Rabu, 30 Januari 2013

Sejati atau Palsukah Pertobatan Anda?
"Sesungguhnya, kamu semua yang menyalakan api dan yang memasang panah-panah api, masuklah ke dalam nyala apimu, dan ke tengah-tengah panah-panah api yang telah kamu pasang! Oleh tangan-Kulah hal itu akan terjadi atasmu; kamu akan berbaring di tempat siksaan." Yesaya 50:11

Kita bisa melihat dari ayat ini bahwa sang nabi sedang berbicara kepada mereka yang mengaku sebagai orang-orang religius, dan membanggakan diri dengan ide bahwa mereka berada dalam keselamatan. Namun kenyataannya, harapan mereka hanyalah api yang mereka sulut ke obor yang mereka ciptakan sendiri.
Sebelum saya membahas lebih jauh pokok tentang pertobatan yang sejati dan yang palsu, saya ingin sampaikan bahwa pembahasan ini hanya bermanfaat bagi mereka yang mau dengan jujur menerapkannya kepada diri mereka sendiri. Jika Anda berharap untuk bisa mendapat sesuatu manfaat dari apa yang akan saya sampaikan, Anda harus tetapkan untuk membuat penerapan yang tulus secara pribadi. Bersikap jujurlah seperti jika Anda akan menghadap Tuhan. Jika Anda bersedia melakukannya, saya harap Anda akan bisa dapati seperti apa sesungguhnya hubungan Anda dengan Tuhan.
Jika saat ini Anda sedang disesatkan, saya berharap untuk bisa membawa Anda pada jalur keselamatan yang benar. Namun jika Anda tidak bersikap jujur, maka khotbah saya ini akan menjadi sia-sia saja, dan Anda juga sia-sia mendengarkannya.
Saya berencana untuk menunjukkan perbedaan antara pertobatan yang sejati dan yang palsu mengikuti urutan pembahasan seperti ini:
  •  Menunjukkan bahwa keadaan alami manusia adalah keadaan yang murni egois
  •  Menunjukkan bahwa karakter orang Kristen itu berisi kebajikan. Artinya, [seorang Kristen itu]   memilih untuk membahagiakan orang lain.
  •  Menunjukkan bahwa kelahiran kembali di dalam Kristus Yesus merupakan suatu perubahan dari  keegoisan menuju kebajikan.
  •  Menunjukkan beberapa bidang di mana orang-orang Kudus dan orang-orang berdosa, atau orang yang bertobat secara sejati dengan yang palsu, memiliki kesamaan dan juga perbedaan dalam hal-hal tertentu.
  •  Menjawab beberapa persoalan
  •  Menyimpulkan dengan menyajikan beberapa penekanan.
I.  Keadaan alami seorang manusia, atau cara hidup manusia sebelum bertobat adalah keegoisan yang murni dan tidak ada campuran [kebaikan apapun] di dalamnya.
Keegoisan itu berarti menempatkan kebahagiaan pribadi Anda sebagai yang paling utama, dan juga mengejar keuntungan pribadi Anda. Orang yang egois menempatkan kebahagiaan pribadinya di atas segala yang lain, misalnya diatas kemuliaan Allah dan kebaikan seisi alam. Sangatlah jelas bahwa semua orang berada dalam keadaan ini sebelum bertobat. Hampir semua orang tahu bahwa orang-orang berurusan antara satu dengan yang lain berdasarkan prinsip keegoisan. Kalau ada orang yang menafikan hal ini, lalu coba berurusan dengan orang lain dengan cara yang tidak egois, maka dia akan dianggap bodoh.

II.  Karakter seorang Kristen itu berisi kebajikan
Watak yang berisi kebajikan itu berarti suka membahagiakan orang lain, atau, lebih memilih untuk membahagiakan orang lain. Ini adalah pola pikir Allah. Kita diberitahu bahwa Allah itu kasih; artinya, Dia itu penuh kebajikan. Kebajikan memenuhi segenap kepribadian-Nya. Semua kualitas kepribadian-Nya yang lain hanya merupakan ungkapan berbeda dari kebajikan-Nya.
Setiap orang yang bertobat memiliki kecenderungan untuk menyerupai kepribadian Allah. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa tak seorang pun yang bisa disebut bertobat jika dia tidak benar-benar memiliki kebajikan seperti Allah secara murni dan sempurna - melainkan bahwa kecenderungan pilihannya adalah pilihan berdasarkan kebajikan. Dia dengan tulus mengupayakan kebahagiaan orang lain, bukan karena hal itu akan membuatnya berbahagia nantinya.
Allah memiliki kebajikan yang murni dan tidak egois. Dia tidak membahagiakan orang-orang demi kesenangan pribadi-Nya, melainkan karena Dia memang mencintai kebahagiaan orang lain itu. Dia bukannya tidak berbahagia di dalam memberkati mereka, tapi kebahagiaan pribadi-Nya bukanlah tujuan yang Dia kejar. Orang yang tidak egois menemukan kebahagiaan saat mengerjakan perbuatan baik. Jika dia tidak gemar berbuat baik, tentunya perbuatan baik itu tidak menjadi hal yang dia utamakan.
Kebajikan adalah kekudusan. Itulah hal yang dituntut oleh hukum Allah, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" dan, "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." ," (Mat. 22.37, 39) Sama seperti orang yang sudah bertobat itu menaati hukum Allah, dia juga penuh kebajikan seperti Allah.

III.  Pertobatan sejati adalah perubahan dari keegoisan puncak menuju kasih kepada kebahagiaan orang lain
Pertobatan yang sejati adalah perubahan atas tujuan yang Anda kejar, dan bukan sekadar perubahan dalam cara Anda mengejar cita-cita Anda. Tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang bertobat dengan yang tidak bertobat itu memiliki cita-cita yang sama, dan perbedaannya hanya terletak pada cara mengejarnya. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa malaikat Gabriel dan Iblis sama-sama berjuang mengejar kebahagiaan pribadi mereka, hanya saja cara mereka mengejarnya berbeda. Gabriel mentaati Allah bukan dalam rangka mengejar kebahagiaan pribadinya.
Seseorang bisa saja mengubah cara dia bertindak, namun tetap mengejar kebahagiaan pribadinya. Dia bisa saja orang yang tidak percaya kepada Yesus, atau pada kekekalan, akan tetapi dia bisa melihat bahwa berbuat baik itu bisa menguntungkannya di dunia ini dan memberi dia banyak keuntungan pribadi (yang bersifat sementara).
Anggaplah orang ini akhirnya bisa melihat realitas dari kekekalan dan memeluk agama dalam rangka mendapati kebahagiaan di dalam kekekalan itu. Nah, setiap orang tahu bahwa tidak ada hal yang berharga yang bisa didapati di sini. Bukan pelayanannya kepada Tuhan yang memberkati Tuhan, melainkan alasan mengapa dia melayani Allah itulah yang terpenting.
Petobat sejati menjadikan kemuliaan Allah dan kemajuan Kerajaan-Nya sebagai cita-citanya. Dia memilih hal tersebut sebagai tujuan hidupnya, karena dia melihat hal ini sebagai kebajikan yang lebih utama dibandingkan kebahagiaan pribadinya. Bukan karena dia tidak peduli dengan kebahagiaan pribadinya, melainkan karena dia lebih mengutamakan kemuliaan Allah, karena kemuliaan Allah adalah kebajikan yang lebih utama. Dia mengejar kebahagiaan orang-orang lain sesuai dengan makna penting yang bisa dia lihat di sana (sejauh dia mampu menilai hal tersebut), dan dia memilih kebajikan tertinggi itu sebagai cita-cita utamanya.

IV.  Saya akan tunjukkan beberapa bidang di mana orang kudus sejati dan orang yang disesatkan memiliki kesamaan - dan bidang-bidang di mana mereka berbeda

1. Mereka bisa sepakat dalam hal kehidupan yang dikendalikan oleh moralitas yang tinggi. Perbedaannya terletak pada motivasi mereka. Orang kudus sejati menjalani kehidupan yang bermoral karena mereka mengasihi kekuusan - orang yang disesatkan memiliki motivasi yang egois. Dia akan memanfaatkan moralitas sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, demi kebahagiaan pribadi mereka.
2. Mereka bisa saja sama-sama giat berdoa, sejauh yang bisa dilihat secara langsung. Perbedaannya terletak pada motivasi mereka. Orang kudus sejati memang mengasihi doa - orang yang disesatkan berdoa karena mereka berharap untuk bisa memperoleh keuntungan dengan doa mereka. Orang kudus sejati memang mengharapkan suatu hasil dari doa mereka, akan tetapi hal ini bukanlah motivasi utama mereka. Petobat palsu berdoa murni dengan motivasi yang egois.
3. Mereka bisa terlihat sama-sama bersemangat dalam hal keagamaan. Orang bisa saja memiliki semangat yang tinggi mengikuti pengetahuan mereka, dan dia memang secara tulus berhasrat untuk melayani Tuhan. Petobat palsu bisa juga menunjukkan semangat yang tinggi, namun dengan tujuan menjamin keselamatan pribadinya, dan juga karena dia takut masuk neraka kalau dia tidak bekerja buat Tuhan. Mungkin dia juga melayani Allah demi meredam desakan hati nuraninya, bukan karena dia mengasihi Tuhan.
4. Mereka bisa terlihat sama-sama mengasihi hukum Allah. Orang kudus sejati mengasihi hukum Allah karena kesempurnaan, kekudusan, keadilan dan kebaikan dari hukum tersebut; orang yang egois mengira bahwa jika menjalankan hukum tersebut dia bisa menikmati kebahagiaan pribadi.
5. Mereka bisa terlihat sama-sama mendukung sanksi-sanksi yang terkandung dalam hukum Allah. Orang kudus sejati mengaitkan hukum Allah dengan diri pribadi mereka dalam pengertian bahwa sangatlah adil jika Allah memasukkan mereka ke dalam neraka. Orang yang disesatkan bisa saja menghormati hukum tersebut, karena dia tahu bahwa aturan yang ditegakkan di sana memang benar, akan tetapi dia merasa bahwa dirinya tidak berada dalam cakupan hukum tersebut.
6. Mereka bisa saja menolak beberapa hal yang sama. Menyangkal diri bukan hal yang dilakukan oleh kalangan orang kudus saja. Coba lihat pengorbanan dan penyangkalan diri yang dilakukan oleh kaum muslim, yang menjalankan ibadah haji ke Mekah. Lihatlah disiplin dan penyangkalan diri yang dilakukan oleh orang-orang yang tersesat di dalam berbagai macam aliran kepercayaan timur itu. Orang kudus sejati menyangkal dirinya untuk bisa lebih banyak berbuat baik kepada orang lain. Pengorbanan dirinya tidak dilakukan demi meninggikan diri ataupun kepentingannya. Orang yang tersesat bisa saja melakukan hal yang sebanding dengan hal tersebut, akan tetapi murni dari niat yang egois.
7. Mereka bisa saja sama-sama memiliki kerelaan untuk mengorbankan nyawa. Bacalah kisah kehidupan para martir dan Anda bisa lihat betapa mereka memiliki kerelaan untuk berkorban bahkan demi ide yang salah mengenai imbalan yang akan diterima dengan pengorbanan mereka. Banyak orang yang berani menerjang maut karena keyakinan bahwa cara yang sedang mereka jalani adalah jalan yang paling benar yang menuju kekekalan.
8. Keduanya bisa saja memiliki kerelaan untuk berkorban sangat besar untuk menjalankan kebenaran. Petobat yang sejati melakukan hal itu karena dia mengasihi kebenaran, sedangkan petobat yang palsu melakukannya karena dia tahu bahwa dia tidak bisa diselamatkan jika tidak menjalankan kebenaran. Dia bisa saja bersikap jujur dalam transaksi bisnisnya, namun tanpa motivasi yang lebih mulia, maka tindakannya itu tidak akan dihargai oleh Allah.
9. Mereka bisa saja menghasratkan hal yang sama di dalam beberapa bidang
Mereka bisa sama-sama berhasrat untuk menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Petobat yang sejati berhasrat menjadi orang yang berguna karena memang sangat menghargai nilai orang yang berguna bagi masyarakat, sedangkan petobat yang palsu menghasratkan hal itu karena dia memandang bahwa itu adalah jalan untuk menjadi berkenan kepada Allah.
Mereka bisa sama-sama mengharapkan orang lain bertobat. Bagi orang kudus sejati, karena hal itu akan memuliakan Allah, sedangkan bagi orang yang tersesat, hal itu dalam rangka mendapatkan perkenan dari Allah. Dia akan dimotivasi oleh niatan tersebut, misalnya di saat dia sedang memberikan uang. Setiap orang tahu bahwa seseorang bisa memiliki kerelaan untuk menyumbang ke sebuah organisasi, ataupun Perhimpunan Misionaris, berlandaskan motivasi yang egois untuk mendapatkan kebahagiaan dari pujian dari manusia, atau mengejar perkenan dari Allah. Dengan demikian, dia juga bisa saja mengharapkan pertobatan dari orang-orang, dan berusaha keras untuk mewujudkannya, namun dengan berlandaskan motivasi yang egois.
Mereka bisa saja sama-sama berhasrat untuk memuliakan Allah. Orang kudus yang sejati menghasratkan itu karena dia ingin melihat Allah dimuliakan, sedangkan orang yang tersesat melakukannya karena dia memandang hal itu sebagai satu-satunya jalan untuk diselamatkan. Petobat yang sejati mengarahkan hatinya mengejar kemuliaan bagi Allah. Sedangkan pihak yang tersesat menghasratkan hal itu demi keuntungan pribadinya.
Mereka bisa saja sama-sama berhasrat untuk bertobat. Petobat yang sejati membenci dosa karena dosa itu menyakitkan dan mempermalukan Allah, oleh karenanya, dia ingin bertobat dari dosanya. Petobat yang palsu juga ingin bertobat karena dia menganggap bahwa kalau tidak bertobat, maka dia akan dihukum.
Mereka bisa sama-sama ingin mentaati Allah. Orang kudus yang sejati taat supaya dia bisa meningkatkan kekudusannya. Petobat yang palsu mentaati Allah karena dia mengharapkan imbalan dari ketaatannya.
10. Mereka bisa mengasihi hal yang sama
Mereka bisa saja sama-sama mengasihi Alkitab. Bagi petobat sejati hal ini karena Alkitab itu adalah kebenaran dari Allah. Dia bergemar di dalam kasihnya pada Alkitab. Orang yang tersesat mengasihi Alkitab karena mengira bahwa isi Alkitab mendukungnya, dan memandang isi Alkitab sebagai suatu rencana yang akan menggenapi harapannya.
Mereka bisa sama-sama mengasihi Allah - yang satu karena melihat bahwa karakter Allah itu begitu indah dan menyenangkan, dan dia mengasihi Allah demi menyenangkan hati Allah. Yang satunya lagi, karena dia mengira bahwa Allah adalah sahabat khusus yang akan membuatnya bahagia selamanya, lalu dia mengaitkan pemahaman tentang keberadaan Allah itu dengan kepentingan egoisnya.
Mereka bisa sama-sama mengasihi Kristus. Petobat sejati mengasihi karakter Kristus. Orang yang tersesat mengira bahwa Kristus akan menyelamatkannya dari neraka, dan memberi dia hidup yang kekal...jadi, dia merasa tidak punya alasan untuk tidak mengasihi Kristus.
Mereka bisa sama-sama mengasihi orang Kristen. Petobat yang sejati melakukannya karena dia melihat gambaran Kristus di dalam diri orang-orang Kristus, dan bisa menikmati kebersamaan rohani dengan orang-orang Kristen tersebut. Orang yang tersesat mengasihi orang-orang Kristen karena kesamaan denominasi, atau mungkin juga mereka berada di pihak yang sama. Dia juga gemar membicarakan tentang minatnya pada kekristenan dan harapannya untuk bisa masuk ke surga.
Mereka bisa sama-sama gemar menghadiri ibadah-ibadah keagamaan. Bagi orang kudus, hal ini karena hatinya memang gemar akan penyembahan, doa, memanjatkan pujian dan berbagi Firman Allah - sedangkan bagi orang yang tersesat, hal ini karena acara-acara kebaktian itu merupakan tempat yang bagus untuk menaikkan harapannya.
Keduanya bisa sama-sama menikmati saat-saat berdoa secara pribadi. Bagi orang kudus sejati, hal ini karena dia dekat dengan Allah dan bergemar dalam persekutuan dengan-Nya. Bagi orang yang tersesat, hal ini karena dia memperoleh kepuasan karena merasa dirinya adalah orang benar, merasa bahwa sudah merupakan tugasnya untuk berdoa secara pribadi.
Mereka bisa sama-sama mengasihi doktrin kasih karunia - bagi orang kudus sejati, hal ini karena hal tersebut sangat memuliakan Allah, sedangkan bagi yang tersesat hal ini karena mengira bahwa ajaran tersebut menjamin keselamatan pribadi mereka.
11. Mereka bisa sama-sama membenci sesuatu hal
Mereka bisa sama-sama membenci kebejatan seksual serta menentangnya dengan sangat keras - orang kudus sejati membencinya karena hal itu bersifat merusak dan bertentangan dengan Allah, sedangkan bagi yang tersesat hal itu bisa saja karena bertentangan dengan pandangan pribadinya.
Mereka bisa sama-sama membenci dosa - bagi petobat sejati, hal itu karena dosa bertentangan dengan Allah, sedangkan bagi orang yang tersesat, karena dosa telah menyakitinya. Seringkali orang membenci dosa-dosa mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak meninggalkan dosa-dosa itu.
Mereka bisa sama-sama menentang orang berdosa. Penentangan yang dilakukan oleh orang kudus sejati dilandasi oleh kasih. Mereka melihat bahwa karakter dan perilaku si orang berdosa itu akan merusak Kerajaan Allah. Bagi orang yang tersesat, mereka menentang orang berdosa karena agama yang berbeda atau karena berada di pihak yang berbeda.
Di dalam semua bidang tersebut, motif masing-masing pihak saling bertentangan. Perbedaannya terlihat dari pilihan tujuan atau gol yang mereka ambil. Yang satu memilih mengutamakan kepentingannya, yang satunya lagi memilih kepentingan Allah sebagai tujuan utamanya.
Selanjutnya kita akan menjawab beberapa pertanyaan yang lazim muncul


