Jumat, 21 Juni 2013

FROM SUCCESS TO SIGNIFICANCE



success-or-significance.jpg
Tahun ini Bill Gate adalah orang kaya kedua di dunia dengan nilai asset USD 61 milyar atau sekitar Rupiah 600 triliun, atau sekitar 40% belanja negara kita. Seorang yang dropout dari Harvard Business School, tapi sukses membangun perusahaan software Microsoft. Tapi yang mengejutkan, pada tahun 2008 dia mengumumkan tidak lagi menangani urusan sehari-hari bisnis tapi akan mendedikasikan segala kreativitas dan waktu untuk mengelolah pekerjaan Bill & Melinda Gate Foundation yang menangani dana sosial senilai USD 29 milyar untuk bantuan kesehatan global dan kemiskinan ekstrim dunia. Dari sukses dalam bisnis, Bill Gate kemudian mengejar makna hidupnya melalui kegiatan sosial.

Pada usia muda, manusia mengejar sukses. Mereka menetapkan sasaran-sasaran hidupnya dan berusaha mencapai sasaran-sasaran itu. Sasaran-sasaran mereka berkisar pada masalah-masalah pemenuhan berbagai kebutuhan dan keinginan. Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan manusia itu hierarkis dan meningkat dari kebutuhan fisik, keamanan, sosial, respek dan puncaknya adalah kebutuhan aktualisasi diri. Sadar atau tidak sadar manusia berusaha mengakumulasi harta, nama, posisi, kekuasaan dan kenikmatan-kenikmaan dalam hidupnya. Inilah masa sukses manusia. Pencarian yang berorientasi untuk diri sendiri. Sekalipun dalam bentuk kegiatan ‘melayani’, ada masa-nya melayani adalah performan yang memuaskan diri, apakah itu mengajar, melatih, berkotbah, dan sebagainya.  Sudah barang tentu tidak semua orang mengalami sukses. Ada banyak orang yang hidupnya terus sulit sepanjang hidupnya tidak pernah mengecap sukses.

Pada titik tertentu dalam hidupnya ada orang-orang, seperti Bill Gate, yang mempertanyakan arti hidupnya. Mengapa dia ada di dunia? Apakah yang dia lakukan memiliki arti? Apa yang akan dia tinggalkan ketika dia harus mengakhiri hidupnya? Mereka mencari makna atau significance atau arti hidup mereka. Dalam hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow, ini adalah sejalan dengan tahap aktualisasi diri seseorang. Dia mau melayani orang lain karena dia sedang menjalankan misi hidupnya. Dia berbagi pengalaman, talenta, hartanya, energinya dan pengalaman-pengalaman hidupnya untuk kemajuan orang lain. Dia ingin mempengaruhi dan memberdayakan orang lain. Dia berpikir apa warisan yang akan dia tinggalkan.

Perubahan orientasi ini terjadi seringkali sejalan dengan ketika orang mengalami krisis tertentu atau mencapai usia tertentu. Dan ini sering terjadi pada usia yang sudah semakin banyak, seperti dalam kasus Bill Gate, yaitu pada usia paruh baya. Kemudian mereka memasuki paruh kedua dengan orientasi yang berbeda itu. Sudah barang tentu banyak orang yang tidak pernah mengalami hidup dengan orientasi pencarian makna ini.
Sesungguhnya orang percaya memiliki potensi dan bahkan diperintahkan untuk hidup mengejar makna ketimbang sukses.  Matius 6:33 memerintahkan agar kita mencari kerajaan Allah dan kebenarannya (makna), maka Tuhan akan menambahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (sukses) itu.  Tuhan Yesus hanya hidup hingga usia 33 tahun dan melayani dengan masa yang pendek, yaitu 3 tahun. Namun hidup-Nya memberikan ‘makna’ yang luar biasa, tidak saja dalam karya keselamatan-Nya di kayu salib, tapi juga dalam perbuatan-Nya sehari-hari bagi banyak orang yang hidupnya Dia sentuh.

