. Ditambah lagi praktek
kesembuhan, kebangkitan dari mati, dan berbagai hal supranatural
lainnya. Tak ada yang lebih hebat dari para murid, dalam belajar
kebenaran. Tidak materinya, apalagi pribadi Sang Guru. Namun apa
hasilnya? Murid-murid tak ada yang lulus. Mereka gagal di ujian salib.
Sehingga Yesus memberi kesempatan kedua, ketika mereka ke Tiberias dan
menjadi penjala ikan, dipanggil dan diingatkan, untuk meninggalkan
Tiberias, menjadi penjala manusia. Paulus yang brillian pun gagal
belajar. Sebagai ahli PL dia malah menjadi pembunuh pengikut Yesus
Kristus, hingga Tuhan menangkapnya dalam peristiwa pertobatan yang unik.
Jadi tidak ada murid Tuhan Yesus Kristus yang tidak belajar. Jika
menghitung jumlah waktu, materi pelajaran, dan kualitas pengajar, maka
murid-murid Yesus, minimal S2 teologi. Jangan lupa, kelak merekalah
pengkotbah, pengajar, dan penulis Alkitab yang handal. Malu ah, jika tak
mau belajar, tapi sangat berani berkhotbah.
Jadi, kurangnya
pemahaman yang benar akan Alkitab, membuat banyak pengkhotbah
mengcopy paste ucapan dan bertindak seperti motivator. Memang hasil
kuantitatifnya hebat. Banyak pendengarnya, karena si pengkhotbah fasih
lidah, dan membuat para pendengar menjadi penting, cocok dengan selera
manusia pada umumnya. Inilah yang dikatakan Paulus kepada Timotius di 2
Tim 4:3-4; bahwa waktunya akan datang bahwa orang tak mau ajaran sehat,
tapi mencari guru yang menyenangkan telinganya. Nah, terjadilah
pertemuan besar-besaran. Jumlah yang banyak selalu menjadi alasan bahwa
mereka diberkati. Bacalah Alkitab, semuanya sangat jelas, sudah
diantisipasi, agar umat yang benar tak tersesat. Bayangkan, Paulus
mengatakan itu 2000 tahun lalu. Sekarang, pasti luar biasa penyelewengan
yang ada, dan semua itu benar, fakta yang tak terbantah. Betapa
mengagumkannya Alkitab.
Akhirnya, motivator seperti pengkhotbah dan pengkhotbah seperti motivator
pasti semakin meluas. Bahkan tak sedikit pengkhotbah yang benar secara
teologi, tergoda dengan daya tarik kuantitas, yang juga berarti materi,
dan mereka pun berubah. Benarlah kata Tuhan Yesus Kristus: Banyak yang
dipanggil, tapi sedikit yang dipilih (Matius 22:14). Bahasa gaulnya:
Banyak yang ke gereja tapi sedikit yang ke surga!
Semoga kita menjadi bijak, dan tulisan ini menjadi berkat bagi kita semua yang mencintai kebenaran.
Oleh: Pdt. Bigman Sirait