Beberapa pertanyaan tentang perbedaan di antara orang Kristen yang sejati dan palsu

1. "Jika kedua kelompok itu sangat mirip dalam banyak hal, lalu bagaimana cara agar kita bisa mengenali karakter kita sendiri, atau mengetahui di dalam kelompok mana kita berada?"
Kita sama-sama tahu bahwa hati ini sangat penuh dengan tipu daya, dan memang sangat licik (Yer. 17:9), jadi bagaimana kita bisa tahu bahwa kita memang mengasihi Allah dan juga kekudusan, atau kita ini sekadar mencari imbalan dari Allah, mengejar tempat di surga demi kepentingan pribadi?
Jika kita benar-benar memiliki kebajikan, hal itu akan tampak dari tindakan kita sehari-hari.
Jika di dalam cara kita berurusan dengan orang lain itu kita dilandasi oleh watak yang egois, maka keegoisan itu juga akan melandasi cara kita berurusan dengan Allah. "Jikalau seorang berkata: 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." (1 Yoh 4:20).
Menjadi seorang Kristen bukan sekadar urusan mengasihi Allah, melainkan juga hal mengasihi sesama manusia. Dan jika tindakan sehari-hari kita dilandasi oleh keegoisan, maka kita ini bukan orang yang sudah bertobat - sebab, jika kita tetap tergolong sebagai orang Kristen, maka itu berarti kita bisa menjadi seorang Kristen tanpa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Jika Anda tidak egois, maka tanggungjawab spiritual Anda tidak akan menjadi suatu beban bagi Anda. Sebagian orang mengerjakan perintah Allah dengan sikap hati yang sama seperti seorang pasien yang meminum obat dari dokter - yakni karena dia berharap untuk bisa mendapatkan hasil yang baik buat dirinya pribadi, dan dia tahu bahwa dia harus meminumnya atau menghadapi kematian. Pelaksanaan itu selalu dia jalankan atas rasa terpaksa.
Jika Anda egois, maka sukacita Anda akan sangat dipengaruhi oleh seberapa tinggi harapan Anda untuk bisa masuk ke surga.
Saat Anda merasa sangat yakin bahwa Anda akan masuk surga, maka Anda akan sangat menikmati kehidupan Kristen Anda. Sukacita Anda bergantung pada harapan Anda, bukan karena kasih Anda pada hal-hal yang sedang Anda harapkan itu. Saya tidak menyatakan bahwa orang-orang kudus itu tidak bersukacita akan pengharapan mereka, akan tetapi harapan itu sendiri bukan hal yang terpenting bagi mereka. Mereka tidak banyak memikirkan tentang harapan pribadi mereka karena pikiran mereka tersita akan hal-hal yang jauh lebih bernilai.
Jika Anda egois, maka sukacita Anda lebih banyak dipengaruhi oleh penantian akan harapan pribadi Anda. Orang-orang kudus yang sejati bersukacita di dalam damai sejahtera yang datang dari Allah dan surga sudah terbentuk di dalam jiwa mereka. Ia tidak menunggu sampai mati nanti baru akan menikmati sukacita hidup kekal. Sukacitanya begerak sejajar dengan kekudusannya, bukan dengan harapan pribadinya.
Orang yang terperdaya atau tersesat hanya mengejar hasil dari ketaatan, sedangkan orang kudus memiliki jiwa yang taat.
Ini adalah perbedaan yang penting, dan saya kuatir hanya sedikit orang yang bisa memiliki jiwa yang taat itu. Orang kudus yang sejati memang benar-benar memiliki kecenderungan untuk taat, dan ketaatannya itu bersumber dari dalam hatinya - oleh karenanya, ketaatan itu menjadi hal yang mudah baginya. Petobat palsu bertekad untuk menjadi kudus karena tahu bahwa hanya itu jalan untuk mengejar kebahagiaan. Orang kudus yang sejati memilih kekudusan karena kasihnya pada kekudusan, dan dia memang kudus.
Petobat yang sejati dan yang palsu juga memiliki perbedaan dalam iman mereka.
Orang kudus sejati memiliki keyakinan akan kepribadian dan karakter Allah, dan keyakinan ini membawa mereka pada ketaatan yang sepenuh hati kepada Allah. Keyakinan yang sejati kepada janji-janji khusus Tuhan bergantung pada keyakinan akan kepribadian Allah. Hanya ada dua dasar bagi segala jenis pemerintahan, baik yang ilahi maupun yang manusiawi, yang ditaati karena ditakuti atau karena dipercaya. Segala jenis ketaatan bersumber dari salah satu dari kedua prinsip itu.
Di satu sisi, orang menjadi taat karena berharap mendapat imbalan atau takut akan hukuman. Sedangkan di sisi lain, ketaatan itu datang dari keyakinan akan karakter dari pemerintahan, yang dijalankan dengan kasih. Seorang anak mentaati orang tuanya karena dia mengasihi dan mempercayai mereka. Yang lain mungkin menunjukkan ketaatan di permukaan saja karena dilandasi oleh rasa takut dan harapan akan imbalan. Petobat yang sejati memiliki iman, atau keyakinan kepada Allah, yang mendorong dia untuk taat kepada Allah atas dasar kasih. Inilah yang disebut ketaatan iman.
Orang yang tersesat hanya memiliki iman yang separuh-separuh, begitu pula dengan ketaatannya. Iblis juga memiliki iman yang separuh-separuh. Dia percaya dan gemetar ketakutan. Seseorang mungkin meyakini bahwa Kristus datang untuk menyelamatkan orang berdosa, dan berdasarkan pengetahuan itu maka dia mentaati Kristus untuk diselamatkan. Akan tetapi dia tidak sepenuhnya tunduk pada kedaulatan Kristus, atau memberi Kristus kendali atas kehidupannya.
Ketaatannya dilandasi oleh syarat bahwa dia akan diselamatkan. Dia tidak pernah dengan sepenuh hati - tanpa menyimpan sesuatu hal lain di hatinya - meyakini segenap kepribadian Allah sehingga membuat dia bisa berkata, "Kehendak-Mu jadilah." Keyakinan agamanya berbentuk keyakinan akan seperangkat aturan atau hukum. Jenis yang lainnya lagi, memiliki Injil iman; kepercayaannya berlandasakan iman. Yang satu egois, yang satunya lagi dilandasi kebajikan. Di sinilah letak perbedaan sejati dari kedua kelompok tersebut. Kehidupan keagamaan yang satu hanya tampak di permukaan dan bersifat munafik. Yang satunya lagi bersumber dari dalam hati - kudus dan berkenan kepada Allah.
Jika Anda egois, maka Anda hanya bersukacita atas pertobatan seseorang di mana Anda memiliki peranan di dalamnya.
Anda hanya sedikit merasa puas jika pertobatan itu terjadi melalui peranan orang lain. Orang yang egois bersukacita saat dia yang beraktifitas dan berhasil mempertobatkan orang berdosa, karena dia berpikir bahwa dengan itu dia akan menerima imbalan. Akan tetapi dia akan menjadi iri saat melihat orang lain membimbing seorang berdosa kepada Kristus. Orang kudus yang sejati bersukacita melihat orang lain bisa menunjukkan bahwa dia berguna, dan bersukacita melihat seorang berdosa dipertobatkan melalui peranan orang lain, seolah-olah dia juga ikut ambil bagian dari peristiwa itu.
 
2. "Bukankah saya juga perlu memperhatikan kebahagiaan pribadi saya?"
Tidak salah jika Anda peduli dengan kebahagiaan pribadi Anda sesuai dengan nilai relatifnya. Takarlah kebahagiaan pribadi Anda itu terhadap kemuliaan Allah dan juga kebaikan bagi alam semesta, kemudian baru Anda putuskan - berilah nilai yang sesuai bagi kebahagiaan pribadi Anda itu. Itulah hal yang telah dilakukan oleh Allah. Dan makna inilah yang Dia maksudkan ketika Dia memberi Anda perintah untuk mengasihi sesama manusia seperti diri Anda sendiri.
Menarik sekali, semakin Anda abaikan kebahagiaan pribadi Anda, maka Anda akan menjadi semakin bahagia. Kebahagiaan yang sejati terutama diisi oleh pemenuhan hasrat-hasrat yang tidak egois. Jika Anda bermaksud mengerjakan sesuatu karena memang mengasihi hal yang Anda kerjakan itu, maka kebahagiaan Anda akan bergerak sejajar dengan pancapaian Anda dalam tindakan tersebut. Namun jika Anda berbuat baik hanya untuk mempertahankan kebahagiaan Anda, maka Anda akan gagal. Anda akan seperti anak kecil yang sedang mengejar bayangannya sendiri; dia tidak akan pernah berhasil mendapatkannya, karena bayangan itu akan selalu memiliki jarak dengannya.

