Selasa, 28 Mei 2013

The Power Of Delegation


handover1.jpg
 Boyle’s law:
If uncontrolled, work always flows to the most competent person until he submerges.

Yitro, seorang imam dari Median, adalah mertua Musa. Mendengar Musa telah membawa keluar bangsa Israel dari Mesir, dia membawa anaknya Zipora - istri Musa - dan dua anak mereka – Gersom dan Eliezer, kepada Musa. Tidak lama Yitro melihat bagaimana Musa bekerja dalam memimpin bangsa Israel. Rakyat seharian berdiri di hadapan Musa, menunggu bertemu Musa yang sendirian ‘menghakimi’ mereka, satu demi satu.
Yitro memiliki hikmat seorang pemimpin modern. Dia melihat cara Musa ini ‘tidak baik’. Rakyat kecapean dan Musa juga, bahkan bisa stres dan ‘burnout’. Cara pekerjaan yang ‘one man show’ ini jelas menjengkelkan banyak orang yang harus menunggu lama untuk suatu pelayanan yang mungkin sebentar saja. Pelayanan yang tidak efisien, tidak selesai-selesai karena persoalan baru terus saja timbul.
Bagi sang pemimpin, kehabisan waktu terus-menerus akan mengancam hubungan dia dengan orang-orang terdekatnya, yaitu dengan pasangan, dengan anak-anak dan teman-temannya. Dan cara demikian dapat dipastikan akan mengancam kesehatannya, baik kesehatan emosi maupun fisik.
Melihat itu Yitro kemudian memberikan suatu nasehat, yang dalam manajemen modern sekarang dikenal dengan ‘delegasi’.  Suatu definisi mengatakan delegasi adalah memberkan tugas yang berarti, baik operasional maupun manajemen, kepada orang lain dengan supervisi dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu delegasi adalah suatu proses, bukan suatu kejadian; suatu metode atau cara, bukan suatu tujuan; dan merupakan suatu investasi jangka panjang pengembangan orang bukan suatu strategi jangka pendek.
Dalam suatu tim, mengapa banyak pemimpin tidak melakukan strategi delegasi ini, ketika manfaatnya begitu jelas. Kalau tidak karena ketidaktahuan, banyak pemimpin yang ‘merasa’ tidak ada waktu untuk mempersiapkan orang lain. Wajar dia merasa dapat melakukan pekerjaan itu lebih baik dan lebih cepat. Sadar atau tidak, seorang pemimpin yang tidak merasa aman bisa merasa takut kehilangan penghargaan dan nama karena digantikan oleh orang lain. Bisa jadi dia memiliki interest pribadi yang sempit, seperti menciptakan ketergantungan pada dirinya. Banyak pemimpin takut kehilangan kontrol dan kekuasaan dalam organisasi ketika membayangkan orang-orang lain bisa menggantikan dirinya.
Ketika pendelegasian dalam suatu organisasi tidak terjadi, dapat dipastikan dengan bertambahnya volume pekerjaan, penyelesaian pekerjaan akan lama, kualitas pekerjaan menurun, dan pelayanan pelanggan merosot. Krisis mudah terjadi, pekerja atau pemimpin mengalami burnout. Staf lain merasa tidak berkembang dan semangat bekerja lemah. Karena tidak terjadi pengembangan staf internal, tidak terjadi promosi yang efektif. Kebutuhan tenaga yang handal dilakukan melalui rekrutmen dari luar. Banyak staf yang potensi keluar mencari tempat yang lebih menawarkan tantangan.
Dalam kasus Musa, pertama Yitro menyadarkan masalah prioritas Musa, yaitu hubungan dengan Allah. Daripada terus-menerus melakukan koreksi, dia menyarankan kepada Musa agar mengajar kepada rakyat hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang rakyat perlu ketahui. Untuk meng-handle pekerjaan mengadili rakyat Israel yang banyak itu, Yitro menyarankan Musa merekrut sejumlah pemimpin yang cakap, takut akan Allah, dapat dipercaya dan benci pengejaran suap Keluaran 18:21).
Kepada mereka perlu diberikan otoritas untuk memimpin, ada yang atas 1000 orang, 100 orang, 50 orang, atau 10 orang. Dia harus ‘mendelegasikan’ tanggung jawabnya, meminta pertanggunganjawab para pemimpin itu, dan sudah barang tentu harus juga berbagi apresiasi orang dan berkat dari pelayanan itu.
Pendelegasian itu tidak untuk membuat Musa santai tapi agar dia memiliki waktu untuk mengerjakan tanggung-jawabnya, yaitu mengerjakan persoalan-persoalan yang sulit. Sang pemimpin tetap bertanggung jawab terhadap misi kelompok, karena itu dia wajib mendukung tim dan memonitor pengerjaan tugas.
Mendelegasi adalah untuk menggunakan sumberdaya yang ada. Dengan pembagian tugas yang baik, akan mencegah terjadinya burnout pada orang tertentu. Melalui pendelegasian akan terjadi pengembangan skill dan kepemimpinan dalam organisasi. Setiap orang merasa menjadi bagian tim dan keberhasilan sehingga mereka lebih memiliki komitmen. Dengan demikian pekerjaan dapat diselesaikan dalam time-frame-nya. Ketika banyak orang terlatih, maka ini mencegah ketergantungan kepada orang tertentu. Dengan demikian menjadikan kelompok yang kuat.
Bagaimana melakukan delegasi yang efektif? Seorang pemimpin yang mendelegasikan suatu tugas seyogyanya memilih orang yang tepat dan memandang sebagai bagian dari pengembangan diri orang itu. Dia perlu memberitahukan dengan jelas tugas yang didelegasikan, tujuan pekerjaan dan standar kinerja yang diharapkan, termasuk waktu yang tersedia. Sang pemimpin perlu memastikan bahwa dia memahami tugas yang diberikan. Berikan otoritas yang sesuai dengan tanggung jawab, apakah atas pengeluaran anggaran, penggunaan tim, dan sebagainya. Berikan dukungan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas.Tetapkan titik-titik kontrol dalam periode pengerjaan tugas. Monitor pelaksanaan secara periodik. Apapun hasilnya sang pemimpin perlu memberikanfeedback, be-rupa apresiasi dan, kalau perlu, pembelajaran ke depan.
Tuhan Yesus memberkati !

Sabtu, 25 Mei 2013

Mengkhianati Indonesia


Mengkhianati Indonesia.jpg
Victor Silaen
Tan hana dharma mangrwa, bhineka tunggal ika (Mpu Tantular)

KITA boleh berbangga karena Indonesia, pada 12 November 2007, dipuji oleh sebuah asosiasi konsultan politik internasional (International Association of Political Consultants/IAPC) sebagai negara demokratis. Namun di sisi lain kita prihatin karena Indonesia hari ini sedang berjalan menuju negara gagal. Dalam berita tentang Indeks Negara Gagal versi lembaga riset nirlaba The Fund For Peace, bekerja sama dengan Foreign Policy, 20 Juni lalu, disebutkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori negara yang sedang dalam kondisi bahaya (in danger) karena berada pada posisi ke-63. Antara lain penyebabnya adalah praktik korupsi yang sedemikian akut dan peristiwa-peristiwa kekerasan karena intoleransi yang kerap terjadi.
Korupsi yang kian mengganas dan merajalela, jika tak mampu diberantas sampai ke akar-akarnya, cepat atau lambat niscaya membangkrutkan Indonesia. Untuk itu bukan hanya KPK yang harus lebih berani dan serius, tapi juga pelbagai komponen bangsa ini harus bahu-membahu bekerja sama memerangi korupsi. Sekedar imbauan untuk KPK, mengapa baju untuk terdakwa koruptor yang dihadirkan di depan pengadilan tidak dipilih yang berwarna saja? Biar lebih ngejreng gitu loh. Biar efek malunya lebih besar, ketimbang bajunya berwarna putih.