Paulus mengalami perubahan total dalam orientasi hidupnya, dari mengejar posisi di antara masyarakat keagamaan Farisi kepada pengenalan kepada Kristus ketika dia bertemu dengan Dia (Lihat Filipi 3:7). Segala sesuatu yang dulu dia anggap sebagai keuntungan, kemudian Paulus anggap sebagai kerugian karena Kristus. Perubahan perspektif terhadap Kristus memungkinkan peralihan orientasi hidup orang. Paulus kemudian mengejar pelaksanaan misi hidupnya: Memberitakan Injil terutama kepada orang-orang non Yahudi.

Seseorang perlu memiliki ‘sense of significance’ yang sehat untuk memiliki orientasi pada hidup yang mengejar makna. Setiap pribadi adalah spesial, unik dan memiliki peran yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Dengan kepekaan seseorang bisa menjadi berkat bagi orang lain yang tidak bisa atau sulit digantikan oleh orang lain. Alkitab menegaskan sesungguhnya Tuhan sudah merencanakan suatu ‘pekerjaan baik’ bagi orang percaya dan Allah mau kita mengerjakannya (Efesus 2:10).

Mengapa perubahan perspektif ini banyak terjadi pada usia paruh baya? Karena pada waktu itu orang membayangkan memiliki sisa waktu sedikit lagi. Dalam waktu tidak lama dia akan pensiun dan kehilangan kekuasaan dan fasilitas yang selama ini dia nikmati. Ada ‘sense of urgency’ untuk menggunakan waktu yang tersisa untuk hal-hal penting. Sense of urgency ini akan membawa orang kepada kesadaran pentingnya menjadi bermakna.

Oleh karena itu, untuk men-trigger proses peralihan itu, seseorang perlu memiliki kesadaran akan dirinya, akan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Dengan kesadaran itu dia bisa meng-kapitalisasikan kekuatan-kekuatannya dan menutupi kelemahan-kelemahannya. Dengan demikian dia bisa mengalihkan karirnya ke area-area yang menjadi panggilan dan mencapai misi hidupnya.

Pengejaran kepada hidup bermakna terjadi ketika seseorang membangun relasinya dengan Sang Pencipta dan dengan sesama. Relasi membawa kepada pengenalan dan pengenalan mempengaruhi perspektif seseorang. Dengan relasi yang intim dengan Allah yang kekal, maka ada harapan seseorang berpikir kekekalan. Dan ketika dia berpikir demikian maka relasi dengan sesama menjadi utama.

Ketika seseorang mencari makna hidup, melayani menjadi misi bukan prestasi. Membangun orang menjadi tujuan bukan target. Dulu melayani adalah tampil melakukan performan pelayanan itu, sekarang memberdayakan orang untuk melakukan pelayanan itu menjadi penting. Dalam relasi dengan Allah, maka orang yang mencari makna di dalam Dia, tidak bisa tidak mencari bagian dalam misi Allah bagi dunia.
Apa yang sedang Anda kejar? Seyogyanya kita segera beralih dari mengejar sukses kepada significance. Pergumulan pribadi dengan Dia akan menolong menentukan arah besar hidup kita dalam pencarian makna. Namun kita bisa mulai dengan mengubah setiap interaksi dari berorientasi kepada keberhasilan kepada memberikan makna kepada orang lain. Tuhan memberkati!  

Senin, 17 Juni 2013

Apakah Allah Pilih Kasih?



Apakah Allah Pilih Kasih.jpg
Dalam kitab Kejadian 3, dijelaskan bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa. Di sana ada oknum yang disebutkan menerima konsekuensi dari pelanggaran yang telah dilakukannya, yakni ular sebagai media iblis, dan manusia (Adam dan Hawa).
Yang menjadi pertanyaan ialah:   Allah menyediakan keselamatan bagi manusia, bagaimana dengan iblis, ‘kan sama-sama melakukan pelanggaran? Apakah dahulu ular memang bisa berdialog?