3. "Bukankah Kristus memandang bahwa sukacita itu terletak di depan-Nya?"
Memang benar bahwa Yesus mengabaikan rasa malu dan memikul salib, dan memandang kebahagiaan yang terbentang di hadapan-Nya. Akan tetapi kebahagiaan macam apakah yang terbentang di hadapan-Nya itu? Bukan keselamatan pribadi-Nya, bukan sukacita-Nya sendiri, melainkan kebaikan luar biasa yang akan Dia kerjakan bagi keselamatan dunia. Kebahagiaan orang lainlah yang menjadi tujuan-Nya. Dengan demikian, kebahagiaan itu memang terbentang di hadapan-Nya...dan memang kebahagiaan itulah yang Dia dapatkan.

4. "Bukanlah Musa juga mencari imbalan?"
Benar, Musa mencari imbalan. Namun apakah imbalan itu demi keuntungan pribadinya? Jauh dari itu. Hadiah itu adalah keselamatan bag umat Israel. Pernah Allah berniat membinasakan umat Israel membangun satu bangsa besar dari keturunan Musa. Jika Musa egois, tentunya dia akan berkata, "Benar, Tuhan, Biarlah terjadi seperti yang Kau kehendaki atas hamba-Mu ini." Namun apa yang dia katakan? Mengapa hatinya begitu terpaku pada keselamatan umatnya, dan juga kemuliaan Allah, sehingga dia bahkan tidak berpikir untuk menerima niatan Tuhan tersebut. Sebaliknya, dia justru berkata, "Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis." (Kel. 32:32). Tanggapans semacam ini tidak keluar dari orang yang egois.

5. "Bukankah Alkitab berkata bahwa kita ini mengasihi Allah karena Allah lebih dulu mengasihi kita?"
Memang ada disebutkan, "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yoh 4:19). Kalimat itu memiliki dua macam makna:
1) Kasih-Nya kepada kita memungkinkan kita untuk mengasihi Dia; atau 2) Kita ini mengasihi Dia karena kebaikan dan pemihakan yang telah Dia tunjukkan kepada kita. Makna yang kedua itu jelas tidak benar karena Yesus Kristus dengan jelas menyatakan satu prinsip di dalam Khotbah di Bukit: "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka." (Luk 6:32).
Jika kita mengasihi Allah, bukan karena kepribadian-Nya melainkan karena pemihakan-Nya kepada kita, berarti kita ini tidak ada bedanya dengan orang yang belum bertobat.
6. "Bukankah Alkitab menawarkan kebahagiaan sebagai upah dari kebenaran?"
Alkitab menyebutkan kebahagiaan sebagai hasil dari kebenaran, akan tetapi tidak ada disebutkan bahwa kebahagiaan Anda itu adalah alasan untuk berbuat baik.
7. "Mengapa Alkitab terus berbicara tentang harapan dan ketakutan pada manusia jika kepedulian akan kebahagiaan pribadi Anda bukanlah suatu motif yang tepat bagi tindakan-tindakan Anda?"
Manusia pada dasarnya cenderung untuk merusak, dan memang tidaklah salah bertindak menghindarinya. Kita memang boleh peduli akan kebahagiaan kita, namun selalu dengan penilaian yang wajar.
Dan juga, manusia itu mabuk dengan dosa-dosa sehingga Allah tidak bisa masuk ke dalam perhatian mereka, agar mereka bisa mempertimbangkan tentang kepribadian-Nya yang sejati dan alasan-alasan untuk mengasihi Dia, kecuali jika Dia bergerak mengincar harapan dan ketakutan-ketakutan mereka. Namun begitu mereka disadarkan, maka Dia akan menawarkan Injil kepada mereka. Saat seorang penginjil berkhotbah tentang kengerian yang berasal dari Tuhan, sehingga pendengarnya terkejut dan tersadar, selanjutnya dia akan menyampaikan tentang kepribadian Allah kepada mereka, untuk menarik hati mereka agar mengasihi Dia karena kesempurnaan karakter-Nya itu.
8. "Bukankah Injil menawarkan pengampunan sebagai dasar bagi motivasi ketaatan?"
Jika yang Anda maksudkan adalah bahwa seorang berdosa disuruh untuk bertobat dengan janji bahwa dia akan diampuni, maka perlu saya katakan bahwa Alkitab tidak pernah menyampaikan hal yang semacam itu. Alkitab tidak pernah mendorong seorang berdosa untuk berkata, "Aku akan betobat jika Engkau mau mengampuni." Dan memang tidak ada tawaran pengampunan sebagai pendorong untuk pertobatan.
Beberapa catatan penutup
1. Sebagian orang lebih giat mempertobatkan orang berdosa daripada mengupayakan pengudusan jemaat dan pemuliaan nama Allah melalui perbuatan baik umat-Nya.
Banyak orang yang ingin melihat orang lain diselamatkan, bukan karena kehidupan dan perbuatan orang itu menyakiti serta mempermalukan Allah, melainkan karena mereka prihatin akan orang tersebut dan tidak ingin melihat dia masuk neraka. Orang kudus sejati merasa sedih melihat dosa, karena dosa mempermalukan nama Allah. Dan mereka paling prihatin saat melihat orang Kristen berbuat dosa karena itu bahkan lebih mempermalukan Allah.
Sebagian orang tampaknya tak begitu peduli akan keadaan Jemaat, selama mereka bisa mempertobatkan lebih banyak orang lain, bagi mereka 'keberhasilan' penginjilan sama dengan 'keberhasilan' Jemaat, namun mereka tidak begitu peduli apakah Allah dipermalukan atau dipermuliakan lewat kehidupan Jemaat itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak didorong oleh kasih yang murni kepada Allah dan kekudusan, melainkan pada perasaan manusiawi mereka terhadap si orang berdosa itu.
2. Berdasarkan semua hal yang telah saya sampaikan itu, sangatlah mudah untuk memahami mengapa banyak orang yang mengaku Kristen namun memiliki pandangan yang begitu berbeda tentang apa sebenarnya Injil itu
Sebagian orang memandang Injil hanya sebagai suatu hiburan saja bagi umat manusia, di mana Allah ternyata bukanlah Pribadi yang seketat apa yang disampaikan dalam Hukum Taurat. Mereka mengira bahwa mereka bisa menjadi seduniawi apapun, dan Injil akan tetap menutupi kekurangan mereka serta menyelamatkan mereka.
Yang lain lagi, memandang Injil sebagai karunia ilahi dari Allah, dengan tujuan utama memusnahkan dosa dan menumbuhkan kekudusan. Oleh karenanya, kekudusan yang kurang dari yang dituntut dari dalam hukum Taurat adalah hal yang sangat mereka tolak, nilai Injil justru terletak dari kuasa untuk menjadikan mereka kudus.
"Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Atau, apakah kamu tidak menyadari bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu - melainkan kamu tidak tahan uji." (2 Kor 13.5 NASB)"

Charles G Finney

(Artikel ini diedit dan disusun ulang oleh Melody Green & Martin Bennet dan diterjemahkan oleh Cahaya Pengharapan Ministries)


oleh : Meity Mamahit Ev

Kamis, 24 Januari 2013

Martin Luther

Siapa yang tidak kenal Martin Luther? Sang Reformator besar di samping Calvin dan Zwingli yang populer dengan julukan tiga serangkai. Para ahli sepakat bahwa Luther adalah epitom dari gerakan Reformasi. Tentunya, ini tidak mengecilkan jasa Reformator lainnya yang telah dipakai Allah secara luar biasa pada masanya. Namun pemberian predikat khusus ini setidaknya karena dua alasan. Pertama, Lutherlah yang pertama kali paling serius menekankan reformasi teologis, dimana menuntut perbaikan mendasar dalam ajaran gerejawi, ketimbang reformasi dalam aspek moral maupun institusional sebagaimana yang ditekankan Reformator sebelumnya. Luther melihat perubahan praktik dan moral hanyalah mungkin jika ajaran iman kepercayaan dibenahi dahulu. Kedua, tak pelak lagi, Luther adalah Reformator yang paling berpengaruh bagi tokoh sezaman dan sesudahnya. Bahkan Calvin dan Zwingli pun berhutang inspirasi dari perjuangan dan ajaran Luther.

Sebenarnya, sudah ada beberapa buku berbahasa Indonesia yang cukup bagus untuk kita mempelajari khususnya ajaran Martin Luther. Sebagai pengantar yang baik, kita dapat memulai dengan buku "Sejarah Pemikiran Reformasi" karangan Alister E. McGrath yang klasik itu (diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia). Tulisan ini hanyalah berusaha melengkapi "lubang" dalam banyak buku berbahasa Indonesia yaitu kisah hidup Martin Luther yang utuh. Mengikuti riwayat Luther akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih empatis bahwa sosok besar dan perjuangannya merupakan hasil sebuah proses yang panjang dan manusiawi. Luther yang kita kenal sekarang adalah Luther yang telah melalui pelbagai ujian berat dalam hidupnya. Allah dalam kemurahan dan kuasa-Nya telah memakai Luther menjadi salah satu tokoh agung yang mengubah wajah sejarah manusia sampai detik ini.



Masa Pra Luther


Ilmu sejarah mengajarkan bahwa suatu peristiwa biasanya merupakan reaksi (anteseden) dari peristiwa lain yang mendahuluinya (preseden). Demikian pula, gerakan Reformasi adalah reaksi atas kondisi yang sudah ada. Secara umum, kondisi pendahulu yang membidani kelahiran gerakan Reformasi bisa ditarik ke beberapa abad sebelumnya. Bila diringkas, ada tiga kondisi yang paling berpengaruh.

Pertama dan terutama adalah kebobrokan gereja baik dalam ajaran maupun praktiknya yang memang menjadi sasaran kritik Reformator. Kerusakan gereja masa itu sudah begitu memalukan, dan telah berlangsung sekian abad. Terutama selama Abad Pertengahan, gereja telah melupakan warisan pengajaran yang Alkitabiah sejak zaman para rasul dan bapa gereja mula-mula. Sebagai gantinya, gereja menelurkan pelbagai ajaran, aturan dan pandangan yang tidak lagi bersumber pada Alkitab seperti aneka sakramen, absolutisme kepausan, doa arwah, api penyucian jiwa (purgatori) dan sebagainya.

Kerusakan gereja signifikan lainnya adalah kerusakan struktural yaitu pada lembaga kepausan. Pusat pemerintahan gerejawi ini justru marak cacat cela selama beberapa generasi kepausan. Sebut saja: ada Paus yang mempunyai selir dan anak di luar nikah, Paus yang menghamburkan uang gereja untuk memuaskan hobi berpesta, Paus yang membeli jabatan dengan uang, Paus yang terlibat dalam pelbagai pembunuhan orang tak berdosa, Paus yang materalis dan sebagainya. Memang ada beberapa Paus yang bagus, namun tampaknya tak cukup untuk menyelamatkan reputasi kepausan yang kadung cela. Sampai akhirnya diperburuk dengan peristiwa "Skisma Besar" dalam tubuh gereja antara tahun 1378 - 1417. Selama hampir tigapuluh tahun, kepausan diperebutkan oleh beberapa pihak yang saling mengklaim sebagai Paus yang sah. Kelak, sejarah kepausan yang kelam ini menjadi dasar penolakan para Reformator terhadap absolutisme kepausan yang menganggap Paus tidak bisa salah (infabilitas).

Kerusakan struktural ini menular ke jenjang gereja lokal di hampir seluruh Eropa. Data sejarah membuktikan begitu banyak pejabat gereja lokal yang sama bobroknya. Gereja dipenuhi dengan perebutan kuasa antara elit politik maupun orang kaya. Saat itu, jabatan gerejawi begitu menggiurkan karena bersifat politis. Jabatan penguasa gereja juga memiliki fasilitas khusus seperti pembebasan pajak. Lambat laun, jabatan gereja diisi oleh orang-orang yang jauh dari kompeten. Absolutisme kepausan pun menjadi tameng bagi ketidakmampuan pejabat gereja. Ungkapan "Tergantung Paus" menjadi lazim. Jika ada masalah muncul, maka pejabat gereja dengan mudahnya berlindung di balik perintah dan petunjuk Paus. Bahkan dalam kasus yang ekstrim, khotbah di misa lebih bersumber pada dokumen yang dikeluarkan Paus ketimbang Alkitab sendiri.

Kedua, kebangkitan humanisme yang merupakan salah satu wujud semangat Renaisans. Mari kita berhati-hati dengan istilah humanisme masa itu. Gamblangnya, humanisme masa itu adalah sebuah gerakan yang mau kembali pada kejayaan dan kefasihan karya literatur Latin dan Yunani (terutama kesusastraan) para penulis kuno seperti Plato, Aristoteles, Cicero, Virgil dan lainnya. Ia tidak identik dengan pengagungan manusia secara berlebihan yang berujung pada pengabaian Allah, sebagaimana kerap dimengerti tentang humanisme masa kini. Memang, humanisme masa itu juga menyoroti pentingnya aspek individual yang sebelumnya dilupakan. Namun penekanan ini tidak sampai pada pengingkaran Allah. Bahkan banyak humanis ulung masa itu sebenarnya seorang Kristen yang saleh dan taat, seperti Fransisco Petrarca alias Petrarch (1304-1374), Kardinal Nicholas dari Cusa (1400-1464), Johann Reuchlin (1455-1522), Kardinal Fransisco Ximenez (1436-1517) dan yang terbesar di antaranya, Desiderius Erasmus (1466-1536).

