Rabu, 21 Agustus 2013

Pemimpin Atau Pengemis


habab sby.jpg
Victor Silaen
ORGANISASI Kemasyarakatan (ormas) manakah yang paling banyak melakukan aksi anarkistis? Jawabannya jelas: Front Pembela Islam (FPI). Menurut catatan Kepolisian RI (Polri) tahun 2010, FPI paling kerap membuat keonaran di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Terkait itu Polri sebenarnya pernah merekomendasikan agar ormas-ormas anarkistis itu dibekukan. Menteri Dalam Megeri pun telah menyatakan untuk melakukan tindakan tegas terhadap ormas-ormas tersebut apabila setelah diperingati masih juga beraksi brutal. Tapi sampai sekarang, adakah ormas yang sudah dibekukan barang satu saja?
Menurut catatan Setara Institute, hingga tahun 2012, aksi kekerasan yang berlangsung di depan hidung aparat negara terus saja terjadi. Aparat negara gamang mengatasinya meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah berulang kali menyatakan agar negara tak boleh takluk terhadap kelompok-kelompok pelaku aksi kekerasan yang meresahkan masyarakat.  Catatan Setara Institute berkait dengan kekerasan terhadap kebebasan beragama selama beberapa tahun terakhir cukup mengagetkan. Pada 2010 terdapat 117 kasus, sementara 2011 ada 244 kasus. Pada 6 Februari 2011 bahkan terjadi peristiwa yang mengenaskan: diserangnya kelompok Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Cikeusik, Banten. Saat itu tiga warga Ahmadiyah tewas dibunuh massa, sementara polisi yang bertugas tak mampu mencegahnya bahkan cenderung hanya menonton saja.
Tahun 2012, ada banyak peristiwa yang bisa disebutkan sebagai contoh untuk menunjukkan betapa lemahnya polisi menghadapi para vigilante (kelompok warga sipil yang kerap bertindak menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum) itu. Sebutlah, misalnya, kasus pembubaran diskusi buku bersama Irshad Manji di Komunitas Salihara, Jakarta, 5 Mei lalu, hingga pelarangan konser Lady Gaga, yang keduanya terjadi hanya gara-gara tekanan dari kelompok-kelompok vigilante yang mengatasnamakan agama.
     Ada pula kasus HKBP Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat, 17 Mei 2012, yang jemaatnya sangat sulit beribadah akibat ancaman dan gangguan dari kelompok-kelompok intoleran di sana. Sementara jemaat GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat, tetap tak bisa beribadah di rumah ibadahnya yang sah meskisecara hukum hak mereka telah dikukuhkan dengan keluarnya keputusan Mahkamah Agung No 127 PK/TUN/2009 dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia per tanggal 18 Juli 2011. Lagi-lagi harus dikatakan bahwa dalam kedua kasus ini polisi cenderung berdiam diri saja. Polisi malah lebih “melayani” kemauan kelompok-kelompok vigilante itu alih-alih bersikap dan bertindak tegas terhadap mereka demi menjaga kewibawaan hukum.
Pada 25 Oktober 2012, di Jalan Astanaanyar, Kota Bandung, Masjid An Natsir milik Ahmadiyah diserang oleh massa FPI. Puluhan polisi pengendalian massa baru datang ke lokasi setelah peristiwa anarkis itu terjadi. Herannya, akibat penyerangan tersebut, Polsek Astanaanyar malah melarang kegiatan ibadah di Masjid An Natsir, termasuk shalat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban. Pertanyaannya, mengapa pemerintah cq polisi terkesan memberikan toleransi kepada FPI yang selama ini kerap melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) secara terang-terangan terhadap pihak-pihak lain? Mengapa polisi berdiam diri saja alih-alih melakukan pencegahan agar peristiwa-peristiwa yang meresahkan seperti itu tidak terjadi?