Sedangkan masalah intoleransi, peristiwa yang teranyar terjadi pada 26 Agustus lalu di Sampang, Madura, antara kelompok Sunni dan Syiah, setelah sebelumnya juga pernah terjadi pada 29 Desember 2011. Dalam peristiwa beberapa minggu lalu itu tercatat jumlah korban yang tewas satu orang, tapi rumah yang terbakar sebanyak 27 unit. Sementara, di Hari Lebaran lalu, terjadi aksi massa yang menyerang Tarekat At Tijaniyah Mutlak di Kampung Cisalopa, Desa Bojong Tipar, Jampang Tengah, Sukabumi, Jawa Barat, yang menewaskan empat korban. Untuk tragedi kedua ini, herannya, mengapa tak heboh?
Intoleransi juga merupakan akar bagi bertumbuh suburnya kelompok-kelompok terorisme di Tanah Air yang hari-hari ini bermunculan kembali, baik di Solo, Jakarta dan Depok. Inilah yang membuat kita miris dan bertanya kuatir: mampukah Indonesia bertahan sebagai negara-bangsa yang satu? Mungkin saja mampu, dalam arti Indonesia tak akan bubar seperti Uni Soviet. Namun, Indonesia hanya akan berjalan di tempat alih-alih semakin mundur. Betapa tidak. Di seputar Pilgub DKI 2012, khususnya menjelang Putaran II lalu, bertebaranlah hasutan (baik secara lisan maupun tulisan) untuk tidak memilih salah satu kandidat pemimpin lantaran latar belakang suku dan agamanya.
Mari kita bicara terbuka saja. Di sebuah metromini, di bagian belakangnya, ada sebuah tulisan berwarna hitam berukuran besar berbunyi begini: ”Waspada Cina...”  Sementara seorang penyanyi dangdut terkemuka, dalam sebuah wawancaranya baru-baru ini, menyinggung-nyinggung soal pribumi dan non-pribumi, juga Cina Kristen, dengan nuansa yang sangat pejoratif (bersifat memojokkan) terhadap non-pribumi dan Cina Kristen itu.

Mari kita bertanya kritis tentang beberapa hal berikut. Pertama,  apakah makna ”pribumi” itu yang sesungguhnya? Harap dipahami bahwa istilah ini muncul di era kolonialisme Belanda sebelum Indonesia merdeka untuk menunjuk suku-suku bangsa di wilayah Hindia Belanda (kecuali Eropa, Arab, Cina, dan India) yang mereka anggap berkarakter ”bodoh, bebal dan pemalas”. Dengan pengertian itu, setelah Indonesia merdeka, adakah manfaatnya bagi kita mempertahankan istilah tersebut? Jawabannya jelas ”tidak ada” dan atas dasar itu kita harus menghapuskannya dari perbendaharaan kosakata kita sehari-hari. Kalau istilah ”pribumi” dihapus, dengan sendirinya istilah ”non-pribumi” pun demikian. Jadi, yang ada sekarang adalah ”Warga Negara Indonesia” (WNI) atau ”Warga Negara Asing” (WNA). Itu saja penggolongannya.
Lantas, siapa itu ”Cina”? Ini pun mengherankan, sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang yang mengucapkannya kurang berwawasan. Harap diketahui bahwa Cina itu adalah suatu bangsa yang bermukim di ”negeri tirai bambu” Cina, yang negaranya bernama Republik Rakyat China (RRC). Sebenarnya ada satu lagi bangsa Cina, yakni Taiwan, yang sudah lama memisahkan diri dari RRC tapi masih diklaim sebagai bagian dari bangsa Cina.

Keturunan Cina di Indonesia memang ada, tapi mereka secara antropologis telah menjadi salah satu suku di antara ratusan suku di Indonesia. Jadi, mereka harus kita golongkan sebagai suku Tionghoa dan mereka tidak identik dengan Cina. Sebab mereka itu WNI, yang menurut UU No. 12 Tahun 2006 (tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia) termasuk sebagai “Indonesia Asli” apabila sejak kelahirannya telah menjadi WNI dan tak pernah menerima atau menggantinya dengan kewarganegaraan lain. Jadi, untuk penyebutannya, tidak perlu juga menggunakan istilah “keturunan” di depan Tionghoa (“keturunan Tionghoa”). Cukup Tionghoa saja. Lagi pula, apa artinya keturunan? Tidakkah kita semua juga merupakan keturunan dari nenek-moyang kita?       
Bung Karno, salah satu pendiri bangsa dan presiden ke-1 Indonesia, pernah berkata: “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” (Jas Merah). Ia benar. Sebab, hari ini kita jalani karena hari kemarin, dan hari esok kita jelang karena hari ini. Atas dasar itu maka ingatlah beberapa momentum sejarah yang sangat penting maknanya bagi kita hari ini.

Pertama, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, di Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106), Jakarta, milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Saat itu para tokoh pemuda dari berbagai suku dan daerah mengucapkan tiga ikrar bersama: ikrar kesatuan berdasar tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu. Secara politik, bukankah saat itu merupakan kelahiran Indonesia sebagai satu bangsa baru? Sejak itulah pergerakan para pemuda kian menemukan arah yang jelas dalam perjuangannya mencapai Indonesia Merdeka. Jadi, mengapa setelah usia kemerdekaan mencapai 67 tahun kita masih menggolong-golongkan anak-anak bangsa sendiri sebagai ”pribumi” dan ”non-pribumi”?
Kedua, dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Ingatlah proses bagaimana ideologi bangsa ini disahkan pada 18 Agustus 1945. Sebelumnya, ada Pancasila “versi yang lain”, yakni Pancasila berdasarkan pidato Soekarno (1 Juni 1945) dan Pancasila versi Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno sendiri, saat berpidato di depan sidang BPUPKI, mengatakan begini: “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi, setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanusi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen Hian setujui. Pendeknya kita mencari semua satu modus. Tuan Yamin, ini bukancompromise, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.” Harap digarisbawahi, saat itu ada juga seorang Tionghoa (Lim Koen Hian) yang dimintakan juga persetujuannya oleh Soekarno.

Ketiga, khususnya terkait Jakarta, jangan lupakan bahwa keberadaan Batavia (nama Jakarta dulu) tak bisa lepas dari peranan beberapa orang Tionghoa, antara lain Souw Beng Kong, Khouw Kim An, Phoa Beng Gan, dan Nie Ho Kong. Mereka adalah para pembesar Tionghoa yang punya andil besar membangun kota baru Batavia di era kolonialisme Belanda abad ke-17. Itu sebabnya ia kelak diberi gelar Kapiten.
Sungguh, kita patut berduka atas situasi Indonesia hari-hari ini yang kian tak ramah terhadap perbedaan. Banyak orang -- termasuk politisi, pejabat negara, dan elit-elit lainnya -- yang kini mulai mengkhianati Indonesia. Istilah-istilah diskriminatif seperti “pribumi” dan “non-pribumi”, “Cina Kristen” juga “kafir”, dengan gampang dan sembarangan dibawa-bawa ke ranah politik. Tidakkah mereka sadar bahwa strategi politik busuk seperti itu dapat memunculkan segregasi di masyarakat?
Akankah “bhineka tunggal ika” tinggal semboyan belaka? Indonesia sejak dulu sudah sangat pluralistik, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak. Karena itulah, tak bisa tidak, kita harus menerima dan menghargai perbedaan dengan lapang-dada. Ingatlah dan camkanlah bahwa para pendiri bangsa Indonesia hanya pernah bersumpah satu di dalam tiga ikatan: nusa, bangsa, dan bahasa. Di luar itu kita bebas untuk berbeda.