Terus terang, pertanyaan ini  menggelitik, dan mungkin juga dipertanyakan oleh banyak orang masa kini. Dalam era kita yang new age, di mana manusia menjadi pusat kehidupan dan bukan lagi Tuhan, dan kebebasan yang menjadi semangat, maka patut juga dipertanyakan keadilan Allah dalam konteks penebusan. Hal ini terjadi karena manusia berhak menjadi penggugat terhadap realita kehidupan, sehingga juga bisa menggugat kebenaran Alkitab. Sementara Alkitab selalu menampakkan kedaulatan Allah yang bersifat mutlak. Dan, ini tidak disukai oleh jaman. Disinilah terjadi perkelahian sengit yang perlu kita sadari dan pahami.

Sebelum lanjut ke isu ketidakadilan, kita bicarakan dulu isu tentang ular. Apakah ular bisa berbicara? Fakta taman Eden bukanlah sepenuhnya harus dipahami hurufiah. Jelas sekali dikatakan bahwa ular itu sebagai gambaran binatang yang paling cerdik (bandingkan Matius 10:16). Nah, dalam peristiwa kejatuhan ke dalam dosa, ular menjadi representasi iblis. Tapi hati-hati, ular tidak sama dengan iblis. Kecerdikannyalah, yang membuat ular digambarkan sebagai iblis. Kecerdikan yang membuat manusia tergoda, dan jatuh ke dalam dosa, melanggar hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Penting untuk dipahami, ular bukan iblis. Dan sebagai simbol, juga tidak selalu. Ingat peristiwa Musa di istana Firaun di Mesir. Para penyihir Mesir melemparkan tongkat mereka yang dengan segera berubah menjadi ular. Dan, begitu juga dengan Musa, melemparkan tongkatnya dan berubah menjadi ular. Tongkat Musa kemudian menelan semua tongkat para penyihir Mesir. Tongkat ular itu terus dipegang oleh Musa. Apakah Musa penyembah iblis? Jelas sekali: Bukan!

Lalu, tongkat tembaga berkepala ular tedung yang dibuat oleh Musa atas perintah Allah, itu juga menjadi penyelamat bagi mereka yang kena tulah Tuhan dipagut ular tedung (Bilangan 21:8-9). Mereka kena tulah karena berkeluh kesah, dan melawan Allah dan Musa dan, barang siapa yang kena tulah memandang kepada ular tembaga yang dibuat Musa akan selamat. Jelas yang memberi perintah kepada Musa adalah Allah dan, sama jelasnya, setiap yang melihat menjadi selamat. Jadi jelas juga, ular tak selalu sama dengan setan. Tapi kecerdikannya yang dijadikan gambaran kecerdikan setan si penggoda. Sementara kita juga diminta oleh Tuhan Yesus agar cerdik seperti ular, dan tulus seperti merpati dalam memahami pimpinan Tuhan. Pasti bukan menjadi sama seperti setan bukan?  Sementara pertanyaan tentang apakah ular bisa berdialog jadi jelas, karena itu hanya simbol, bukan sesungguhnya. Yang pasti, setan bisa berbicara dengan berbagai cara, termasuk jelas di pikiran, sekalipun tak kedengaran. Itulah setan, dia bisa merasuk pikiran orang dengan pikiran jahat. 

Soal ketidakadilan dalam penghukuman, mari kita luruskan duduk perkaranya. Ular dalam peristiwa taman Eden adalah penggoda, bukan yang digoda. Iblis yang digambarkan sebagai ular, adalah malaikat yang jatuh ke dalam dosa (Yesaya 14:12-15). Iblis, si malaikat yang jatuh ke dalam dosa telah dibuang dari surga mulia, ke liang kubur yang hina. Nah, iblis ini bukan materi melainkan mahluk roh. Dia tidak bisa mati, bisa ke mana saja, melintasi ruang dan waktu. Keberadaan iblis hanya di bawah keberadaan Allah, yang bisa berada di mana saja pada saat bersamaan, sementara iblis bisa di mana saja tapi tidak pada saat bersamaan. Jumlahnya ada banyak. Jadi iblis sudah ada dalam dosa sebelum manusia diciptakan, dan iblis bukan materi (bertubuh). Ingat, iblis sudah menerima hukumannya, dan dia berusaha mencari banyak pengikut bagi dirinya, termasuk manusia pertama, Adam dan Hawa. Inilah duduk perkaranya. Iblis adalah terhukum, sipenggoda, dan sedang menjalankan maksud jahatnya. Iblis sudah terhukum, hanya saja karena dia bukan materi, melainkan mahluk roh, dia tidak bisa mati, dan tidak terkurung dalam ruang dan waktu.