Di sisi lain, apa hak polisi melarang sekelompok umat untuk menunaikan ibadahnya? Tidakkah itu merupakan sebentuk pelanggaran hukum, yang ironisnya justru dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri? Bukankah polisi seharusnya justru melindungi kelompok yang lemah itu dari ancaman pihak-pihak lain?
FPI, di awal tahun 2012, pernah melakukan aksi unjuk rasa di kantor Kementerian Dalam Negeri demi memprotes masalah minuman keras seraya merusakpos petugas parkir, beberapa lampu taman, lampu sorot, dan lampu tembak, mencabut plakat nama kementerian, serta melempar batu ke arah gedung yang mengakibatkan pecahnya kaca sejumlah ruangan di lantai 1 sampai 3, termasuk bobolnya kaca balai wartawan dan ruang lainnya. Memang, setelah itu FPI diperingati, tapi tak lama kemudian malah diajak berunding oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sambil makan-makan. Mengherankan bukan?
Bagaimana sikap Presiden SBY? Setelah Tragedi Berdarah Cikeusik, saat memperingati Hari Pers Nasional di Kupang, 9 Februari 2011, SBY melontarkan pernyataan tegas agar mencari jalan legal untuk membubarkan ormas yang sering menimbulkan keresahan. Tapi faktanya hingga kini, tak ada satu pun bawahannya (baik di jajaran kementerian maupun polri) yang sudah menemukan jalan legal itu. Alhasil, pembubaran ormas-ormas anarkis yang sudah lamaditunggu-tunggu publik itu ‘bak mimpi di siang hari bolong. Namun satu hal yang pasti, publik tak pernah lupa bahwa “minimal” SBY sudah berorasi berkali-kali. Tapi, apalah artinya orasi tanpa instruksi yang tegas?
Maka, ketika 18 Juli 2013 di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, terjadi bentrokan antara FPI dan warga setempat yang menimbulkan korban nyawa, berbagai pihak pun spontan angkat bicara. Anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, meminta aparat kepolisian agar tegas menindak anggota FPI yang terlibat kekerasan. Menurutnya, arogansi FPI harus dilawan dan diakhiri. ”Ini ironi negara hukum yang patut ditangisi ketika aparat hukum tidak melaksanakan hukum dalam menjaga keamanan dan ketertiban,” ujarnya. Menurut Eva, Polri harus melakukan introspeksi atas kinerjanya selama ini sehingga menciptakan Insiden Kendal. Hal itu terjadi karena pembiaran yang dilakukan kepolisian atas aksi premanisme pada kasus-kasus sebelumnya.
Begitupun Gubernur Jawa Tengah (terpilih) Ganjar Pranowo yang juga mengingatkan polisi untuk tak ragu menindak tegas pelaku kekerasan dan kriminalitas di daerah yang akan resmi dipimpinnya mulai 23 Agustus nanti. ”Penegak hukum tidak boleh ragu-ragu, harus bertindak secara tegas, mengusut semuanya, termasuk motif-motif yang menyertainya. Karena yang saya lihat pidananya nampak, motifnya ada. Ini serius,” katanya.
     Pernyataan senada disampaikan oleh kader Partai Demokrat yang juga anggota DPR, Ruhut Sitompul. Menurut dia, mestinya polisi tak lagi sungkan untuk menindak FPI karena saat ini sudah ada UU Ormas. ”Mendagri juga sebagai pembina politik harus tegas, kalau (FPI) berlaku seperti ini harus dibubarkan, jangan ragu-ragulah, kita negara hukum,” ujarnya.