Sumbangan humanisme kepada para Reformator dalam dua cara. Pertama, humanisme menularkan semangat untuk kembali pada sumber-sumber asali (ad fontes). Oleh para Reformator, sumber asali tersebut merujuk pada tulisan kuno dari para bapa gereja seperti Aurelius Agustinus alias Agustinus dari Hippo (354-430). Dan konsekuensi akhirnya kembali pada Alkitab bahasa asli, daripada Alkitab terjemahan seperti Alkitab berbahasa latin (Vulgata) yang memiliki kesalahan penterjemahan. Kedua, penekanan pada aspek individualisme mempengaruhi para Reformator untuk meyakini bahwa Alkitab dan ajaran gereja harus dapat dipahami sampai pada tataran jemaat awam. Pendapat bahwa jemaat awam harus dapat membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri begitu digemakan oleh Erasmus, yang juga mempengaruhi Luther dan Reformator lainnya.

Ketiga, peristiwa yang cukup besar artinya bagi gerakan Reformasi adalah penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada tahun 1454. Percetakan menciptakan kemudahan yang sangat besar dan tak terbayangkan sebelumnya bagi setiap orang untuk memperoleh literatur, termasuk menulisnya (baca: menggandakan/mereproduksikan). Percetakan sangat menguntungkan para Reformator dalam mempropagandakan ajarannya. Jika tanpa percetakan, tentu saja ajaran Luther tidak akan begitu luas mempengaruhi banyak orang bahkan sampai lintas negara.

Di samping ketiga kondisi penting yang mendahului Reformasi, patut disebutkan pula tentang kebangkitan rasa nasionalisme di kerajaan-kerajaan Eropa terutama bagian barat dan utara. Bila sebelumnya, banyak bangsawan dan kaisar yang secara politis bergantung pada Paus, maka sejak kira-kira akhir abad ke-15, para pejabat negara dan kota mulai memperjuangkan otonominya. Mereka ingin lepas dari pengaruh politis Vatikan. Konteks sosial politis inilah yang dimanfaatkan oleh para Reformator. Hubungan antara Reformator dan penguasa politik membuahkan hubungan yang saling menguntungkan. Di sisi Reformator, mereka memperoleh perlindungan dari kejaran dan hukuman otoritas gereja Roma yang memvonis mereka sebagai bidat. Di sisi penguasa politis, ajaran para Reformator dipakai sebagai dasar non poilitis untuk lebih menunjukkan kelemahan otoritas gereja masa itu, sekaligus untuk mendapatkan dukungan rakyat yang memang bersimpati dan loyal kepada para Reformator.



Periode Awal Kehidupan Luther


Periode awal ini terentang dari kelahiran Luther sampai saat keputusannya menjadi rahib. Luther lahir pada tanggal 10 Nopember 1483, di kota Eisleben, propinsi Saxony (sekarang wilayah Jerman). Martin adalah nama baptisan yang diperolehnya karena hari pembabtisannya bertepatan dengan Hari Santo Martin, pelindung kaum pengemis. Hans Luther, sang ayah, adalah seorang pemilik beberapa tambang dan peleburan logam. Sedangkan ibunya, Margaretha Luther, adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat religius, dan kemungkinan berperan besar dalam menanamkan benih iman kepada Luther kecil. Dalam otobiografinya, Luther mengenang keduanya sebagai orangtua yang disiplin dan keras dalam mendidik anak, tapi sekaligus ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Sikap orangtuanya yang sangat menghargai pendidikan amat berbekas pada diri Luther. Pada saat dewasa nanti, Luther memulai perjuangannya dari lingkungan dan dengan metode akademis.

Pendidikan formal pertama Luther diperolehnya di Sekolah Latin kota Mansfeld. Sebagaimana Sekolah Latin lainnya pada masa itu, Luther belajar bahasa Latin yang membuatnya berkenalan dengan kekayaan pustaka Latin. Juga musik dan agama. Luther belajar doktrin-doktrin penting gereja. Luther remaja mengembangkan kepercayaan bahwa Allah pasti menghakimi segala perbuatannya pada akhir zaman. Dan hanya berdoa kepada Kristus, Maria dan para orang suci sebagai perantara maka akan beroleh rahmat pengampunan dari Allah Bapa.

Pada usia 14, Luther hijrah ke Magdeburg, masuk Sekolah dari Katedral setempat. Hal yang perlu dicatat, Luther berjumpa dengan ajaran beberapa pendidik yang merupakan anggota Persaudaraan Brethen. Persaudaraan Brethen adalah salah satu kelompok aliran Kristen Mistik yang memang cukup banyak menjamur sejak sekitar dua abad sebelum Reformasi. Penekanan mereka pada hubungan yang akrab dengan Allah (devosi) melalui pembacaan Alkitab dan doa pribadi. Ajaran mereka membentuk kesalehan Luther yang akan mewarnai kehidupan Luther seterusnya.

Setelah menempuh pendidikan pra universitas di Eisenach, Luther masuk Universitas Erfurt, salah satu universitas terbaik masa itu di Jerman. Perpustakaan Universitas Erfurt juga dikenal cukup lengkap. Dapat dipastikan, Luther melahap habis pelbagai tulisan penting baik dari Abad Pertengahan maupun sebelumnya di perpustakaan ini. Pada tahun 1502, Luther merampungkan gelar pertamanya dalam Liberal Arts. Sambil melanjutkan studi ke jenjang master, Luther mengajar di universitasnya dalam bidang tata bahasa dan logika. Pada tahun 1505, Luther memperoleh gelar master.

Selama kuliah, Luther memiliki kerinduan yang besar untuk secara sungguh mencari Allah dan mempelajari Alkitab, dia sempat terpikir untuk masuk ke biara sebagai cara terbaik untuk memenuhi kerinduannya itu. Namun ayahnya menolak keinginannya. Sang ayah menganggap jurusan hukum sebagai yang terbaik untuk masa depannya. Dalam ketaatannya kepada orangtua, Luther masuk Universitas Leipzig pada tahun 1505, dan tentunya mengambil jurusan hukum. Luther sama sekali tidak bahagia dengan studinya. Pada tahun yang sama, Luther mengalami suatu peristiwa penting yang mengubah jalan hidupnya secara drastis.

Tepatnya tanggal 2 Juli 1505, ketika itu, Luther sedang dalam perjalanan dari Mansfield ke Erfurt. Dalam perjalanan itu, dia terjebak dalam hujan badai yang menakutkan. Tidak jauh dari desa Stotternheim, beberapa mil dari Mansfield, Luther dikejutkan oleh kilat yang menyambar di dekatnya. Tiba-tiba gambaran akan kematiannya begitu nyata di depan matanya. Dia teringat akan dosa di masa mudanya, dan pengadilan Tuhan seakan sudah di ambang pintu. Dalam ketakutan yang sangat, Luther berdoa kepada Santa Anna. Dalam doanya, Luther bersumpah bahwa seandainya dia dilepaskan dari marabahaya ini, maka dia akan menjadi rahib selama sisa hidupnya. Dan dia pun berhasil lolos dari hujan badai itu. Dua minggu kemudian, Luther dengan hati yang mantap, mengutarakan keinginannya untuk menjadi rahib kepada para sahabat dan keluarganya. Sang ayah begitu marah dengan keputusannya itu. Namun kali ini, Luther bergeming. Dia memenuhi kaulnya dengan masuk biara Agustinian di Erfurt, meskipun harus melawan kehendak ayahnya.


Sang Rahib yang Gelisah


Setelah dua tahun belajar sebagai calon rahib, Luther ditahbiskan pada tahun 1507. Selama di Biara, Luther rajin menelaah seluruh isi Alkitab. Konon, Luther hafal hampir seluruh Perjanjian Baru dan beberapa bagian dari Perjanjian Lama. Luther menemukan bahwa begitu banyak bagian dari Alkitab yang tidak pernah diceritakan dalam misa-misa reguler. Luther mulai merasakan kejanggalan dari kebijakan gereja saat itu yang membatasi pembacaan dan penafsiran Alkitab oleh para pejabat gereja saja, jemaat awam sama sekali tidak diizinkan untuk membacanya. Suatu sistem yang justru menjauhkan jemaat dari kekayaan Alkitab.

Jika kita membayangkan Luther sebagai tokoh yang selalu teguh hati sejak muda, maka kita salah. Awalnya, Luther yakin bahwa dengan menjadi biarawan maka kegelisahannya tentang penghukuman Allah akan sirna. Sebelum masuk biara, Luther menganut ajaran via moderna yang sudah digemarinya sejak di Universitas Erfurt. Suatu modifikasi dari ajaran kuno Pelagius (rival Agustinus). Menurut via moderna, Allah akan memberikan anugerah kepada orang berdosa yang sungguh-sungguh mencari Dia. Seolah, Allah telah berjanji akan mengaruniakan anugerah pengampunan sejauh orang berdosa bisa mencapai syarat minimum yaitu datang kepada-Nya. Kemiripan dengan Pelagius terletak pada faktor inisiatif manusia, bahwa orang berdosa masih memegang inisiatif untuk pengampunan dosanya, dan Allah terikat dengan kewajiban untuk mengampuninya. Demikianlah, dengan diinspirasikan via moderna, Luther berusaha sekuat tenaga menjadi rahib yang saleh dan tekun. Dia pernah sesumbar, "Kalau ada rahib yang bisa masuk surga karena kesalehannya, pastilah aku!". Namun dalam hati kecilnya, Luther tetap gelisah dan takut akan penghukuman Allah.

Pada tahun 1508, atas ajakan gurunya, Johannes von Staupitz, Luther menjadi pengajar bidang Filsafat Moral di Universitas Wittenberg yang baru didirikan. Luther mengajar sambil melanjutkan studi teologinya. Setahun kemudian, Luther menamatkan sarjana teologinya. Pada tahun 1512, Luther berhasil meraih gelar doktor dalam bidang teologi dari Universitas yang sama. Sebelumnya, pada tahun 1510, Luther berkesempatan mengunjungi kota suci Vatikan. Awalnya, Luther begitu terpesona dengan pusat pemerintahan gereja tertinggi ini. Diceritakan, saat dia tiba di Roma, dia berlutut dan berteriak, "Aku menyapamu hai Roma yang suci, sucilah engkau karena darah martir yang tertumpah bagimu!". Luther berharap kunjungannya ke Roma meredakan kegelisahan hatinya, Namun setelah sekian hari dia melihat kota suci, dia berbalik kecewa dengan segala praktik kotor dan sikap keduniawian pejabat gereja. Pada perjalanan pulang, Luther melukiskan kekecewaannya, "Biarlah segala yang suci tidak pernah ke Roma. Karena di Roma segalanya diizinkan, kecuali orang jujur."

Jabatan Luther sebagai pengajar diperluas pada tahun 1511. Luther ditugasi mengajar kitab-kitab spesifik. Dari kuliah-kuliah awal, tampak jelas Luther masih memegang posisi via moderna. Seiring dengan waktu, ketika Luther mempersiapkan kuliah kitab Roma (1515-1516), dia menemukan beberapa kesukaran besar dari pandangan via moderna. Konsep "iustita Dei" (Kebenaran Allah) begitu dominan dalam kitab Roma. Allah dengan kebenarannya yang sempurna akan mengadili setiap orang. Bagaimana bila orang berdosa sesungguhnya tidak akan pernah memenuhi standar keadilan Allah supaya dibenarkan, meskipun orang berdosa dengan tulus mencari-Nya? Pertanyaan ini benar-benar menghujam ke sanubari Luther. Pertanyaan ini bukanlah bersifat akademis belaka, namun memberikan dilema batin yang luar biasa. Kebenaran Allah hanya akan mendatangkan kutukan dan hukuman bagi orang berdosa, tanpa terkecuali dirinya. Luther menuliskan, "Meskipun aku hidup tidak bercela sebagai seorang rahib, namun aku yakin bahwa aku tetap orang yang berdosa dan hati nuraniku sangat gelisah di hadapan Allah. Aku tidak percaya segala perbuatanku dapat menyenangkan Allah."

Pada suatu malam, sekitar akhir tahun 1514, dalam suatu penggalian Alkitab pribadi di menara biara Wittenberg, Luther terpaku pada tulisan Rasul Paulus dalam kitab Roma 1:16-17. Tulisan Paulus begitu menggetarkan hatinya. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur dan memikirkannya. Setelah bergumul begitu berat dan dengan pertolongan Allah, Luther tiba pada suatu pencerahan. Diduga kuat, bacaan Luther dari tulisan Agustinus tentang doktrin anugerah turut mengambil andil dalam pengalaman eksistensial ini. "Orang benar akan hidup oleh iman", begitu adagium dari doktrin anugerah yang memberikan titik balik dari krisisnya.