Kembali ke Adam dan Hawa, mereka diciptakan sebagai mahluk jasmani dan rohani. Dalam ketidak berdosaan mereka sempurna, namun terbatas dengan ketetapan hukum Allah. Hukum utama yang harus mereka taati adalah:  Tidak memakan buah yang Allah larang. Jika melanggarnya, maka manusia akan mati (Kejadian 2:16-17).  Dan, kita sama-sama mengetahui bahwa manusia melanggarnya dan menjadi terhukum.  Siapa penggodanya? Iblis! Jadi sangat jelas posisi manusia dan iblis berbeda. Iblis memang sudah berdosa, terhukum, dan terbuang dari surga. Sementara manusia adalah penerima hukum yang berkewajiban untuk mentaatinya. Posisinya sangat berbeda bukan? Sehingga adalah wajar jika konsekwensi hukumnya juga berbeda. Jelas, keputusan yang ada justru sangat adil.

Manusia yang jatuh ke dalam dosa, harus menanggung konsekwensi pelanggarannya, yaitu mati, baik rohani maupun jasmani. Rohaninya langsung mati, yang juga disebut terpisah dari Allah. Itu sebab ketika Allah datang menusia menyembunyikan dirinya. Juga mati jasmaninya, tapi dalam proses waktu. Manusia yang tadinya bersifat kekal sebelum kejatuhan ke dalam dosa, akan termakan waktu. Menua dan mati. Di era Adam kehidupan mencapai 1000 tahun. Sementara setelah era Nuh tinggal 120 tahun. Lalu Musa yang berumur 120 tahun berkata, bahwa hidup manusia hanya 70-80 tahun saja. Selebihnya adalah kesusahan karena ketuaan. Jelas ini adalah hukuman akibat kejatuhan ke dalam dosa.
  
Dalam Kejadian 3:15; jelas dikatakan, bahwa keturunan perempuan (manusia) dan keturunan ular (iblis), akan terus bertempur. Lagi-lagi, jelas sekali posisi manusia dan ular sangat berbeda, bahkan berseberangan. Nubuat ini digenapi dengan tersalibnya Yesus Kristus, tumitnya diremukkan, namun dari atas kayu salib Yesus Kristus meremukkan kepala ular. Sebagai keturunan perempuan (Matius 1:1-17), itu sebabnya Yesus disebut sebagai anak Daud, atau singa Yehuda. Untuk menebus dosa manusia yang jatuh ke dalam dosa, maka Yesus, manusia yang tidak berdosa, disalibkan, dan darah-Nya yang suci tertumpah menebus dosa manusia.

Akhirnya, jelas bukan, mengapa manusia yang mendapat anugerah keselamatan, sementara setan tidak. Ingat setan memang  terhukum yang terus-menerus mencari korban untuk disesatkannya. Setan adalah mahluk roh, bukan materi, sehingga dia tak pernah mati, sekaligus tak mendapat penebusan. Setan tak pernah susah, selain menyusahkan, dan dia adalah penguasa alam maut. Tapi manusia mengalami akibat dosanya, kesusahan yang  terus-menerus.

Puji Tuhan, DIA yang Maha adil, yang mengasihi kita, manusia berdosa, dan menebus orang yang berkenan kepada-Nya. Dalam kedaulatan dan keadilan-Nya menghukum si penguasa alam maut, dengan mengalahkan maut diatas kayu salib (Ibrani 2:14-16). 

Rabu, 12 Juni 2013

Menikah Dihadapan Pendeta Virtual


Miguel Hanson dan Diana Wesley.jpg


Era teknologi yang kian canggih sekarang ini memutus batasan antara yang Profan dan Sacred, antara yang dianggap duniawi dan dianggap kudus.  Bagaimana tidak, symbol-symbol keagamaan seperti Alkitab dan perangkat keagamaan lain yang dulu dianggap sesuatu yang kudus dan tidak boleh digantikan kini sudah didigatilisasi mengurangi kesakralannya.
 
