Aktivitas Iman Atau Iman Aktivitas
Posted : 05 September 2013
Pdt. Bigman Sirait
“Perumpamaan
tentang seorang penabur” demikian Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
memberi judul pada Injil Matius 13 ayat pertama hingga ke 23. Di situ
dikisahkan bagaimana Tuhan Yesus sedang berkhotbah di hadapan
murid-murid-Nya dengan mengambil ilustrasi benih yang ditabur. Benih
itu diceritakan jatuh di pinggir jalan, di tempat berbatu, dan jatuh di
tanah baik. Ketiganya memiliki konsekuensi dan akibat
tersendiri. Benih yang jatuh di pinggir jalan misalnya, akan habis
dimakan burung, sehingga tidak ada kesempatan untuk
bertumbuh. Selanjutnya, benih yang jatuh di tempat berbatu dan tanahnya
tipis, sudah dapat dipastikan akan segera mati, meskipun sempat
bertumbuh, namun karena tidak berakar, maka akan segera layu dan mati.
Dan yang paling bagus adalah benih yang jatuh di tanah yang baik. Tidak
saja dia dapat bertumbuh subur, tapi juga segera berbuah puluhan,
bahkan ratusan kali lipat.
Perumpamaan tentang seorang penabur itu
diceritakan Yesus untuk menunjukkan fakta karakterisitik orang yang
datang hendak mendengar firman tentang kerajaan sorga. Dalam konteks
sekarang ini, perumpamaan tersebut dapat dibawa untuk menunjuk fenomena
orang-orang yang sering mendengar firman Tuhan, dalam arti kuantitas.
Mengemuka dalam bentuk aktivitas rajin ke gereja, aktif di persekutuan
dan segala hal yang berhubungan dengan pelayanan. Tentu saja di mata
orang lain, aktivitas kerohaniannya, aktivitas spiritualnya terlihat
amat bagus. Apalagi dengan imbuhan nilai subyektif orang, bahwa mereka
yang sering terlibat dalam persekutuan ibadah itulah yang baik, justru
semakin menguatkan anggapan ini. Padahal tidak tentu demikian. Siapa
yang dapat menjamin jika di antara orang yang duduk mendengarkan firman
Tuhan mengerti betul kebenaran sejati firman. Boleh jadi mereka
mendengar tetapi sebenarnya belum mengerti, kalau enggan menyebut tidak
mengerti sama sekali. Apa yang dibicarakan tentang kerajaan sorga, atau
apa sebenarnya yang dituntut Allah dalam hidup, sejatinya tidak
dimengerti dengan baik.
Aktivitas melayani, beribadah, dan mendengar
firman sebenarnya tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan diri agar disebut
sebagai orang beragama. Untuk dapat disebut Kristen, maka dia perlu ke
gereja. Berbeda sama sekali dari makna Kristen yang sejati. Alkitab
pun mengatakan orang-orang seperti ini belum layak dikatakan sebagai
seorang Kristen. Kristen memiliki pengertian yang teramat
indah. Kristen adalah Kristus kecil, atau pengikut Kristus. Kristen
sejati tidak dipahami sekadar sebagai identitas diri. Lantaran agamanya
Kristiani atau nasrani, maka seseorang disebut Kristen. Hal demikian
tentu sah-sah saja, dimaknai sebagai identitas atau pengenal. Begitu
juga kalau seseorang disebut Kristen hanya karena dia ke
gereja, toh gereja adalah juga tempat ibadahnya orang Kristen. Yang
menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah benar dia adalah Kristen
di hadapan Tuhan? Ini yang jadi masalah dan pergumulan selanjutnya.
Kembali
kepada orang yang yang mengaku kristiani. Yang memiliki aktivitas
mendengar firman tentang kerajaan sorga, tetapi tidak pernah
mengerti, an-sich tak lebih daripada penggembira. Ke gereja di benaknya
hanya untuk pemuasan diri dan bukan memuaskan Tuhan. Firman Tuhan apapun
yang diberitakan tidak dipedulikan, bisa dipertanggungjawabkan atau
tidak pun tak dipusingkannya. Baginya yang penting ceramah yang
disampaikan enak didengar, membuat hati pun senang. Karena itu jangan
tanya soal standarisasi pewartaan firman Tuhan haruslah sesuai dengan
Alkitab. Sebab orang seperti ini tak peduli dengan itu. Baginya
beribadah hanya karena dia seorang Kristen.Duduk mendengarkan firman
karena ingin disebut orang yang beragama, orang yang percaya Tuhan. Dia
tidak mau disebut kafir. Karenanya perlu sebuah status keagamaan. Kalau
diperhatikan dari sudut kuantitasnya, ditinjau dari mobilitas dan
aktifitas rohaninya, mungkin dua jempol perlu diacungkan. Mengingat
sudah teramat tinggi tingkatannya, dari persekutuan satu ke persekutuan
lain, dari gereja satu ke gereja lain, orang mungkin akan sangat kagum
melihatnya.
Namun sayang, sepak terjangnya ternyata tidak luput
dari sorotan orang. Bahkan akan membuat orang bertanya-tanya, “rajin
beribadah, rajin ikut persekutuan, kokhidupnya tidak karu-karuan, tidak
mencerminkan kebenaran firman Tuhan.” Di gereja bisa saja dia
terlihat sangat rohani, namun di tempat kerja langsung berubah, khilaf,
“lupa” kalau dia seorang Kristen. Lalu kenapa hal ini bisa terjadi?
Sederhana saja, apa yang dia kerjakan tidak lebih dari hanya
aktivitas. Inilah “iman aktivitas”. Sebuah model beriman yang hanya
terikat pada ritual atau tradisi kristen, dan tidak sedikitpun menyentuh
esensi keberagamaan, esensi kekristenan. Menjalankan kewajiban
keagamaan pada waktu ibadah, tetapi ketika bertemu dunia yang
sesungguhnya, langsung berubah dan kembali ke bentuk asli. Tidak sedikit
orang menggunakan topeng yang hampir sama seperti ini di dalam gereja,
tak terkecuali para pendeta yang tidak saja tertipu, tapi juga terjebak
dalam model iman seperti ini. Bahkan untuk sekadar mendapat pengakuan
keagamaan, pengakuan beriman orang-orang model “iman aktivitas” ini tak
segan-segan membayar berapa pun untuk status itu.
Ekspresi
dari “iman aktivitas” sering lebih menjadi batu sandungan daripada
menolong. Sering menjatuhkan kekristenan daripada mengangkatnya. Karena
itu diperlukan otokritik. Mengoreksi ke dalam, apakah kita juga
terjebak pada konsep dan cara yang sama. Terperangkap dalam aktivitas
menjadi orang Kristen yang pergi ke gereja demi identitas kekristenan,
atau demi kewajiban keagamaan. Beribadah jangan hanya sekadar
menjalankan panggilan keagamaan. Melampui itu, dalam beribadah kita
bertemu secara pribadi dengan DIA, berdialog dengan DIA yang mengetahui
hati dan pikiran. Berdoa, minta tolong agar Tuhan membersihkan hati dan
pikiran serta maksud dan motivasi yang tidak seharusnya.