Akhirnya saya ingin mengimbau agar instansi-instansi pemerintah di bidang pendidikan mengevaluasi kembali kurikulum pendidikan bagi para siswa, mulai dari tingkat dasar sampai menengah umum. Mata pelajaran sejarah, khususnya yang berkait dengan kepahlawanan, harus direvisi demi transmisi nilai-nilai patriotisme kepada generasi muda. Generasi muda harus paham bagaimana proses dan lika-liku perjuangan menjadi Indonesia. Agar ke depan mereka tak sekali-kali berkhianat kepada Indonesia.
 


Kamis, 23 Mei 2013

Pengetahuan VS Agama


106.-Opini-2.jpg
ALLAH menciptakan dunia dalam kondisi kosong dan hanya ada kegelapan di sekitarnya. Lalu Allah membuat langit dan bumi serta cakrawala hingga terbentuklah suatu galaksi yang dinamakan galaksi Bima Sakti. Di dalamnya terdapat berbagai macam tata surya antara lain yaitu meteor, bintang, bulan, komet, planet dan masih banyak lagi. Kemudian Allah memisahkan antara gelap dengan terang, dan menciptakan makhluk hidup: manusia, tumbuhan, dan hewan. Semua ciptaan Tuhan ini sangat menakjubkan. Manusia adalah ciptaan terindah dan paling berharga di mata Tuhan. Pernyataan di atas adalah sebagian kecil dari ilmu penge-tahuan yang telah ditelaah oleh para ilmuwan yang telah melakukan eksperimen dan memberi kita bukti sehingga kita mempercayainya. Tidak hanya itu saja namun banyak sekali ilmu yang sudah tertanam dalam otak kita mengenai apa saja yang ada dalam dunia ini. Banyak sekali hal yang telah dibuktikan para ilmuwan dengan hasil penemuannya. Bahkan segala sesuatu yang telah Tuhan ciptakan, di mana manusia tidak punya andil dalam pembuatannya, dibuat seolah-olah tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Contoh, pernyataan seorang ilmuwan bahwa penciptaan manusia tidak ada hubungannya dengan Tuhan, namun manusia terbentuk dari seekor kera yang telah berevolusi, mulai fase membungkuk dalam wujud kera hingga mencapai fase tegak dalam wujud seorang manusia. Di sisi lain, ajaran agama tertentu mengatakan bahwa manusia dibentuk dan diukir tangan Tuhan Yang Mahaesa, dan Dialah yang menghembuskan napas kehidupan itu bagi manusia. Kedua per-nyataan tersebut sa-ngat bertentangan. Perbedaan tersebut menimbulkan bebera-pa pertanyaan: “Mana yang harus kita yakini? Lalu bagaimana kita harus memperca-yainya? Apakah benar ilmu pengetahuan itu bertentangan de-ngan agama?
Sebelum menja-wab, mari kita me-ngetahui terlebih dahulu apa ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu meru-pakan kumpulan pe-ngetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian pula tentang baik buruk, semua itu termasuk ilmu yang berpaling kepada sumber-sumber moral.
“Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta,” kata Einstein. Kebutaan moral ilmu, bisa saja membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat, dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama. Filsafat adalah “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab ilmu pengetahuan karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai: a) hakikat Tuhan, b) hakikat alam semesta, dan c) hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif. Kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif). Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan, penga-laman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara radikal (mengakar), dan integral (me-nyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apa pun, kecuali ikatan ta-ngannya sendiri yang disebut ’logika’ manusia dalam men-cari dan mene-mukan kebenaran dengan dan dalam agama, dengan jalan mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari suatu kepada kitab suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia.
Di setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, adanya sikap percaya kepada Yang Suci. Kedua, adanya ritualitas yang menunjukkan hubungan dengan Yang Suci. Ketiga, adanya doktrin tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut. Keempat, adanya sikap yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.
Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa “suci”, dan agama termasuk dalam kategori “hal yang suci”. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan “yang suci” menimbulkan kewajiban, baik untuk melak-sanakan maupun meninggalkan sesuatu.
Ilmu pengetahuan dan agama sebenarnya bukanlah suatu perbedaan yang perlu diperde-batkan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta keunikan tersendiri. Tidak ada faedahnya apabila kita memper-debatkan antara ilmu pengetahuan dan agama karena hal itu hanya berdampak sia-sia.  Sesungguhnya hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama tidak perlu dipersoalkan karena itu semua kembali pada diri kita sendiri. Kita diberi kehendak bebas oleh Sang Pencipta bukan untuk memilih suatu pilihan yang hanya digunakan sebagai bahan perbandingan  kemudian diper-debatkan untuk hal yang sia-sia. Kita berhak untuk mempercayai ilmu pengetahuan begitu pula dengan keberadaan agama. Itu semua tergantung kepada iman kepercayaan kita masing-masing.
Jadi, apa pun yang kita yakini, itu merupakan hak kita karena kepercayaan bukanlah suatu paksaan melainkan suatu dorongan yang timbul dengan sendirinya dan menjadi rema dalam hidup kita.

 Gonita Magdalena
Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur.

Selasa, 21 Mei 2013

Protes Penghargaan SBY, Romo Magnis Surati ACF


62830_frans_magnis_suseno.jpg
Profesor bidang filsafat, Franz Magnis Suseno, melayangkan protes keras kepada Appeal of Conscience Foundation (ACF) melalui surat terbuka.  Kepada lembaga yang sedianya menganugerahi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan penghargaan "World Statesman" itu Magnis mengungkapkan kritik dan ketidaksetujuannya.  Bukan tanpa alasan, tokoh umat Katolik ini menilai pemberian penghargaan itu diberikan tanpa melihat situasi sebenarnya kehidupan beragama di Indonesia.


Sulitnya umat Kristen untuk berkembang dan mendapatkan izin membuka tempat ibadah, termasuk tentang peningkatan jumlah penutupan paksa terhadap gereja-gereja, seperti ditulis Magnis dalam suratnya menjadi bukti nyata bahwa ACF tidak melirik hal itu sebagai bahan pertimbangan.  Belum lagi soal sikap memalukan dan sangat berbahaya dari kelompok agama garis keras terhadap apa yang disebut ajaran sesat, seperti jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah, seperti ditulis Romo Magnis. 

Penghargaan Negarawan Dunia tahun ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai berjasa dalam merawat toleransi beragama di Indonesia, menjadi ironi besar, lain sekali dengan fakta yang ada di akar rumput.  Berikut salinan lengkap surat terbuka Romo Magnis:



"Surat Terbuka Romo Franz Magnis Suseno SJ untuk ACF
 
Tuan-tuan dan Puan-puan dari Banding dari Appeal of Conscience Foundation (ACF),
 
Saya seorang pastor Katolik dan profesor Filsafat dari Jakarta. Kami di Indonesia mendengar bahwa Anda akan memberikan Penghargaan Negarawan Dunia tahun ini kepada Presiden kami, Susilo Bambang Yudhoyono karena jasanya dalam merawat toleransi beragama.
 
Rencana itu sangat memalukan, dan mempermalukan Anda sendiri. Itu dapat mendiskreditkan klaim apapun akan Anda buat sebagai sebuah institusi berlandaskan moralitas.
 
Bagaimana mungkin Anda dapat mengambil keputusan seperti itu tanpa meminta masukan dari kami yang mengalaminya langsung Indonesia? Mudah-mudahan Anda tidak membuat keputusan tersebut sekadar untuk menanggapi desakan dari orang-orang yang dekat dengan Pemerintah kami ataupun rombongan di sekitar Presiden.
 