Luther mengingat ajaran Agustinus tentang "Anugerah" yang pernah dibacanya. Doktrin "Anugerah" yang pernah dituliskan Agustinus dalam buku "Pengakuan-pengakuan" (Confessions) adalah salah satu ajaran penting yang telah begitu lama dilupakan gereja. Sederhananya, doktrin ini meyakini bahwa tidak ada satupun manusia berdosa mampu menyelamatkan dirinya. Hanya Allah yang dapat mengampuni manusia dalam kedaulatan-Nya. Pengampunan inilah yang disebut anugerah, suatu rahmat yang sebenarnya tidak layak diberikan kepada kita. Bahkan iman pun adalah pemberian Allah, bukan usaha dan keputusan manusia.

Pencerahan ini membuat Luther sadar akan kekeliruan besar dari ajaran via moderna dan ajaran gereja yang lain. Alkitab dan Agustinus telah "melahirkan" Luther kembali. Dan perubahan ini tidak sekedar pada dimensi rasional. Luther menyaksikan betapa segala kegelisahan hatinya lenyap, "Seperti ada tertulis bahwa orang benar hidup oleh imannya. Ini membuat aku seperti dilahirkan kembali. Kini aku seakan berdiri di depan pintu gerbang surga dalam suatu terang yang baru. Kalau dulu aku membenci ungkapan 'Kebenaran Allah', maka sekarang aku mulai mencintai dan memujinya sebagai ungkapan yang paling manis..." Luther pun mulai melihat seluruh isi kitab suci dengan sudut pandang yang baru.

Di kemudian hari, doktrin "Pembenaran oleh Iman" menjadi dasar dari seluruh bangunan teologi Luther. Peristiwa pemakuan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg sebenarnya konsekuensi dari pandangan Luther yang telah diperbaharui beberapa tahun sebelumnya. Allah mengubah pergumulan Luther yang pelik itu menjadi semacam "Reformasi" dalam dirinya terlebih dahulu, sebelum dia memimpin gerakan Reformasi yang lebih besar dan berat.



Penjualan Surat Indulgensi dan Penolakan Luther


Keberatan Luther terhadap beberapa ajaran gereja saat itu sebenarnya sudah mulai sejak dia mengerti doktrin anugerah (sekitar akhir 1514). Dalam risalah kuliahnya setelah tahun 1515, Luther mulai menyoroti kesalahan ajaran seperti konsep orang kudus dan Paus sebagai perantara. Namun kritik Luther ini hanya berkutat sejauh dinding kampus. Sampai tibalah hari yang monumental itu, ketika Luther memakukan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517. Tanggal bersejarah yang kini dirayakan sebagai Hari Reformasi.

Pemakuan 95 dalil merupakan reaksi Luther atas penjualan surat pengampunan dosa (indulgensi) yang berlangsung di hampir seluruh daratan Eropa. Penjualan surat ini atas amanat Paus Leo X (1475-1521, berkuasa sejak 1513). Dia adalah seorang Paus yang begitu fanatik dengan segala yang berbau seni Renaisans. Ambisinya adalah membangun basilika Santo Petrus dengan arsitektur ala Renaisans yang mewah dan mengisinya dengan aneka barang seni kelas tinggi. Sayangnya, keuangan gereja yang morat marit tidak melapangkan ambisinya itu. Untuk menggalang dana yang dibutuhkan, dia memerintahkan penjualan surat pengampunan dosa secara luas dan intensif.

Surat indulgensi adalah dokumen tertulis yang diterbitkan otoritas gereja. Dengan membelinya (harganya berbeda-beda menurut status dan golongan pembeli), maka seseorang dapat memperoleh jaminan penghapusan dosa, baik dosanya di masa lalu dan yang akan terjadi di masa depan. Sampai ada penulis yang mengejeknya sebagai "Surat Izin Berdosa" (license to sin). Hebatnya lagi, surat ini pun bisa dibeli untuk "mengeluarkan" jiwa orang yang telah mati dari "api penyucian" (purgatori). Semakin banyak surat yang dibeli, maka semakin banyak jiwa orang tercinta yang telah meninggal untuk dibebaskan.

Surat ini dijual terutama ke kalangan jemaat awam yang mayoritas terdiri dari petani, tukang dan kaum jelata lainnya. Mereka begitu rentan dengan praktik ini. Di samping kepolosan karena tingkat pendidikan yang rendah, mereka pun juga percaya aneka tahayul seperti gambaran dunia kematian. Kondisi inilah yang menjadikan mereka sebagai sasaran empuk penjualan surat indulgensi. Mereka berbondong-bondong menjual segala kepunyaannya hanya untuk bisa membeli surat indulgensi. Gereja bahkan seperti tidak lagi peduli bagaimana jemaat awam yang miskin memperoleh uangnya, yang terpenting uang mereka masuk kas gereja. Ada juga gereja lokal yang menolak praktik ini, seperti gereja di Spanyol yang dipimpin Kardinal Ximenez. Tapi sebagian besar gereja lainnya menjadi perpanjangan tangan Paus dalam penjualan surat indulgensi.

Luther sendiri terpicu oleh khotbah salah seorang utusan Paus, seorang pengkhotbah terkenal, Johann Tetzel. Dengan berkeliling ke kota-kota di Jerman, Tetzel dengan persuasif berusaha meyakinkan jemaat untuk membeli surat indulgensi. Kalimatnya yang terkenal dan sering diucapkannya, "Saat uang logam bergemerincing masuk kotak uang, maka jiwa dari api penyucian akan terbebaskan." Sangat banyak jemaat yang terbujuk oleh Tetzel. Sekelompok jemaat Wittenberg yang diasuh Luther pun sengaja pergi ke kota Juteborg dan Zerbst yang disinggahi Tetzel. Merekalah yang ketika kembali ke Wittenberg menceritakan semuanya kepada Luther. Penjualan surat indulgensi ini sangat bertolak dengan pengampunan sebagai anugerah Allah yang diimani Luther.

Ada dua kesalahpahaman umum yang mesti diluruskan tentang reaksi Luther ini. Pertama, tema besar dalil Luther adalah keberatannya terhadap praktik penjualan surat indulgensi. Luther tidak mengajukan keberatan secara komprehensif terhadap ajaran gereja lainnya. Keberatan Luther terhadap doktrin gereja lainnya baru muncul di kemudian hari. Kedua, dalil-dalil Luther sebenarnya adalah bagian dari suatu ajakan sopan untuk berdiskusi seputar masalah penjualan surat indulgensi. Pada masa Luther hidup, adalah suatu kebiasaan bila ada topik yang hendak didiskusikan atau diperdebatkan maka seseorang bisa memakukan undangannya di pintu gereja Wittenberg. Bahkan dalam paragraf pengantar dalilnya itu, Luther menuliskan, "Berdasarkan cinta kepada kebenaran dan keinginan untuk memeriksa masalah ini, beberapa dalil di bawah ini untuk kita diskusikan... Siapapun yang tidak bisa berdiskusi secara langsung, dipersilakan menuliskannya." Peristiwa pemakuan dalil oleh Luther sesungguhnya bukan peristiwa yang dramatis, radikal dan aneh untuk ukuran saat itu. Luther hanya mengajak berdiskusi, bukan memberontak dari gereja. Tuduhan bahwa Luther mau memprovokasi jemaat juga harus dibuang. Luther menuliskan dalilnya dalam bahasa Latin, yang tentunya bukan bahasa pakai jemaat awam. Para ahli yakin bahwa ajakan diskusi Luther ini ditujukan kepada kaum akademisi.

Mulanya, reaksi otoritas gereja pun tidak terlalu heboh. Saat Paus Leo X dilaporkan oleh Uskup Agung Albert, dia hanya menganggap Luther sebagai orang yang kehilangan akal sehatnya dan sedang mabuk. Paus tidak terlalu menggubrisnya ketika itu. Tidak lama kemudian, ada pihak-pihak tertentu yang menyalin ulang, mencetak dan membagikan 95 dalil Luther ini keluar Wittenberg. Luther sendiri tidak berada di belakang ini. Tanpa disadarinya, dia semakin terkenal di kalangan jemaat beberapa kota di Jerman. Dengan berlandaskan pandangan Luther, mereka mulai berani menolak membeli surat indulgensi. Pada saat seperti inilah, otoritas gereja baru bereaksi keras.



Pertemuan Augsburg


Penyebaran salinan 95 dalil bukan lagi dalam bahasa Latin tapi sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman. Pihak yang menerjemahkan sama misteriusnya dengan pihak yang menyebarkannya. Penyebaran yang semakin luas ke pelbagai kota di Jerman sungguh mengubah jalan hidup Luther. Dari rahib biasa dan guru di universitas yang tidak terkenal (Wittenberg), kini namanya mulai mencuat dan mengundang kontroversi. Tidak lama sejak penyebaran, reaksi keras pertama muncul dari salah seorang sahabat Luther sendiri, John Eck. Eck adalah Profesor Teologi di Universitas Bavarian (Ingolstadt). Kardinal Pirerias, advisor Paus Leo X, juga mencap Luther sebagai bidat.

Pada bulan Mei tahun 1518, Luther menuliskan risalah "Resolusi Tentang Kebaikan Indulgensi". Dalam risalahnya, Luther menerangkan motivasinya dan menjabarkan 95 dalilnya lebih terperinci. Luther menuliskan bahwa dia tidak bermaksud menciptakan kebingungan dan konflik dalam tubuh gereja. Meskipun Luther menjelaskan bahwa Paus sebagai manusia mungkin bisa bersalah namun Luther masih menunjukkan respeknya terhadap Paus. Dalam surat pengantarnya, Luther masih menyapa Paus sebagai "Bapa Suci". Luther menyatakan kesediaannya untuk dihukum sesuai dengan peraturan gereja. Tampak jelas, dalam risalah ini, Luther masih bersikap sangat hati-hati dan cenderung takut.

Setelah Paus membaca risalah Luther yang merupakan jawabannya atas kejadian Wittenberg, Paus meminta Luther untuk segera ke Roma. Luther menduga kemungkinan sangat besar dia akan dipenjara akibat tuduhan bidat dan tidak akan kembali ke Jerman. Bangsawan Jerman (elektor) Frederick yang Bijaksana, bangsawan yang bersimpati dengan Luther, membantu Luther dengan bernegosiasi kepada pihak gereja agar pertemuan dengan Luther dilangsungkan di Jerman. Atas izin Paus, Kardinal Cajetan (Thomas de Vio) mengadakan pertemuan dengan Luther di Augsburg, Jerman.

Pada tanggal 7 Oktober 1518, setahun setelah kejadian Wittenberg, Luther menghadap Kardinal Cajetan yang mewakili Paus. Setibanya di Augsburg, Luther terkejut dengan dukungan rakyat atas dirinya. Dukungan publik ini sungguh melahirkan keberanian baru dalam diri Luther, yang sebelumnya tidak pernah ia miliki. Dalam pertemuan itu, Luther dipaksa untuk menarik kembali 95 dalilnya dan mengaku salah. Luther yang kini lebih percaya diri karena memperoleh dukungan rakyat, dengan tegas menolak permintaan Kardinal Cajetan. Luther hanya mau mengubah pandangannya bila Kardinal Cajetan bisa menunjukkan kesalahannya sesuai dengan Alkitab. Penolakan Luther ini membangkitkan amarah Kardinal Cajetan. Dia menyebut Luther sebagai "Cacing Sial". Setelah tiga hari berdebat, pertemuan berakhir tanpa hasil yang diharapkan pihak gereja. Luther tetap pada pandangannya. Keberanian Luther menentang otoritas gereja menambah rasa simpati rakyat yang secara timbal balik juga menumbuhkan keberanian lebih besar dalam diri Luther.



Perdebatan Leipzig


Kalangan akademis pun terpecah dua, antara yang mendukung dan menentang Luther. Dalam suatu pertemuan yang terkenal dengan sebutan "Perdebatan Leipzig" pada bulan Juli 1519, untuk pertama kalinya para akademisi secara formal memperdebatkan pandangan Luther. Debat ini diikuti kedua pihak yang berseberangan. Dari pihak Luther diwakili oleh Andreas von Carlstadt, seorang kolega Luther di Universitas Wittenberg yang merupakan basis utama pro Luther. Sedangkan pihak penentang diwakili oleh John Eck. Keduanya mulai berdebat seputar kehendak bebas manusia dan anugerah Allah.

Setelah beberapa hari berdebat, Luther menyusul ke Leipzig. Antara tanggal 4 sampai 14 Juli, Luther berdebat dengan Eck tentang pelbagai ajaran gereja masa itu, antara lain: purgatori, indulgensi, dan sakramen pengakuan dosa. Salah satu tema perdebatan yang menonjol adalah soal kedudukan Paus. Dalam perdebatan, Luther sudah memposisikan dirinya lebih berani sebagai penentang konsep kepausan dalam gereja. Luther bukan lagi hanya menolak absolutisme (infabilitas) Paus. Bagi Luther, kedudukan Paus sama sekali tidak diperlukan dan tidak sesuai ajaran Alkitab. Luther merujuk pada model gereja mula-mula. Menurutnya, Kristus adalah kepala gereja itu sendiri, bukan Paus. Lebih jauh, Luther mengemukakan bahwa sejak orang beriman ditebus maka sama sekali tidak perlu ada mediator antara dia dan Tuhan. Setiap orang beriman bebas menghadap Allah sendiri sebagaimana Bapa dan anak. Secara tidak langsung, Luther juga menolak konsep orang suci (santo dan santa) sebagai mediator.