Namun amat kita sayangkan, Presiden SBY masih saja ragu dan ambigu. Usai acara ”buka bareng” dengan anak yatim di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (21/7), ia berkata: ”Indonesia memiliki hukum dan tatanan yang berlaku. Tidak boleh ada elemen manapun yang menjalankan hukum di tangannya sendiri, kecuali penegak hukum. Singkatnya, tidak boleh main hakim sendiri, apalagi aksi-aksi kekerasan dan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama.  Kalau yang diatasnamakan agama Islam, tentu ini bertentangan dengan ajaran Islam. Islam tidak identik dengan kekerasan, Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan tindakan-tindakan perusakan. Sangat jelas kalau ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan Islam justru memalukan agama Islam, mencederai agama Islam. Saya harus katakan itu saudara-saudara,” ujarnya. Menurut SBY, tindakan sweeping FPI justru mencederai agama Islam sendiri. Banyak cara yang bisa digunakan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Tidak harus dengan kekerasan. ”Kita tidak memberikan toleransi apapun terkait semua yang bertentangan dengan hukum. Mari kita cegah negara ini untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu lagi. Sebagai negeri tenteram yang masyarakatnya saling menghormati,” ajak SBY.
Coba cermati. Pernyataan SBY bagus bukan? Tapi, mengapa seakan tak ada kemarahan di dalamnya? Mengapa pula tak diikuti dengan instruksi amat tegas agar Polri, Kemendagri dan instansi-instansi terkait lainnya segera bertindak untuk membekukan dan bahkan membubarkan FPI? Mengapa SBY hanya mengimbau dan meminta ‘bak pengemis? Bukankah dia seorang pemimpin, yang dalam situasi itu mestinya tampil marah dan dengan gagahnya menginstruksikan langkah-langkah tepat dan cepat?
”Negara tak boleh kalah dengan kekerasan,” kata Presiden SBY suatu kali. Tapi kalimat itu terasa kosong hingga kini, seperti asap tipis yang melayang dan kemudian menguap tanpa jejak. Mungkin karena sudah lelah berharap dari aparat negara, maka perlawanan warga di Kendal terhadap kaum vigilante semacam FPI itu tak terhindarkan lagi. Padahal bentrok fisik seperti ini mestinya tak perlu terjadi kalau pengelola negara, termasuk aparat keamanan, menjalankan peran dan fungsinya dengan benar. 
Benarlah, pernyataan SBY itu nir-makna. Sebab, tak lama setelah SBY berorasi terkait Insiden Kendal, Ketua FPI Habib Rizieq Shihab langsung mengecamnya. Menurut Rizieq (22/7), apa yang dikatakan oleh Presiden SBY menunjukkan ia seorang pecundang. Rizieq kemudian mempertanyakan pernyataan Presiden SBY. ”Di Kendal, FPI tidak melakukan sweeping, tapi monitoring damai tanpa senjata apapun. Justru FPI yang di-sweeping oleh ratusan preman pelacuran bersenjata. Kendaraan FPI yang dirusak dan dibakar preman,” katanya. ”FPI tidak main hakim sendiri, tetapi mendatangi polres dan meminta tempat pelacuran ditutup apalagi di Bulan Ramadhan. Justru FPI yang dihakimi oleh ratusan preman pelacuran dengan berbagai macam senjata hingga banyak yang terluka. FPI itu korban bukan pelaku. Jadi, dasar tuduhan SBY itu apa? Kenapa dalam soal Kendal, SBY begitu semangat bicara tentang FPI yang jadi korban? Tapi ia bungkam terhadap sikap pelaku preman pelacuran bersenjata dan tempat pelacuran yang buka siang-malam di bulan Ramadan,” demikian Rizieq mempertanyakan.
”Kasihan, ternyata SBY bukan seorang negarawan yang cermat dan teliti dalam menyoroti berita. Tapi hanya seorang pecundang yang suka sebar fitnah dan bungkam terhadap maksiat. Seorang presiden muslim menyebar fitnah dan membiarkan maksiat, ditambah lagi melindungi Ahmadiyah dan aneka mega skandal korupsi, sangatlah mencederai ajaran Islam,” ujarnya tegas.
    Lantas apa sikap SBY? Tak jelas. Adakah ia segera mengeluarkan instruksi agar Polri menangkap pemimpin kaum vigilante itu? Tidak. Maka kita pun terus terheran-heran, karena di sisi lain SBY mampu menciptakan beberapa buah lagu baru.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.