Apakah Anda tidak tahu tentang kesulitan umat Kristen untuk berkembang dan mendapatkan izin membuka tempat ibadah, tentang meningkatnya jumlah penutupan paksa terhadap gereja-gereja, tentang banyaknya regulasi yang membuat kaum minoritas lebih sulit beribadah kepada Tuhan, serta intoleransi tumbuh begitu pesat di tingkat akar rumput? Dan secara khusus, apakah Anda tidak pernah mendengar tentang sikap memalukan dan sangat berbahaya dari kelompok agama garis keras terhadap apa yang disebut ajaran sesat, seperti jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah? serta pemerintah yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono tidak melakukan apa-apa dan enggan mengatakan sepatah kata pun untuk melindungi mereka?
 
Ratusan orang yang hidup di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah diusir dari rumah mereka, mereka masih hidup sengsara di tempat-tempat pengungsian seperti gedung olahraga, bahkan sudah ada jemaah Ahmadiyah yang dibunuh dan warga Syiah yang tewas (sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia akan memburuk kondisinya seperti di Pakistan dan Irak [seperti yang dikatakan Presiden GW Bush] di mana setiap bulan ratusan orang Syiah dibunuh dengan dalih agama)?
 
Tidakkah Anda juga tahu bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak pertama kali menjabat sampai 8,5 tahun kini, di istananya belum pernah satu kali pun ia mengatakan sesuatu kepada rakyat Indonesia, bahwa kaum radikal harus menghormati kaum minoritas?  ia telah mempermalukan diri sendiri dengan menghindari tanggung jawab terhadap meningkatnya kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah?
 
Sekali lagi, siapa sih yang Anda mintai informasi sebelum membuat keputusan terkait penghargaan Anda tersebut? Apa yang menjadi motivasi Anda untuk memberikan penghargaan itu kepada Presiden terkait toleransi beragama padahal ia sangat jelas tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menunaikan tanggungjawabnya melindungi kaum minoritas?
 
Saya harus menambahkan bahwa saya bukan radikal, juga bukan "ekstrimis hak asasi manusia" (jika ada istilah seperti itu). Saya sekadar menunjukkan bahwa begitu banyak kemunafikan. Anda dipermainkan oleh mereka - yang jumlahnya masih sedikit - kaum radikal yang ingin memurnikan Indonesia dari apa saja yang mereka anggap sebagai ajaran sesat dan kafir.
 
Franz Magnis-Suseno SJ"


Kamis, 09 Mei 2013

Athanasius Melawan Penggugat Ketuhanan Kristus


Athanasius Melawan Penggugat Ketuhanan Kristus.jpg
Di jaman yang serba bebas seperti sekarang ini, makin banyak orang yang ingin mencoba menunjukkan eksistensi dirinya dengan memilih sikap atau pilihan pandangan berbeda dari yang lain – termasuk melawan setiap kemapanan dan ajaran agama (dogma) yang statis.  Mempertanyakan kembali Keallahan Kristus adalah salah satu upaya mewujudnyatakan sikap pemberontakan tadi. 
Pandangan  nyeleneh yang meragukan ketuhanan Kristus sesungguhnya tidak hanya ada di masa kini. Bahkan jauh ke belakang, pada masa bapa-bapa gereja pun, sudah ada sekian banyak orang yang mempertanyakannya.  Ada begitu banyak karya bapa-bapa gereja bahkan ditujukan secara khusus untuk menjawab persoalan semacam ini (apologia). Dan salah satu di antaranya adalah Athanasius, tokoh gereja katolik awal yang sangat getol memperjuangkan keyakinannya agar tak dirongrong oleh ajaran sesat.
Hampir seluruh hidup Athanasius diabadikan untuk melawan Arianisme (salah satu ajaran sesat waktu itu).   Sebagai orang yang setia pada prinsip yang dipegangmembuat Athanasius kurang disenangi oleh sesama rekan,  karena kesan yang ditangkap adalah kekakuannya dan sombong itu. Salah satu contohnya dapat dilihat dari kekonsistensiannya dalam melawan ajaran Arianisme, tanpa sekalipun kompromi terhadapnya – meski orang di sekelilingnya justru makin permisif terhadap lawan-lawan penggugat ajaran gereja – termasuk Kaisar ikut-ikutan toleran terhadap mereka.  Meskipun itu semua dilakukan Kaisar agar orang-orang yang ada di daerah kekuasaannya bersatu.  Dengan alasan itu Kaisar menganjurkan agar gereja ortodoks lebih banyak memberikan toleransi khususnya pada Arius, agar dia dapat kembali ke dalam persekutuan gereja setelah mendapat hukuman yang pantas.

 Sikap seperti inilah yang ditentang oleh Athanasius.  Bagi pria yang diperkirakan lahir pada akhir abad ke-3 ini, sikap kompromi dapat berubah menjadi bumerang yang akan membunuh balik. Dengan berkompromi terhadap ajaran Arianisme, maka dengan sendiri telah membuka pintu lebar-lebar untuk Arius membongkar ajaran keallahan Kristus yang akan mengakibatkan tamatnya agama kristen.
Athanasius adalah seorang penulis yang sangat produktif.  Banyak karya-karya teologi  yang penting bagi perkembangan kekristenan dan teologi keluar dari “rahim” olah pikirnya.  Karya-karya tersebut antara lain:  Riwayat Hidup Antonius; surat-surat Paskah; karya-karya anti-Arianisme; dan  karya-karya apologia. Di samping keempat karya-karyanya tadi, masih ada satu karya lagi yang mengesankan dan isinya betul-betul perjuangkan, yakni, Inkarnasi Firman.  Dalam buku ini, kelihatan betul bagaimana keseriusan Athanasius memperjuangkan pengakuan keallahan Yesus Kristus.  Ini semua terdorong oleh imannya pada Kristus. Hanya Kristuslah dapat menyelamatkan kita.   Keselamatan seluruh umat bergantung pada belas kasih-Nya.

 Meskipun ada pendapat kontra dari penganut Yahudi yang mengatakan bahwa inkarnasi dan penyaliban anak  sangat tidak pantas, bahkan mengurangi martabat-Nya, Athanasius tetap saja beriman teguh.  Dalam menjawab pernyataan orang Yahudi tadi, Athanasius, Uskup Aleksandria sejak 328 ini, menunjukkan  bahwa inkarnasi salib itu justru pantas, tepat dan sangat wajar. Sebab dunia yang diciptakan melalui Dia hanya dapat dipulihkan oleh Dia.  Pemulihan ini tidak bisa terjadi, kecuali melalui salib. Menurutnya: “Kitalah yang menyebabkan Ia menjadi daging.  Ia mengasihi kita sedemikian rupa, sehingga untuk keselamatan kita, Ia lahir sebagai manusia... Ia datang di antara kita.  Setelah ia membuktikan keallahan-Nya, Ia mempersembahkan kurban- Anak-Nya demi kita dan menyerahkan tubuh-Nya kepada maut menggantikan umat manusia”.  (inkarnasi Firman 4).

 Athanasius juga menjawab argumen-argumen pengikut Arius yang menyitir dari Alkitab untuk membuktikan bahwa Anak Allah lebih rendah dari Sang Bapa.   Athanasius menjawab bahwa bagian dari Alkitab itu menunjukkan pada status Yesus sebagai manusia, bukan pada status kekal-Nya sebagai Allah. “Anak diperanakkan bukan di luar Sang Bapa, tetapi dari Allah Bapa sendiri.  Allah Bapa tetap lengkap, sedangkan “gambar wujud-Nya” adalah kekal serta menjaga persamaan-Nya dengan Allah Bapa dan rupa-Nya yang tak berubah” (pidato-pidato melawan Kaum Arian 2:24, 33).

 Sebagai seorang kristen, membela ketuhanan Yesus adalah harga mutlak.  Membela Kristus tidak berarti kita sudah memberi nilai lebih terhadap Kristus “obyek” yang dibela.  Sebab dibela ataupun tidak, Kristus tetap saja Tuhan.  Justru dengan membela ketuhanan Kristus, berarti kita sedang bersaksi memproklamasikan iman kita.   Bukankah bersaksi tentang Dia adalah tugas kita sebagai umat-Nya?