Digambarkan bahwa perdebatan ini "dimenangkan" oleh Eck karena sebagian besar kaum akademisi memihak Eck. Namun pada tingkat jemaat awam, Luther dipandang sebagai pahlawan. Tentu keberpihakan mereka kepada Luther bukan pertama-tama karena perkara teologis. Mereka melihat Luther sebagai orang yang berjasa dalam menyadarkan mereka dari eksploitasi otoritas gereja secara sosial ekonomis seperti yang terjadi pada penjualan surat indulgensi. Kaum bangsawan pun mulai melirik Luther sebagai rekan potensial dalam memperjuangkan kemandirian politis mereka dari unsur pengaruh gereja seperti yang telah berlangsung berabad-abad.

Bagi Luther sendiri, Perdebatan Leipzig semakin mengukuhkan pandangannya terhadap pelbagai kekeliruan gereja. Perdebatan tersebut justru lebih mempertajam pemikiran Luther. Bila sebelum pertemuan Augsburg, Luther adalah seorang rahib yang tunduk tidak berdaya pada otoritas gereja, maka sejak Perdebatan Leipzig, Luther memandang dirinya sebagai pejuang kebenaran yang memang siap menghadapi risiko. Luther sadar telah memulai suatu konflik besar dalam gereja dan akan berlangsung sampai akhir hayatnya.



Perjuangan Dengan Kertas dan Pena


Pasca Perdebatan Leipzig, Luther mulai sadar bahwa perjuangan lisan saja tidak akan membawa dampak yang besar. Dia mulai beralih ke tulisan sebagai modus perjuangannya. Mungkin Luther belajar dari peristiwa penyebaran salinan 95 dalilnya yang berhasil merebut simpati rakyat meskipun bukan dia yang menyebarkannya. Dengan tulisan, dia berharap bahwa pandangannya semakin tersebar luas dan dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca. Pada tahun 1520, Luther menulis tiga risalah sekaligus: "Kepada Para Bangsawan Kristiani" (Agustus), "Penahanan Babilonia" (Oktober) dan "Tentang Kebebasan Manusia Kristiani" (Nopember). Luther meletakkan dasar teologi Lutheran dalam ketiga tulisan ini.

Dalam "Kepada Para Bangsawan Kristiani", Luther mengajak para bangsawan untuk turut bekerja sama memperbaharui gereja dan menolak dominasi politis gereja Roma. Luther menganggap para bangsawan lebih mudah untuk mengadakan perubahan dalam gereja ketimbang para rohaniwan. Di mata Luther, rohaniwan justru lebih resistan terhadap perubahan karena unsur takut kehilangan jabatan dan kenyamanan status quo. Luther juga menambahkan bahwa, dalam kasus khusus, orang luar (non rohaniwan) bisa mendapat mandat khusus dari Allah untuk mengambil alih kepemimpinan gereja sejauh gereja sudah tidak bisa mengkoreksi dirinya sendiri lagi.

Luther tidak anti terhadap kepemimpinan gereja sebagaimana yang sering disangkakan lawannya ketika dia menolak kepausan. Justru Luther mengharapkan adanya pemimpin yang mampu membawa gereja untuk kembali kepada kebenaran. Perbedaan Luther tentang kepemimpinan gereja adalah, salah satunya: Luther setuju dengan kepemimpinan oleh jemaat itu sendiri (priesthood of laity). Pemikiran Luther ini akan mempengaruhi John Knox (1505-1572) yang menjadi perintis model pemerintahan gereja berbentuk Presbiterian.

Sedangkan melalui "Penahanan Babilonia", Luther mengumpamakan umat gereja Abad Pertengahan sebagai tawanan dari gereja. Begitu banyak ajaran gereja yang tidak Alkitabiah namun dipaksakan kepada mereka. Sementara akses umat ke Alkitab begitu dibatasi. Luther juga menolak lima sakramen kudus karena tidak sesuai ajaran Alkitab. Luther hanya mengakui dua sakramen yaitu Perjamuan Kudus dan Pembaptisan. Doktrin tentang anugerah kembali diulas Luther. Luther mengkaitkan anugerah pengampunan dari Allah dengan kebebasan manusia beriman untuk berelasi dengan Allah. Penjelasan Luther tentang doktrin anugerah akan berlanjut dalam "Tentang Kebebasan Manusia Kristiani".

Di samping ketiga tulisan kunci itu, Luther pun menuliskan risalah singkat berjudul "Tentang Kepausan di Roma" pada Juni 1520. Dalam tulisan ini, jelas-jelas Luther menyebut Paus sebagai "Anti Kristus". Padahal dua tahun sebelumnya, dalam suratnya kepada Paus, Luther masih menyebutnya "Bapa Suci". Semua tulisan ini benar-benar menyulut kemarahan otoritas gereja Roma.



Melanchthon dan Luther


Biografi Luther yang baik pasti menjelaskan secara khusus tentang Phillip Melanchthon, sahabat karib dan rekan seperjuangan Luther. Hubungan keduanya saling menguntungkan dan mempengaruhi. Luther bertemu Melanchthon pada tahun 1518 di Universitas Wittenberg, ketika keduanya menjabat sebagai pengajar. Mulanya, Luther tertarik dengan tulisan teologis Melanchthon yang menunjukkan kemiripan dengan Luther. Luther pun mengenalkan Melanchthon dengan teologinya. Sebaliknya, Melanchthon mengajarkan Luther bahasa Yunani. Melanchthon adalah pengajar yang sangat populer di universitasnya. Kuliahnya selalu dihadiri oleh banyak mahasiswa. Padahal, Melanchthon tidak menyandang gelar Doktor Teologi seperti Luther. Dia juga bukan seorang rahib seperti Luther. Dia adalah orang awam yang sangat cerdas dan mengasihi Tuhan.

Walau keduanya mempunyai kesamaan dalam hal teologi, tidak begitu dengan karakternya. Bila Luther digambarkan sebagai pribadi yang berani, frontal dan terus terang (setidaknya setelah pertemuan Augsburg) maka Melanchthon justru kebalikannya. Dia tidak terlalu suka konflik langsung dan lebih diplomatis. Meskipun demikian, keduanya membangun persahabatan yang erat dan abadi. Luther pernah memuji Melanchthon, "Dalam karir saya sebagai pengajar, saya paling menghormati nasihat Melanchthon." Sedangkan, Melanchthon dengan sentimental pernah menulis, "Saya lebih baik mati daripada berpisah dengan orang ini (Luther)."

Sejak tahun 1519, Melanchthon telah menjadi sekutu Luther dalam memperjuangkan reformasi teologi. Bersama Carlstadt, dia termasuk rombongan yang pergi ke Perdebatan Leipzig. Meskipun secara resmi Melanchthon tidak ikut dalam perdebatan, namun dia terus membantu Luther dalam memberikan referensi Alkitab untuk sebagian besar argumentasi Luther ketika berdebat dengan Eck.

Melanchthon juga berjasa sebagai orang yang pertama kali mensistemisasikan pemikiran reformasi yang dirintis Luther. Luther sendiri menjelaskan pemikirannya tidak begitu sistematis dan tersebar ke beberapa tulisan. Pada tahun 1921, Melanchthon menerbitkan buku ringkasan pemikiran reformasi, "Loci Communes" (Theological Common-Place). Sebelum diterbitkan, Melanchthon sempat meminta Luther memeriksanya. Luther begitu antusias dengan karya Melanchthon. Alkisah, Luther berkomentar, "Mestinya buku ini masuk sebagai kanon Alkitab." Topik utama pembahasan "Loci Communes" adalah doktrin anugerah yang menjadi tulang punggung pemikiran teologis perjuangan reformasi.



Sidang Worm


Perkembangan gerakan reformasi yang dipimpin Luther semakin meningkat. Hal ini sungguh meresahkan Paus Leo X. Pada bulan Juni 1920, Paus Leo X mengeluarkan "bull" (semacam surat Paus yang bersifat peringatan). Dalam suratnya, Paus kembali menuntut Luther dan kelompoknya menarik kembali segala pandangannya. Mereka didesak untuk kembali kepada ajaran dari otoritas gereja. Sebagai ancaman, Luther dan kelompoknya akan dikucilkan dari gereja (ekskomunikasi) jika tidak mengindahkan tuntutan Paus dalam 60 hari. Paus juga memerintahkan semua jemaat untuk membakar buku-buku tulisan Luther dan kawan-kawannya.

Pada tanggal 10 Desember tahun yang sama, Luther beserta para pengikutnya mengangkut semua buku teologi terbitan gereja Roma dan juga surat peringatan Paus. Mereka membakar semuanya di depan pintu gerbang timur kota Wittenberg. Sambil membakar semuanya, Luther dan para pendukungnya saling bergandengan tangan dan menyanyikan lagu Te Deum (sebuah pujian bagi Allah). Mereka digambarkan tidak takut sedikitpun terhadap konsekuensi tindakan mereka. Tindakan membakar surat peringatan Paus sebelumnya pernah dilakukan oleh bangsawan atau raja yang tidak takut terhadap Paus. Namun baru kali itu, surat peringatan Paus dibakar oleh seorang rahib!

Atas perbuatannya, Luther dan pendukungnya dikucilkan dari gereja Roma. Namun hal ini belum memuaskan pihak otoritas gereja yang tetap merasa perlu membungkam Luther dan pendukungnya. Maka pada bulan Maret 1521, Luther dipanggil menghadap dewan gereja (diet) yang sedang bersidang di kota Worm, sebelah barat daya Jerman. Dewan gereja ini terdiri dari para rohaniwan yang bertugas membahas pelbagai isu kontemporer. Tentu saja gerakan Reformasi oleh Luther menjadi agenda utama mereka. Sidang ini diselenggarakan oleh Charles V, Kaisar Roma Suci. Sedikit penjelasan konteksnya, waktu itu pusat pemerintahan gereja dibagi ke dua orang yaitu Paus dan Kaisar Roma Suci. Paus dianggap sebagai kepala gereja. Sedangkan Kaisar Roma Suci adalah semacam pelindung secara politis kedudukan Paus.

Awalnya, Luther acuh tak acuh dengan pemanggilannya. Namun atas desakan bangsawan Frederick yang Bijaksana, Luther pun berangkat. Frederick ingin agar Luther memiliki kesempatan sekali lagi untuk membela pemikirannya secara legal atas kesalahan gereja. Apalagi, otoritas gereja menjamin keamanan Luther selama perjalanan dan persidangan. Teman-teman Luther mengkuatirkan kepergian Luther ini. Mereka ingat bahwa sebelumnya ada seorang Reformator bernama John Huss (1374-1415) yang pernah dipanggil gereja untuk bertemu. Saat itu, Huss pun diberikan jaminan keselamatan dirinya oleh pihak gereja. Namun yang terjadi malah Huss ditangkap dan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Setelah menggumuli dengan seksama dan didukung bangsawan Frederick, Luther pun pergi ke Worm. Ketika menanggapi kecemasan para pendukungnya, Luther berkata, "Aku akan tetap pergi ke Worm bahkan seandainya setan begitu banyaknya seperti banyaknya ubin dan atap rumah."

Ternyata Luther bukan saja aman selama perjalanan, namun dia disambut hangat oleh jemaat gereja pada setiap kota transit yang disinggahinya. Setelah dua minggu perjalanan, sampailah Luther di Worm. Sambutan orang banyak di Worm tidak kalah meriahnya seperti yang diterimanya saat perjalanan.

Luther menghadap sidang Worm hanya dua kali. Tidak seperti yang diharapkan, Luther tidak diberi banyak kesempatan untuk menjelaskan posisi teologisnya. Seperti pertemuan Augsburg, Luther kembali dituntut untuk "bertobat" dari ajarannya sendiri dan kembali ke ajaran gereja Roma. Otoritas gereja sengaja mengelak untuk berdebat dengan Luther. Mereka berdalih bahwa doktrin gereja bukanlah untuk didiskusikan. Luther dituduh sedang berspekulasi dengan doktrin gereja yang telah menjadi tradisi berabad-abad. Pada hari kedua Luther menghadap, Luther memberikan jawaban yang terkenal itu, "... kecuali kesalahan pandangan saya diberitahu menurut Alkitab dan alasan yang jelas, maka saya tidak dapat dan tidak mau mengubahnya. Di sinilah saya berdiri. Tidak ada lagi yang dapat saya perbuat."

Di luar sidang, para teolog pun coba membujuk Luther untuk menganulir pandangannya. Luther tetap pada posisinya agar segala kesalahannya harus merujuk dari Alkitab sendiri. Jika tidak ada satu pun yang bisa membuktikan kesalahan Luther dari Alkitab maka Luther sama sekali tidak mau berkompromi. Pada tanggal 25 April, Luther diizinkan kembali ke Wittenberg. Sejak saat itu, otoritas gereja menganggap Luther dan pendukungnya sebagai musuh gereja. Luther tidak mungkin bisa dihentikan dengan cara ancaman dan peringatan lagi. Sementara itu, sidang Worm yang masih berlangsung setelah Luther pulang kampung, memutuskan Luther sebagai bidat dan bukan warga gereja. Keputusan ini tertuang dalam Edict of Worms dan resmi ditandatangani oleh Charles V pada tanggal 25 Mei 1521.