Tak hanya Alkitab, pendeta pun kini telah digitalisasi.  Enggan meninggalkan peran komputer yang telah menjadi bagian penting hidupnya, Miguel Hanson, seorang praktisi komputer ini membuat program pendeta virtual untuk memberkati mereka.  

Miguel Hanson dan Diana Wesley  pertama kali bertemu melalui jejaring sosial Sweet Geeks. Setelah sekian lama saling kenal dan merasa ada kecocokan, keduanya kemudian memutuskan menikah.   Tidak ingin meninggalkan peran komputer yang telah mempertemukan keduanya Hanson memanfaatkan komputer untuk menggantikan fungsi penghulu atau pendeta untuk memberkati pernikahan mereka.

Hanson yang bekerja sebagai konsultan teknologi informasi dan guru komputer ini membuat program pendeta virtual yang diberi nama Reverend Bit. Melalui monitor berukuran 30 inci pada Sabtu, 30 Juli 2011 lalu Bit menggantikan tugas pendeta memimpin upacara pernikahan. Dimulai dengan menceritakan sejarah singkat awal mula pertemuan pengantin itu hingga keduanya mengikat janji.  Prosesi pernikahan aneh itu dihadiri sekitar 30 tamu.

Tentu saja pemerintah Amerika menolak mengakui secara sah  pernikahan keduanya.  Alhasil, kedua mempelai asal Houston, Texas ini harus meresmikan pernikahannya dan mengucapkan sumpah kembali di depan Pendeta yang nyata.

Sabtu, 08 Juni 2013

Perempuan Makin Kurang Rohani


Perempuan Amerika Kurang Religius.jpg
Sebuah survey menunjukkan perempuan Amerika kini kurang religius. Hasil ini tentu mengejutkan banyak pihak dan melawan pandangan tradisional yang menyatakan perempuan memiliki spiritualitas lebih dibanding laki laki. Peneliti George Barna baru-baru ini merilis sebuah laporan tentang perubahan religiusitas di Amerika. Dari penelitan Barma yang dirilis minggu ini menunjukkan bahwa wanita Amerika mengalami perubahan rohani yang signifikan dalam dua dekade terakhir.
Menurut survey tersebut perempuan kini jarang menghadiri gereja dan dan kelas-kelas Sekolah Minggu dewasa, kurang membaca Alkitab, dan menganggap iman sebagai hal yang tidak terlalu penting dalam hidup mereka.
Dalam dua dekade terakhir laporan Barna juga menunjukkan terjadinya degradasi konseptual dan pandangan tradisional perempuan tentang Tuhan sebagai pencipta segala yang ada dan penguasa alam semesta. Perempuan saat ini cenderung melihat iblis sebagai sebuah pribadi yang nyata, daripada sekadar "simbol kejahatan."
Tentang temuannya itu Barna mengatakan bahwa gereja tidak bisa lagi berharap kaum wanita akan terus setia memenuhi bangku gereja.
"Bahkan, intensitas pria dan wanita dalam membaca Alkitab sekarang kemungkinan sama, karena penurunan baru-baru ini dalam membaca Alkitab di kalangan perempuan," katanya.
Jumlah laki-laki membaca Alkitab dalam satu minggu sudah naik 41 persen, sedangkan perempuan, justru turun sebesar 10 persen, menjadi 40 persen.
Berbanding terbalik dengan wanita, Pria justru tidak mengalami perubahan signifikan dalam beragama seperti yang perempuan alami selama dua dekade terakhir. Laki-laki di Amerika cenderung baik dan tetap stabil dalam beriman dan beragama. Pertanyaanyan adalah lalu bagaimana dengan spiritualitas perempuan kristen di Indonesia? Mungkinkah akan diadakan survey yang serupa untuk menentukan langkah apa yang harus di tempuh gereja menyikapi fenomena seperti ini.