Rabu, 08 Mei 2013

Kebangkitan Dan Kenaikan Yesus Memang Sulit Diterima Akal


poster-jesus-resurrection-16.jpg
KENAIKKAN  Tuhan Yesus ke surga, sebagai puncak drama penebusan di kayu salib, kemenangan atas dosa dan maut dengan kebangkitan-Nya, yang ditutup dengan mukjizat terakhir yang dilakukan-Nya selama di bumi, yaitu Ia menunjukkan kepenuhan tubuh kebangkitan, ia tidak lagi terikat dimensi ruang dan waktu yang alami, dan Ia pergi kembali kepada Bapa di surga dari mana Ia bersama Bapa dan Roh Kudus akan membimbing umat-Nya sampai kesudahan alam, sampai hari penghakiman kelak. Pemikiran sederhana kita membayangkan bahwa Yesus itu naik ke surga ibarat melayang tinggi seperti balon udara, dan melayang-layang di antara galaksi. Pemikiran ini ibarat pemikiran anak kecil yang baru masuk sekolah taman-kanak-kanak (TK) yang baru terbuka pemikirannya bahwa dunia pendidikan itu sebatas ruang kelas di mana ia pertama kali memasuki dunia pen-didikan yang lebih luas dari rumahnya, padahal anak-anak TK masa kini melihat dunia tidak lagi sebatas itu, anak-anak SD sekarang sudah mengenal dunia tidak sekadar apa yang mereka lihat di buku-buku teks melainkan juga di dunia maya, dunia yang tidak ter-bayangkan sebelumnya kecuali kalau kita sudah memasukinya secara riil.    Demikianlah kita melihat kenaikan Tuhan Yesus yang sulit untuk dimengerti akal manusia sebab di samping pengertian dan pengakuan kognitif seperti penger-tian orang mengenai hukum gravitasi sebelum Newton mengemukakan gagasan-nya, diperlukan pengertian intuitif yang lebih luas yang diterima dengan iman. Gejala apakah yang kita ketahui dari Alkitab tentang Kenaikan Yesus ke surga?

Kebangkitan dan Kenaikan Ke Surga adalah dua hal sepaket yang menunjukkan kemenangan Tuhan Yesus Kristus mengatasi alam tiga dimensi yang terbatas menuju alam empat dimensi yang tidak terbatas, demikian juga kemenangan atas alam maut dan dosa menuju alam hidup dan kebenarannya (1Kor.15). Kebangkitan Yesus bukan saja terlihat oleh para murid Yesus yang dua belas itu tetapi oleh lebih dari 500 orang sekaligus (1Kor.15)! Kenaikan Yesus ke surga menjadi dasar penulisan kitab Kisah Rasul yang menandai era berdirinya gereja Kristen, dan menggenapkan kenyataan bahwa Allah Bapa di surga telah memeteraikan Anak-Nya Yesus sebagai Tuhan dan Kristus (Kis.2:21-36) yang menjadi kesaksian di Yudea, Samaria, sampai ke Ujung Bumi (Kis.1:8).

Di kalangan astronomi, sekarang berkembang pengertian yang lebih luas bahwa alam semesta ini bukan bersifat linear maupun tiga dimensional saja, karena makin manusia membuka diri terhadap alam realita, mereka makin dihadapkan pada kemungkinan yang tidak terelakkan bahwa ada alam paralel yang keberadaannya bertumpang-tindih dengan alam tiga dimensi yang kasat mata ini, namun memiliki dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan dimensi ruang dan waktu tiga dimensi yang kita kenal selama ini. Banyak gejala alam menunjukkan bahwa keberadaan alam maya di luar alam nyata, atau alam baqa di luar alam fana tidak terpungkiri sekalipun manusia belum mampu menguaknya secara keterbatasan rasional yang dimiliki manusia sejauh ini.

Tidak terikat ruang dan waktu
Beberapa lokasi seperti Segitiga Bermuda menunjukkan adanya pertemuan antara dimensi yang tiga itu dengan dimensi maya, dan banyak kejadian di bumi menujukkan adanya fenomena yang tidak terikat oleh ruang dan waktu tiga dimensi yang kita kenal. Buku-buku pa-ranormal menunjukkan banyaknya kenyataan tentang terobosan dunia maya/baqa ke dunia nyata/fana. Menolak kenyataan itu sebagai tidak mungkin karena tidak mematuhi hukum alam yang kita kenal sekarang hanya menunjukkan sikap keterbelakangan yang tidak membuka diri terhadap kemajuan dengan segala kemungkinan baru yang terbuka di depan kita. Hukum-hukum alam yang kita kenal sekarang kelihatannya baru mencakup sebagian fenomena alam (yang tiga dimensional) dan masih banyak hukum alam (yang multidimensional) kita nantikan kehadiran-Nya.

Kebangkitan dan Kenaikan Yesus memang masih sulit diterima akal budi orang modern, namun kalau manusia modern sudah bisa menerima hubungan nir-kabel komputernya ke seluruh dunia mengapa kita tidak membuka kemungkinan hubungan dir-kabel dalam doa ke surga dan alam multidimensi? Yesus telah berada dalam dunia surgawi yang siap akan datang kembali ke bumi untuk menghakimi dunia, karena itu tidak ada hal lain yang bisa kita kerjakan selain menantikan kedatangan-Nya kembali ke dunia tiga dimensi untuk kedua kalinya yang siap menyelamatkan orang percaya dan menghakimi orang yang tidak percaya.

Selasa, 07 Mei 2013

Pendeta


Pendeta.jpg
Hotman J. Lumban Gaol

Kata “pendeta” dalam tradisi gereja, bahkan di Eropa tidak menemukan akar kata yang kuat. Sebutan Pastorlah yang tersemat bagi seorang pelayan Tuhan. Sebutan pendeta hampir tidak pernah disebutkan. Kalau demikian dari mana asal-usul dari gelar atau sebutan pendeta yang dipakai bagi pelayan Tuhan? Panggilan itu, disinyalir merupakan gelar pengakuan terhadap para pemimpin agama di era pasca-Reformasi, kemungkinan di abad ke-17.
Masa reformasi gereja di Eropa, kaum pelayan menyapa rekan sepelayanan dengan sebutan reverend brethren. Jika diterjemahkan bebas disebut “saudara pendeta.” Tak tepat sebenarnya. Namun, kalau kita merujuk gereja mula-mula, kata itu diartikan bebas sebagai pemimpin. Sebutan pendeta, yang dipakai kemudian mengacu kepada sifat dari jabatan, bukan kepada individual.

Jika kita merujuk sejarah, Kristen Indonesia yang memakai pendeta. Kata pendeta lebih dekat dengan sebutan pandita dalam tradisi Hindu. Pandita berubah lapal menjadi pendeta [bahasa Batak:Pandita]. Dalam agama Hindu kata pendeta memiliki kekuatan yang mengikat umat. Pandita adalah insan yang suci. Dilihat dari kemampuannya  memiliki pengetahuan, sikap, dan prilaku yang baik sehari-hari. Bahkan, keputusan ucapannya yang bijaksana.
Pendeta [bahasa Sanskerta: Pandita] berarti brahmana, guru agama dalam tradisi Hindu atau Buddha. Ucapan pandita adalah suara kebenaran, atau darma. Karena itu, ada empat sifat pandita yaitu: Pertama, Sang Satya Wadi artinya selalu membicarakan kebenaran. Kedua, Sang Apta artinya selalu dapat dipercaya. Ketiga, Sang Patirthan artinya tempat memohon kesucian. Empat, Sang Penadahan Upadesa artinya pandita memiliki kewajiban memberi pendidikan moral kepada masyarakat. Oleh karenanya, pandita disebut Adi Guru Loka yaitu guru utama dalam lingkungan masyarakat.
Pandita, berpaling dari pengertian “bhisama.” Lagi-lagi dalam agama Hindu, pada bait kakawin Ramayana disebutkan bahwa bhisama berarti bahaya untuk dilanggar karena bhisama sesuatu yang menakutkan. Berasal dari buah pikiran pandita suci. Artinya ucapan pandita harus ditaati. Pandita juga kata lain daripada pandito, diartikan penempa. Ibarat mpu, si penempa keris dari baja; menempanya di tungku perapian.  Padanan istilah pendeta untuk agama Islam disebut ustadz, untuk Kristen Katolik adalah pastor, sedangkan untuk Buddha adalah biksu  [bahasa Hokkian: boksu].