Persembunyian di Menara Wartburg


Dalam perjalanan pulangnya, Luther "diculik" oleh pegawai bangsawan Frederick. "Penculikan" ini adalah inisiatif Frederick untuk mengamankan Luther dari risiko yang mungkin muncul setelah perlawanan Luther pada sidang di Worm. Pada masa itu, bila otoritas gereja telah menetapkan seseorang menjadi bidat atau sesat maka jemaat yang fanatik merasa sah untuk membunuh yang bersangkutan. Luther diungsikan Frederick ke menara Wartburg yang terletak di pinggiran kota Eisenach. Selama di sana, kehidupan Luther ditunjang oleh Frederick. Jadi tidak benar dengan pendapat umum bahwa Luther bersembunyi ke menara Wartburg atas kehendaknya sendiri.

Luther tinggal di menara Wartburg dengan aman hampir selama setahun. Selama di sana, Luther menyelesaikan penerjemahan Alkitab ke bahasa Jerman dengan tujuan agar jemaat awam pun dapat membacanya. Adalah Melanchthon, sang karib, yang konon pertama kali mendorong Luther melakukan penerjemahan. Namun para ahli juga percaya bahwa penerjemahan ini juga diinspirasikan oleh Erasmus, sahabat Luther yang kerap bersuratan dengannya. Erasmus, yang walaupun seorang Katolik yang taat, dia termasuk yang menganjurkan agar Alkitab bisa dibaca oleh siapapun dengan bahasanya sendiri. Alkitab terjemahan Luther menjadi Alkitab berbahasa Jerman pertama yang diterbitkan. Dalam dua bulan pertama sejak diterbitkan, Alkitab ini terjual 5000 kopi. Suatu angka yang cukup fantastis pada masa itu mengingat penerjemahan dan penjualan bebas Alkitab masih tergolong pelanggaran hukum gerejawi.



Reformasi Praktikal


Selama Luther bersembunyi di menara Wartburg, dia meminta kesediaan Melanchthon untuk memimpin jemaat Wittenberg yang ditinggalkannya. Melanchthon bersedia menjadi gembala menggantikan Luther untuk sementara waktu. Karena karakter Melanchthon yang kurang tegas dan tidak pas sebagai pemimpin suatu gerakan yang baru, maka koleganya, Carlstadt, mengambil alih kepemimpinan tersebut. Sebagaimana kita ketahui, Carlstadt adalah salah satu pendukung Luther yang terlibat dalam Perdebatan Leipzig (1519). Karakter Carlstadt lebih mirip dengan Luther. Dia sosok pemimpin yang berapi-api, tangguh dan berani, bahkan cenderung lebih radikal.

Selama menjadi gembala, Carlstadt dengan ekstrim berniat merombak total praktik ibadah gereja terutama liturgi dan simbol. Dalam khotbahnya, Carlstadt mengajak jemaat untuk membuang segala sesuatu yang berhubungan dengan model ibadah gereja sebelum Reformasi seperti patung-patung orang kudus (mirip anjuran Zwingli). Khotbah yang provokatif ini disalahpahami jemaat sebagai ajakan untuk membenci dan memusuhi orang-orang di luar gerakan Reformasi. Kabar ini sampai ke telinga Luther di tempat persembunyiannya. Luther merasa sangat prihatin untuk secepatnya kembali ke gerejanya. Para ahli percaya, saat Luther kembali ke Wittenberg itulah ia memulai Reformasi dalam ranah praktikal, karena sebelumnya hanya menyentuh bidang teologi (konseptual).

Setelah dirasakan aman dan seizin bangsawan Frederick (sang pelindung), maka pada tanggal 6 Maret 1522, Luther kembali ke Wittenberg. Dalam rangkaian khotbah pertamanya sejak kembali, Luther berpesan kepada jemaatnya untuk tetap mengutamakan toleransi, kesabaran dan kasih, bahkan kepada siapapun yang berseberangan. Luther coba mengkoreksi radikalisme yang sempat tertanam dalam benak sebagian jemaatnya. Ia mengambil contoh dirinya sendiri sebagai orang yang berjuang sekuatnya untuk memperbaharui gereja, namun tetap tidak menggunakan kekerasan sedikitpun. Kalau Luther mau, sebenarnya dia bisa memancing pertumpahan darah antara pendukung dan penolaknya, tapi justru dia selalu berusaha agar hal ini tidak terjadi. Luther mengingatkan jemaatnya untuk tidak menodai perjuangan suci ini dengan kebencian dan kemarahan kepada siapapun, termasuk otoritas gereja Roma.

Pada tahun 1523, Luther mengedarkan tulisannya yang berjudul "Ibadah Reformasi Bersama" (Formula Missae et Communionis). Dalam tulisannya, Luther menyatakan bahwa tujuan reformasi ibadah bukan untuk membuang seluruh ibadah pra Reformasi. Menurutnya, ada bagian-bagian ibadah pra Reformasi yang baik dan tidak bertentangan dengan Alkitab. Yang perlu dibuang adalah bagian-bagian yang nyata bertentangan dengan Alkitab. Pada tahun yang sama, Luther menerbitkan "Tentang Penyembahan Ilahi". Luther menekankan kembali agar setiap orang percaya membaca Alkitab, berdoa dan menyembah Allah dalam devosi pribadi tiap hari.

Sebagai seorang pecinta musik, dia sangat menghargai kekayaan musik gerejawi. Ia cukup produktif menggubah lagu untuk dinyanyikan jemaat. Luther juga memakai teknik parodi yaitu membubuhkan syair sakral pada melodi lagu sekuler seperti lagu rakyat. Demikian pula, banyak lagu gereja sebelumnya (Gregorian Chant) diolah kembali dengan mengenakan syair yang baru. Lagunya yang terkenal sepanjang masa seperti "Allah, Bentengku yang Kukuh" (Ein Feste Burg ist Unser Gott). Pada tahun 1524, Luther dibantu Johann Walther menerbitkan buku nyanyian (Wittenberg Gesangbuch). Dalam ibadah, Luther juga mengizinkan pemakaian alat musik sejauh tidak mengganggu penyampaian pesan Alkitab/lagu kepada jemaat. Berbeda sekali dengan Zwingli yang melarang pemakaian alat musik apapun dalam ibadah gereja. Dalam pengantar "Missa Jerman" yang dikarangnya pada tahun 1526, Luther tidak keberatan seandainya aneka alat musik dipakai sejauh mendukung pemberitaan dan pendidikan Firman.



Pemberontakan Petani


Selama Abad Pertengahan sampai zaman Luther hidup, kalangan masyarakat yang paling menderita adalah para petani (dalam jumlah yang lebih kecil termasuk tukang dan buruh). Mereka menjadi objek eksploitasi para bangsawan yang dalam sistem feodal menjadi tuan tanah. Para petani bekerja keras untuk keuntungan para bangsawan, sementara mereka sendiri hidup dari imbalan uang yang pas-pasan. Para bangsawan juga tidak segan-segan menjatuhi hukuman berat kepada para petani yang dianggap bersalah. Belum lagi, mereka masih dipungut pajak baik oleh penguasa setempat maupun gereja. Bila wabah penyakit merebak, mereka paling rentan menjadi korban karena kualitas kehidupan yang rendah sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang jauh dari memadai. Aneka penderitaan dan ketidakadilan yang kerap mereka alami menjadi latar belakang pemberontakan mereka (The Peasant's Revolt) yang meletus pada tahun 1524.

Selain dipicu oleh kondisi yang memperhatinkan, mereka mengaku bahwa pemberontakan mereka justru diinspirasikan oleh ajaran Luther. Pandangan Luther tentang kesamaan derajat manusia di mata Allah (equality) menguatkan kerinduan para petani untuk memperjuangkan hak-haknya dan melawan "penindasan" para bangsawan. Ketika Luther masih di menara Wartburg, pada tahun 1522, Luther memang pernah menuliskan tentang ketidakadilan dan represi tuan tanah kepada para petani. Luther meminta para tuan tanah agar tidak memakai kekerasan terhadap para petani. Konon, tulisan ini sebenarnya ditujukan langsung kepada para bangsawan, namun ternyata bocor dan diedarkan di kalangan petani. Maka pada bulan Juni 1524, sekelompok besar petani turun ke jalanan di kota Waldshut untuk memprotes perlakuan para bangsawan.

Pada bulan Februari 1525, para petani mengajukan petisi yang berisi 12 pernyataan (tuntutan) antara lain kebebasan untuk menentukan rohaniwan bagi gerejanya sendiri, penghapusan beberapa pungutan, hak untuk memanfaatkan tanah publik, pembayaran yang lebih adil. Pada akhir petisi, disebutkan bahwa mereka bersedia untuk membatalkan tuntutan mereka sejauh ditemukan bertentangan dengan Alkitab. Hal ini tentu mereka pinjam dari kalimat Luther.

Awalnya, Luther turut menyalahkan ketidakadilan dan kejahatan para bangsawan sebagai penyebab utama pemberontakan para petani. Namun Luther pun tidak menyetujui jika para petani memberontak dengan cara mogok kerja dan turun ke jalan. Luther menuduh para petani keliru menerapkan semangat Reformasi. Para petani salah bila membaca gerakan Reformasi teologis sebagai reformasi secara politis juga. Menurut Luther, dalam kasus para petani, perjuangan yang diperlukan adalah menyadarkan para bangsawan secara persuasif. Seandainya dibutuhkan waktu yang lama sebelum para bangsawan sadar, Luther menganjurkan para petani untuk tetap bertahan dalam penderitaan mereka sama seperti Kristus yang dengan tabah mengalami siksaan.

Selama tahun 1524, aksi protes ini secara umum masih berlangsung damai. Luther terus berupaya untuk meredam aksi para petani ini. Pelbagai pertemuan antara petani dan bangsawan telah berlangsung beberapa kali, namun tidak membuahkan kesepakatan di antara mereka. Hingga pada awal tahun 1525, aksi ini mulai berkembang menjadi aksi yang brutal. Aksi juga semakin luas yang melibatkan jutaan petani yang meliputi sepertiga wilayah Jerman. Pada awal tahun 1525, hampir 40 biara gereja Roma dan kastil dirusak serta dibakar oleh para pemberontak. Salah satu tokoh pemberontakan petani ini adalah Thomas Munzer, salah satu tokoh penting dalam gerakan "Anabaptis", sempalan dari gerakan Reformasi yang lebih radikal dan militan.

Ketika aksi para petani mulai menjurus pada kekerasan, Luther lebih giat menuntut perhatian para bangsawan atas kondisi para petani. Luther juga menuliskan pamflet "Nasihat untuk Berdamai" yang ditujukan kepada kedua pihak. Luther mendesak bangsawan Frederick untuk mengadakan pertemuan akbar antara kedua pihak. Namun kekerasan aksi para petani yang semakin meningkat dalam tempo singkat sangat meresahkan Luther. Kerusuhan di mana-mana mulai muncul sebagai ekses pemberontakan para petani.

Dalam kekecewaannya yang berat karena tindakan anarkis para petani, Luther berbalik mendorong para bangsawan untuk menegakkan ketertiban masyarakat kembali. Dalam suratnya kepada para bangsawan, Luther menyebutkan para petani sudah "dirasuki" Iblis, dan para bangsawan wajib menertibkannya kembali. Luther menyebut para bangsawan dan penguasa sebagai "Pedang Allah di Dunia". Para sejarawan masih berdebat, apakah surat Luther ini bersifat anjuran langsung atau sekedar penggambaran Luther akan apa yang mungkin terjadi (foretold), namun pada kenyataannya para bangsawan akhirnya mengambil tindakan yang lebih koersif. Pada tahun itu juga, para bangsawan menumpas pemberontakan para petani. Dalam pertempuran antara keduanya di Frankenhausen, sekitar enam ribu petani tewas dibunuh. Ditaksir duaratus ribu lainnya tewas mengenaskan di kota-kota lainnya.

Tragedi ini sangat memukul Luther. Pada masa-masa akhir pemberontakan para petani, Luther masih memohon kepada para bangsawan agar mengampuni kesalahan para petani, dan tidak membunuhnya. Peristiwa ini mengubah konstelasi pendukung Luther. Bila sebelumnya, para petani menganggap Luther sebagai inspirator perjuangan mereka (meski Luther pasti membantahnya). Maka setelah peristiwa ini, sebagian besar petani mulai menuduh Luther sebagai oportunis. Sebaliknya, Luther pun menyesalkan para petani yang telah mengkhianati hakikat gerakan Reformasi. Di kota-kota terutama sebelah selatan Jerman, para petani yang semula adalah pengikut Luther mulai meninggalkannya. Mereka pindah ke gerakan religius radikal seperti "Anabaptis" yang menjamur pada masa itu.



Perselisihan Antara Reformator


Perselisihan Luther dengan tokoh Reformator lain yang patut dicatat adalah antara dia dengan Erasmus dan Zwingli. Perselisihan ini sendiri timbul dari ketidaksepahaman dalam penafsiran teologis antartokoh itu. Dalam kasus Erasmus, meskipun Erasmus satu visi dengan Luther tentang pembaharuan gereja namun dia menentang gerakan Luther yang mau melepaskan diri dari gereja Roma. Menurut Erasmus, pemisahan diri itu hanya memulai suatu perpecahan gereja yang hanya merugikan tubuh Kristus sendiri.