Tradisi Kristen Indonesia sesungguhnya mengadopsi bahasa Sansekerta, pandita menjadi pendeta. Tidak ada yang salah! Di Minangkabau ulama Islam pernah dipanggil pendeta seperti yang terekam dalam novel Marah Roesli, Siti Noerbaya, itu. Pendeta diartikan memiliki kewajiban untuk menentukan suasana dalam jemaat, sehingga jemaat dapat lebih giat memenuhi panggilannya. Penuntun sebuah komunitas yang belajar-mengajar. Pendeta adalah pengajar jemaat. Ia, juga merupakan seorang pengajar khusus, dimana sang pandito berjibaku melibatkan diri secara langsung.
Alih-alih ucapan pandeta berisi petunjuk, aturan yang bertujuan untuk menata, memantapkan, dan mengarahkan umat. Dalam ruang yang lebih luar berarti penuntun umat. Seorang pendeta mesti mengerti kitab suci, itu satu hal. Hal lain, yang tatkala penting tata pri kehidupannya. Ia, bukan hanya ketika berada di atas mimbar suci dalam tanda petik, tetapi integritasnya diuji di lakon kehidupan sehari-harinya. Maka, kepatutannya memperlihatkan sikap mulia.
Sang pendeta, pemberian sabda didasari oleh pengalaman nyata bersama Tuhan-Nya. Dalam tuntunan agama, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan dipakai sebagai acuan umat. Dan, yang pertama dan yang utama yang menjadi kekuatan di dalam diri pendeta adalah keyakinannya. Jauh di dalam lubuk hatinya, bahwa Tuhan telah memanggil dia menjadi seorang pelayan, bukan untuk dilayani. Jika itu melekat, dialah sang pendeta penuntun umat itu.

Alkitab dengan gamblang menyebut seorang pelayan Tuhan [pendeta] adalah seorang manusia Tuhan. Walau pastor dan pendeta itu hanya jabatan, bukan gelar, karena nantinya setelah selesai mengembankan tugasnya gelar itu bisa pensiun disebut emeritus [bagi perempuan disebut emerita]. Pendeta yang bagi gereja tertentu, mengizinkan pendetanya bertugas seumur hidup.
Khotbah yang terbesar, yang termulia, dan yang terbaik dari yang pernah disampaikan oleh seorang pendeta adalah melalui contoh hidupnya sendiri. Ralp Waldo Emerson berkata, “Apa yang kamu sampaikan begitu nyaring, saya tidak dapat mendengar apa yang kamu katakan.” Tidak ada seorang-pun yang dapat berkotbah lebih tinggi dari suara tangisan terhadap contoh hidupnya sendiri.
Tetapi, umumnya gereja-gereja menetapkan batasan masa seorang pendeta. Yang hendak tidak bisa dilupakan jabatan pendeta itu jabatan yang diurapi Tuhan. Belakangan emeritus sendiri menjadi agak samar, karena ucapan emeritus yang dulunya disematkan pada pendeta, kini di kalangan akademik juga menyebut emeritus bagi professor atau guru besar yang pensiun.
Mengatakan “lakukan apa yang saya katakan” itu yang diucapkan, pendeta. Tetapi alangkah menghujam hinggap menusuk sampai ke hati kalimat Yesus “Perbuatlah seperti yang saya lakukan.” Paulus juga pernah katakan, tidak pernah berhenti menyerukan hal itu, tanpa sebuah keegoisan, untuk mengajak orang-orang yang percaya mengikuti keteladan dalam mencontoh hidupnya.

Jadi, kalau pendeta yang tidak menunjukkan sifat baiknya. Pelayanannya melenceng dari tugas mengarahkan umat, maka patut juga dipertanyakan, yang salah adalah lembaga tempatnya digembleng. Dari mana asal-usulnya, latar belakangnya lembaganya. Kata lain, dari mana asal sekolah sang pendeta tersebut.
Para calon tokoh pemimpin umat itu harus dilatih dengan keras. Para pendeta [pandito]terlebih dahulu digembleng sebelum diberikan tugas. Dulu, cerita pewayangan para panggawa pun harus melewati kancah candradimuka. Cerita pewayangan yaitu tentang cerita Gatotkaca, di mana Gatotkaca direbus dulu di dalam kawah candradimuka, setelah proses itu akhirnya dia memiliki kesaktian otot kawat tulang besi.

Ada pelatihan disiplin bagi mereka yang hendak memimpin umat. Orang yang didik dengan baik dalam candradimuka itu adalah orang yang baik. Sebaliknya pandito yang tidak pernah dididik dengan kedisiplinan terlihat. Calon pandito seperti ini nggak pernah merasakan dikerangkeng, menderita. Kalau tidak pernah dirasakan dipanaskan di atas tungku. Bagaimana menahan sakit! Tungku itu, zaman mondern ini disebut sekolah tinggi teologia. Tempat persemaian hamba-hamba Tuhan. Tetapi lihat, kalau mau jujur lulusan sekolah tinggi teologia seringkali tidak diperhitungkan, atau diberikan hak lebih layak dari lulusan lain.
Itu juga barang kali, konon, katanya, orang Kristen menganggap bahwa sekolah teologia adalah tempat orang-orang yang terakhir. Orang-orang yang tidak lulus seleksi perguruan tinggi biasanya pelariannya mendaftar ke sekolah teologia. Itu bisa dilihat, sejak tahun 80-an penerimaan mahasiswa sekolah tinggi teologia selalu dibuat terakhir. Untuk apa? Menunggu calon mahasiswa “buangan” yang tidak diterima di universitas. Ini salah kaprah!

Senin, 06 Mei 2013

Seandainya JK


Seandainya JK.jpg
Oleh:  Victor Silaen
PILIHAN-pilihan politik kerap tak bisa dikategorikan sebagai ”yang paling benar” dan sebaliknya ”yang paling salah”. Kecuali dalam kasus tertentu, seperti tahun silam saat warga Jakarta memilih Jokowi-Ahok atau Foke-Nara. Lha sudah tahu Foke itu terduga korupsi  (minimal ada 10 laporan korupsi yang masuk ke KPK, belum lagi yang bersumber dari kasak-kusuk di warung tegal dan arisan keluarga), kok masih dipilih juga? Makanya, komunitas Kristen yang mendukungnya seraya mendoakannya di mimbar gerejawi itu cuma dua kemungkinannya: tak berwawasan sama sekali dan/atau punya kepentingan tertentu dengan Foke.
Terkait itu, mungkin sebagian besar kita kecewa dengan kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bayangkan, karena sikap ragu dan lambannya, nama SBY kerap dipelesetkan menjadi Soslow Bimbang Youdontyouknow atau dipendekkan menjadi Presiden Susi. Apa boleh buat, itulah konsekuensi logis seorang pemimpin yang untuk partai sigap turun-tangan tapi untuk rakyat siap angkat-tangan.
Karena kekecewaan yang begitu besarnya, ada orang yang lantas berpikir begini: ”Coba dulu seandainya kita memilih JK.” Maksudnya, kalau JK (Jusuf Kalla) menang, dia pasti lebih baik ketimbang SBY yang kurang baik? Hmm... saya ragu. Bacalah berita yang dikutip dari beberapa situs dan media sosial ini.

Jumat (1/3) sore kemarin, Pak JK memimpin rapat DMI (Dewan Masjid Indonesia). Sehabis mahgrib ia cerita bahwa baru saja ceramah di Makasar dalam konferensi gereja di hadapan 700 pendeta. Dalam sesi tanya-jawab ada yang tanya tentang GKI Yasmin di Bogor. JK menjawab: “Anda ini sudah punya 56.000 gereja di seluruh Indonesia, tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih. Pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid, kenapa urusan satu gereja ini Anda sampai bicara ke seluruh dunia? Toleransi itu kedua belah pihak, Anda juga harus toleran. Apa salahnya pembangunan dipindah lokasi sedikit saja. Tuhan tidak masalah kamu mau doa di mana. Izin membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan wali kota.”
     Lalu ada lagi yang bertanya begini: ”Mengapa di kantor-kantor mesti ada masjid?” JK pun menjawab tegas: ”Justru ini dalam rangka menghormati Anda. Jumat, kan tidak libur. Anda libur hari Minggu untuk kebaktian. Anda bisa kebaktian dengan lima kali shift, ibadah Jumat cuma sekali. Kalau Anda tidak suka ada masjid di kantor, apa Anda mau hari liburnya ditukar: Jumat libur, Minggu kerja? Pahami ini sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen.”

Dalam acara lain, Launching Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012, di Hotel Akmani, Jakarta (7/3/2013), mantan wakil presiden 2004-2009 ini juga mengatakan toleransi di Indonesia sangat baik. Hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari beberapa perspektif. Hari libur nasional adalah hari libur semua agama. “Ini tidak terjadi di negara mana pun di dunia,” ujar JK.
Dari sisi kepemimpinan, lanjut JK, tahun 2007 ada sepuluh gubernur yang non-muslim dari 33 gubernur di Indonesia. Saat ini ada delapan gubernur. Dari sisi pemerintahan, pada zaman Orde Baru, semua kementerian penting pernah dijabat oleh non-muslim. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin tak pernah terjadi di Amerika Serikat sekalipun, bahwa ada kementerian strategis dipegang oleh muslim selaku minoritas di sana.

Memang, JK lebih tegas dan lebih cepat ketimbang SBY. Kita rindu pemimpin berkarakter seperti itu, alih-alih pemimpin seperti “bebek lumpuh” dan takut mengambil risiko pula. Tapi, kalau yang lebih cepat itu termasuk juga cepat bicara, bukan tak mungkin suatu saat dia memperlihatkan keaslian dirinya. Dan sayangnya keaslian itu justru ngacodan ngawur. Akhir Juni 2006, misalnya, JK pernah membuat pernyataan soal janda-janda di Puncak, Jawa Barat, yang kawin kontrak dengan para lelaki Arab Saudi. Saat itu ia, selaku wakil presiden, tengah berbicara dalam Simposium Strategi Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah di hadapan para pengusaha turisme. JK berkata: “Kalau ada masalah janda di Puncak, itu urusan lain. Jadi, orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak bisa memperbaiki keturunan. Nanti bisa mendapat rumah kecil, rumah BTN. Ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep.”

     Kutipan pernyataan JK itu muncul di halaman depan The Jakarta Post. Pembaca harian ini meliputi kaum intelektual, diplomat dan kalangan internasional. Tak pelak, aktivis perempuan pun angkat suara. Sekitar 70 organisasi perempuan, termasuk Fatayat Nahdlatul Ulama, Institut Ungu, Kalyanamitra dan Srikandi Demokrasi Indonesia, langsung menggelar pertemuan media di Jakarta. Kaukus Perempuan -- kumpulan semua legislator perempuan di DPR -- berniat memanggil JK.
Ucapan JK itu ternyata juga dikutip berbagai media internasional, dari yang berbahasa Inggris hingga Mandarin, dari Jerman hingga Arab. Maka, kantor wakil presiden pun segera menggelar pertemuan pers guna meredakan kemarahan orang. Saat itu JK mengakui itu hanya “kelakar”. Ia sama sekali tak punya keinginan merendahkan perempuan. Benarkah? Bukankah apa yang terucap mencerminkan apa yang terpikir? Dan kalau seperti itu pikiran JK, tidakkah itu berarti dia tipikal lelaki peleceh perempuan?

Nah, sekarang mari kita bicara soal toleransi di Indonesia. JK benar bahwa rumah ibadah di mana-mana bertambah. Tapi, apa karena itu lalu rumah ibadah yang sudah sah izinnya bisa direlokasi begitu saja? Apa lantaran itu lalu GKI Yasmin bisa seenaknya saja disegel dan lalu disuruh pindah?
Ini soal hukum Pak JK. Jadi, kalau benar Anda negarawan, bicaralah dalam koridor ini – jangan malah seperti preman yang sering melanggar hukum. Tidakkah Anda paham bahwa Mahkamah Agung, sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negara ini, tahun 2009 sudah memutuskan GKI Yasmin berhak atas rumah ibadahnya yang telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 13 Juli 2006 itu? Keputusan MA yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) itu selanjutnya diperkuat oleh Rekomendasi Ombudsman RI tahun 2011, bahwa tindakan penyegelan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto merupakan sebentuk mal-administrasi. Tidakkah itu lebih dari cukup untuk menjamin secara hukum bahwa jemaat GKI Yasmin berhak atas rumah ibadahnya?

Jadi, Pak JK, kalau mau bicara soal toleransi, jangan abaikan soal hukum. Sebab kalau tidak, saya kuatir yang dibicarakan sebenarnya adalah kompromi atau negosiasi. Itu politik, bukan hukum. Ingat, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Itu berarti, hukum harus menjadi panglima di negara ini. Sekali lagi, kalau benar Anda negarawan, bicaralah dan berbuatkah demi tegaknya supremasi hukum. Salah satu faktor perusak Indonesia dewasa ini kan karena penegakan hukum dan aparat hukumnya berjalan simpang-siur. Bukan begitu, Pak JK?
Nah, soal Jumat kerja Minggu libur, mengapa Anda mengatakan itu sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen? Lucu sekali. Tidakkah itu merupakan penyesuaian Indonesia kepada dunia internasional yang telah berabad-abad menetapkannya sebagai sesuatu yang konvensional? Ataukah, kalau Anda jadi presiden, Minggu akan Anda jadikan hari kerja sedangkan Jumat hari libur?

Pak JK, saya kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei selama ini: bahwa Indonesia memang kian intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co(5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. “Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi”, 5 Juni 2012. Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. “Ini menunjukkan tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata Philips.

     Terkait itu tak heran jika Indonesia menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei 2012. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada saja gereja yang dirusak/ditutup paksa? Bahkan di era SBY (2004-2010), ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa. Itu baru gereja, belum termasuk rumah ibadah umat lain semisal Ahmadiyah.
Sementara Human Rights Watch (HRW) dalam World Report 2013 menyebutkan, selama 2012 Pemerintah Indonesia gagal membela minoritas agama yang terancam dan para aktivis damai yang dipenjara karena pandangan politik mereka. Sepanjang 2012, menurut HRW, Pemerintah Indonesia kurang mengambil tindakan yang memadai terhadap para militan Islam yang memobilisasi massa untuk menyerang kelompok minoritas agama. Hal senada dikatakan oleh Setara Institute, bahwa serangan terhadap minoritas agama meningkat dari 144 kasus pada 2011 menjadi 264 kasus pada 2012. Puluhan peraturan, termasuk surat keputusan bersama menteri tentang pembangunan rumah ibadah, menyuburkan diskriminasi dan intoleransi.
Jadi, Pak JK, lebih bijaklah jika kita dengan rendah hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait meningkatnya intoleransi dewasa ini. Saya percaya Anda bisa mencari faktor-faktor penyebabnya.

Minggu, 05 Mei 2013

Teladan Kepemimpinan Yoshua

Teladan Kepemimpinan Yoshua.jpg
 “Pilih Tuhan atau Pilih Berhala”, ungkapan lugas, jelas dan tegas dari Yoshua, seperti disebut dalam Yosua 24:14-18. Sebuah ungkapan yang jika ditilik dalam konteks kepemimpinan yang tegas akan mendapat makna luar biasa.  Ketegasan seperti Yoshua perlu juga dimiliki oleh para pemimpin, khususnya pemimpin gereja.  Bukan hal mudah mengambil sikap yang tegas di tengah-tengah bangsa Israel yang sulit diatur.  Apalagi jika melihat sejarah kelam bangsa Israel yang begitu dinamis, penuh dengan perlawanan, pertobatan dan kembali tidak setia terhadap Tuhan yang telah membebaskan mereka.  Tidak cukup sekali, bangsa Israel lari dari Tuhan, jatuh-bangun relasi Israel dengan Tuhan.  Perselingkuhan dengan berhala; berbelok ke kiri ke kanan semaunya; lari dari jalan Tuhan, membuat Tuhan betul-betul murka terhadap mereka. Semua yang terjadi atas bangsa Israel menjadi pembelajaran penting bagi seorang Yoshua dalam kepemimpinananya kelak.  Sejarah moyangnya menjadi hal penting bagi Yoshua untuk mengerti hakikat dari kepemimpinan dalam kebenaran dan kepemimpinan yang tegas. Pemimpin yang tegas seperti diteladankan oleh Yoshua tampak dalam hal-hal berikut:

1. Tegas Pilihan Warnanya
Orang kristen, apalagi dia seorang pemimpin harus benar-benar menentukan dengan jelas “warna” apa yang dia pilih.  Putih, merah, hitam atau abu-abu; menjadi Kristen atau nonkristen, campuran keduanya, atau ada bentuk lain lagi, yang terpenting dan terutama adalah kejelasan warnanya.  Termasuk juga keharusan menentukan warna, apakah gereja sebagai lembaga hendak benar-benar dijadikan sebagai gereja atau perusahaan.  Hal ini penting, sebab gereja seringkali nampak tidak ada bedanya dengan yayasan.  Gereja bahkan tak jauh beda dengan perusahaan. Pengaturan keuangan, posisi keuangan, bagaimana pertanggungjawabannya menjadi penanda kondisi ironi gereja.
Secara filosofis tentu saja hal ini salah kaprah.  Betul, uang memang diperlukan untuk mengelola gereja, tapi tidak sama dengan gereja hidup karena uang.  Jika demikian lalu di manakah Tuhan sang empunya gereja itu.  Masakan Tuhan tidak dapat memperlengkapi gereja dengan cara-Nya.  Karena itu yang diperlukan hanyalah ketaatan kepada Dia dengan sungguh-sungguh, maka Allah pasti akan mengirimkan kebutuhan itu

2. Tegas Posisi
Setiap pelayan Tuhan, entah itu Pendeta, Pengurus atau Majelis gereja perlu benar-benar tegas dalam menentukan posisinya, termasuk tujuan apa yang hendak dituju ketika jabatan itu disandang.  Sebab dengan jabatan itu orang mudah saja mendapuk diri sendiri sebagai Bos atas lainnya.  Sebagai orang penting dalam suatu lembaga seperti gereja mudah saja dia mengatur orang seenaknya.  Pendeta ataupun majelis sesungguhnya adalah pelayan Tuhan.  Sejatinya semua orang, baik itu Jemaat, Majelis pun Pendeta adalah pelayan atas Tuhan, sang pemilik gereja. Dialah Kristus Yesus itu. Maka tidak satu orang pun berhak mengatakan “ini gereja saya, saya yang bangun ini”. Lebih menyedihkan lagi, jemaat, atau orang-orang menganggap ini bukan sebagai hal yang penting.  Bahkan cenderung  permisif, jika itu masih ada dalam naungan kata “pelayanan”, dengan dalih ini dan itu.
Tentu saja hal seperti ini sangat membingungkan.  Bagaimana mungkin hal itu disebut pelayanan jika ketidakbenaran dibiarkan.  Semua orang di dalam naungan sebuah lembaga gereja, atau gereja secara organis adalah pelayan.  Tetapi tidak berarti boleh ada pelayan yang murahan.  Jika di luar sana tidak dapat berbuat apa-apa, tidak diterima di mana-mana, lalu mendadak masuk dalam dunia pelayanan dan berharap diterima.  Melayani sudah sepatutnya dengan baik dan maksimal. Semua melayani dengan profesional, dengan otak yang Tuhan beri.  Juga makasimal dengan harta yang Tuhan perbolehkan kita nikmati.

3. Jelas Tujuan.
Jikalau warna seorang pemimpin sudah tidak jelas, lalu posisinya pun tidak tegas, hendak dibawa kemana kepemimpinan dan orang yang dipimpin? Maka tidak perlu heran jika di kemudian hari tujuannya pun melenceng, lalu muncul kesulitan, bahkan menghadapi banyak benturan.  Nasi sudah menjadi bubur.  Sudah terlanjur. Menghadapinya tak perlu kemudian menjadi cengeng, kompromisitis, apalagi menjadi bunglon.
Sadar atau tidak, tanpa tujuan yang jelas, pemimpin justru membawa gereja menjadi bunglon, menjadi mirip dengan dunia.  Meng-copy-paste tradisi dunia bahkan menjadi sesuatu yang lumrah saja.  Bagaimana orang dunia menyanyi, itu yang ditiru.  Bedanya hanya ada pada liriknya saja.  Di dunia sana liriknya bicara tentang diri, tentang aku dan kekuatanku, di sini, gereja berbicara tentang Yesus Tuhanku. Padahal, sebetulnya spirit yang berlaku sama saja.  Semua sama-sama mencari kenikmatan diri semata, tanpa memikirkan kesejatian pujian adalah menyenangkan Tuhan.  Tujuan Gereja secara umum adalah menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan diri.  Saya ke gereja untuk menyenangkan Tuhan, dan bukan malah meminta untuk disenangkan, dipenuhi kebutuhan psikologis dan emosinya. Menghadapi kondisi ketidak-jelasan tujuan diperlukan teladan pemimpin dan kepemimpinan ala Yoshua. 
Yoshua dengan tegas menantang seluruh Israel, memilih berhala atau Allah.  Memilih cara dunia atau cara Kristus.  Tuhan bagi Yoshua tidak boleh dinomorduakan.  Maka dengan tegas dia berkata: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN”.  Patut diacungi jempol apa yang dilakukan oleh Yoshua.  Pilihan tegasnya didasarkan pada kesadaran yang mendasar, bahwa hidupnya dan keluarganya adalah benar-bbenar seutuhnya milik Allah.  Hidup untuk melayani Allah.  Bukan sekadar pilihan sikap basa-basi semata, tapi benar-benar Yoshua tunjukkan dalam sikap hidupnya.  Untuk itu, sebuah ketegasan perlu sikap hidup yang benar. Tidak ada cacat-cela yang dikemudian hari dapat ditunjukkan orang.
Dari pilihan sikap dan ketegasan Yoshua ini dapat dipetik prinsip penting, bahwa perilaku yang sejalan dengan kebenaran yang dihidupi memberikan keberanian pada orang untuk bersikap tegas. Dan Yoshua sudah melakukannya dengan jeli, dengan hebat.  Sebab tuntuttan Alkitab benar-benar sudah gamblang  dan jelas “jangan serupa dengan dunia ini”. 
Oleh: Pdt. Bigman Sirait