Pada tahun 1524, Erasmus mengkritik Luther dalam tulisan "Kebebasan Kehendak". Erasmus menolak pandangan Luther bahwa manusia berdosa sama sekali tidak bisa berbuat baik. Sebagai balasan, setahun kemudian Luther menuliskan "Kehendak yang Terbelenggu". Sayangnya, balasan Luther ini justru tidak secermat tulisannya yang lain. Beberapa kelemahan argumentasi dapat ditemui dalam tulisan ini. Sebenarnya dia berusaha untuk membela doktrin Predestinasi namun contoh-contoh yang diberikannya terlalu jauh dan bernuansa "fatalisme" di mana soal makan dan minum teh saja manusia tidak mempunyai otonomi kehendak untuk memilih.

Perselisihan kedua yaitu dengan Zwingli, pemimpin gerakan Reformasi Swiss. Pada tahun-tahun pertama, gerakan Reformasi Swiss dan Jerman tampak rukun dan saling mendukung. Namun semakin spesifiknya ajaran Luther terutama tentang doktrin Perjamuan Kudus, tidak pelak lagi memunculkan pertentangan antarmereka. Semula mereka kompak menolak doktrin Transubstansi dari gereja Roma bahwa roti dan anggur secara substansial "berubah" menjadi tubuh dan darah Kristus, meskipun penampakan lahiriah masih berwujud roti dan anggur. Luther menyerang filsafat Aristotelian yang membedakan adanya substansi dan akseden (karakteristik empiris) sebagai dasar doktrin ini. Luther sama sekali tidak menolak kehadiran Kristus secara fisik, namun dia tidak menyukai cara gereja dalam menjelaskannya. Sementara alasan Zwingli bahwa inkarnasi Allah hanya terjadi sekali dalam sejarah dan tidak mungkin Allah akan mengambil bentuk fisik sebagai roti berulang kali (impanatus).

Di kemudian hari, Luther menawarkan doktrin "Kehadiran Nyata Kristus" (sekarang disebut consubstansi) dalam ekaristi. Ini adalah salah satu ajaran Luther yang paling sulit dimengerti sekaligus penyebab keretakan besar antara dia dengan Zwingli. Bagi Luther, kehadiran Kristus harus berpusat pada kalimat-Nya sendiri dalam Matius 26:26, "Inilah tubuhku" (hoc est corpus meum). Luther menafsirkan harfiah akan perkataan Kristus itu, bahwa Kristus secara fisik hadir dalam roti dan anggur. Persis dengan doktrin Transubstansi namun dengan membuang cara berpikir Aristotelian.

Sedangkan, Zwingli mengartikan perkataan Kristus secara figuratif. Bahwa roti dan anggur bukanlah tubuh dan darah Kristus secara identik. Namun roti dan anggur adalah significat (simbol) dari pengorbanan Kristus. Allah sendiri tidak hadir secara fisik dalam roti dan anggur. Justru dengan logika pembalikan, Zwingli yakin bahwa perayaan ekaristi merupakan peringatan akan ketidakhadiran Kristus secara fisik. Sebagaimana Kristus pernah mengatakan, "...perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku." Secara implisit, Kristus justru mau mengatakan bahwa ketika Dia sudah tidak lagi hadir secara fisik, maka orang beriman wajib memperingati-Nya melalui ekaristi.

Polemik keduanya berlangsung gencar, sejak kritik pertama Zwingli pada tahun 1527 terhadap tulisan Luther "Khotbah Tentang Sakramen Tubuh dan Darah Kristus". Para teolog juga terbagi dua antara dua posisi berbeda ini. Beberapa tahun kemudian, Luther lebih keras mengecam Zwingli dalam tulisan "Pengakuan Tentang Perjamuan Kudus". Perdebatan ini mengancam keharmonisan gerakan Reformasi. Atas prakarsa bangsawan Philip dari Hesse, Luther dipertemukan dengan Zwingli di Marburg pada tahun 1529. Hadir pula tokoh Reformator seperti Martin Bucer, Melanchthon dan Oecolampadius. Kelak pertemuan ini dikenal dengan Percakapan Marburg (Marburg Colloquy) dan dipercaya sebagai konsili Protestan pertama.

Setelah beberapa minggu berdebat, kedua Reformator besar itu menyepakati banyak hal seperti yang tertuang dalam 15 artikel, antara lain tentang doktrin Trinitas, inkarnasi Kristus, sifat Allah dan kemanusiaan Kristus, dosa asal, doktrin pembenaran karena iman, karya Roh Kudus, sakramen pembabtisan, peran perbuatan baik dalam kehidupan Kristiani, dan sebagainya. Hanya pada artikel terakhir, jurang perbedaan mereka sama sekali tidak bisa dijembatani yaitu perihal Perjamuan Kudus. Memang ada beberapa aspek Perjamuan Kudus yang mereka sepaham seperti pemberian roti dan anggur kepada jemaat. Tapi Zwingli tidak menerima kehadiran fisik Kristus dalam ekaristi sebagaimana diyakini Luther. Untuk artikel terakhir ini, mereka "sepakat untuk tidak sepakat". Agar polemik tidak meluas dan merugikan perjuangan mereka, maka mereka berjanji tidak saling menyerang tentang hal ini.



Sidang-sidang Terakhir


Sebelum gerakan Reformasi merebak, kekuasaan politis gereja Roma mencakup sekitar 300 teritori kecil dan besar, khususnya di Eropa Barat dan Tengah. Hampir semua penguasa daerah tunduk kepada otoritas gereja Roma. Kondisi ini berubah drastis sejak 20 tahun pertama gerakan Reformasi Luther muncul. Dibarengi semangat lokalisme yang menguat di kalangan elit politik, maka mulailah sejumlah besar daerah memutuskan hubungan dengan otoritas gereja Roma. Banyak daerah mengklaim dirinya sebagai teritori Lutheran dan bukan lagi Katolik Roma. Dan tampaknya, hal ini akan terus berkembang. Kondisi ini sangat mencemaskan otoritas gereja Roma.

Charles V kembali berinisiatif mengadakan sidang untuk menghambat gerakan Reformasi ini terutama di kalangan para bangsawan. Pada tahun 1526, sidang digelar di kota Speyer. Agenda sidang terutama untuk mencapai konsesi antara para elit politik. Mana yang memilih Katolik dan mana yang memilih Lutheran. Setiap elit politik diberi kebebasan untuk memilih. Sebagian besar elit politik di Jerman Utara memilih Lutheran sebagai "agama resmi" mereka yang baru. Charles V bermaksud menggertak para elit politik yang memilih Lutheran. Charles V mengira dengan adanya pertemuan di antara para elit politik ini, mampu mengecilkan hati kubu Luther. Ternyata, hasil sidang malah sebaliknya. Elit politik Lutheran justru menganggap sidang ini sebagai kesempatan yang baik untuk mereka mengambil posisi secara formal. Mereka malah menyangka sidang ini sebagai cerminan sikap otoritas gereja yang melunak dan mentoleransi ajaran Luther. Hasil yang tidak sesuai harapan ini, mendorong Charles V mengadakan sidang kedua di kota yang sama pada tahun 1529.

Pada sidang kedua ini, Charles V menguatkan kembali keputusan otoritas gereja yang menyebutkan Luther dan pengikutnya sebagai sesat. Charles V juga memberikan ultimatum kepada elit politik yang masih ragu untuk segera kembali ke Katolik Roma, dan benar-benar melarang ajaran Luther masuk daerahnya. Intervensi politis sepihak ini dan inkonsistensi dari sidang pertama diprotes oleh beberapa bangsawan seperti Elektor dari Saxony, Gubernur dari Brandenburg, dan lainnya. Mereka yang menentang keputusan sidang kedua ini disebut sebagai kelompok "Protestan". Dari sinilah asal mula istilah "Protestan". Protestan bukanlah berarti "kembali kepada Alkitab" (pro testanum) sebagaimana yang sering kita kira.

Setahun kemudian, tahun 1930, kembali sidang digelar di Augsburg. Luther sekali lagi dipanggil untuk menghadap. Namun karena situasi tidak menentu dan sangat membahayakan dirinya maka Luther diwakili oleh Melanchthon. Dalam sidang inilah, Melanchthon merumuskan dan membacakan untuk pertama kalinya Pengakuan Iman Augsburg, yang kemudian hari menjadi pengakuan iman gereja-gereja Lutheran. Pengakuan ini disusun oleh Melanchthon berdasarkan tulisan-tulisan Luther dan beberapa teolog dari Wittenberg. Charles V dan sidang menolak pengakuan iman tersebut. Bagi mereka, pengakuan iman itu adalah kristalisasi dari ajaran Luther yang justru dilarang gereja selama ini.

Pengakuan iman ini terdiri dari dua bagian besar. Pertama berisikan 21 pernyataan yang merupakan ringkasan doktrin dan kepercayaan Protestan. Pada bagian akhir memuat kritik terhadap pelbagai ajaran dan praktik gereja Roma seperti peran pasif jemaat dalam ibadah, kewajiban hidup selibat (tidak menikah) bagi rohaniwan dan lainnya. Sebelumnya, Luther sendiri telah menikah dengan Catherine von Bora, mantan biarawati, pada tahun 1525. Mereka mempunyai enam orang anak.

Salah satu efek sidang-sidang terakhir adalah ketegangan antara Luther dan pendukungnya tidak lagi sebatas orang awam/rohaniwan dengan otoritas gereja. Namun antarelit politik juga terbagi. Hubungan mereka tidak "seharmonis" dulu. Charles V pun mulai menggalang kekuatan politik dari sesama sekutunya untuk mulai serangan militer terhadap elit politik Lutheran. Kabar ini diketahui oleh para bangsawan Lutheran. Mereka pun menyatukan diri untuk menahan serangan Charles V. Atas prakarsa Philip dari Hesse dan Elektor John dari Saxony, para bangsawan Lutheran berkumpul di Schmalkalden pada bulan Desember 1530. Para bangsawan dari sebelas kota sepakat untuk mendirikan aliansi militer. Mereka pun mengadopsi Pengakuan Iman Augsburg sebagai pengakuan yang resmi. Yang lebih penting lagi, mereka mengeluarkan pakta bersama yang berbunyi bila salah satu kota diserang oleh Charles V maka kota lainnya akan turut membantu.

Tapi penyerangan bangsa Turki ke Austria, membuat Charles V mengurungkan niat untuk menginvasi kota-kota Lutheran. Sebaliknya, Charles V menghimbau agar para bangsawan Eropa melupakan sementara konflik di antara mereka untuk bersatu menahan serangan bangsa Turki. Charles V terpaksa melunakkan sikapnya agar bangsawan Lutheran mau membantunya. Dia mengeluarkan dekrit tentang kebebasan beragama serta perjanjian perdamaian antara Katolik dan Protestan. Untuk sementara waktu, hal ini meredam konflik Katolik dan Protestan.



Tahun-tahun Terakhir Luther


Sepuluh tahun terakhir dalam hidupnya ditandai dengan kemunduran fisik maupun mental. Kira-kira sejak tahun 1538, Luther mengidap penyakit kencing batu, gangguan jantung dan pencernaan. Pada tahun 1541, Luther kena infeksi telinga dan tenggorokan. Penyakitnya ini bukan hanya menggerogoti fisiknya, namun juga menciptakan depresi yang dalam. Luther tidak lagi produktif dalam menghasilkan tulisan, kalaupun ada, tulisannya pada masa ini tampak lebih keras. Luther tidak sungkan memasukan hujatan dalam tulisannya. Puncaknya pada tahun 1545, Luther menuliskan risalahnya yang paling sarkastis, "Menentang Kepausan Roma yang Didirikan Setan". Secara isi, tidak ada yang baru dari pemikiran Luther, namun cara penyampaiannya yang amat vulgar.

Kepahitan hidupnya bertambah dengan meninggalnya, Magdalena Luther, anak perempuannya yang menjadi korban wabah penyakit di Wittenberg. Wabah ini juga banyak merenggut jemaatnya. Kesedihan di mana-mana mempengaruhi jiwa Luther menjadi semakin tertekan. Dalam keadaan depresi, Luther sempat berdelusi bahwa akhir zaman sudah dekat. Dia merasa banyak warga Wittenberg sudah kehilangan imannya. Luther mengalami delusi ini sampai beberapa tahun. Pada tahun 1545, Luther tiba-tiba ingin keluar dari Wittenberg karena merasa tidak nyaman. Tapi niatnya ini dihalangi oleh pihak universitas dan Melachthon, karena mengingat kondisi fisik Luther yang buruk dan usianya yang sudah lanjut.

Pada Januari 1546, Luther dipanggil ke kota Eisleben untuk menjadi mediator perselisihan dua orang bangsawan dari Mansfield. Persis sebulan, setelah tiba di sana, tepatnya tanggal 17 Februari, Luther meninggal karena gagal jantung. Pada tanggal 22 Februari, jenazah Luther kembali ke Wittenberg dan dikebumikan di gereja yang sama ketika dia memulai gerakan Reformasi. Luther wafat dalam usianya yang ke-63.
Disalin dari : Tulisan Jimmy Setiawan.

Selasa, 22 Januari 2013

Dosa Ditetapkan Oleh Allah?


Dosa, Allah.jpg
Ada orang yang bingung dengan masalah kejatuhan Adam ke dalam dosa.  Apakah Allah sudah menetapkan dosa?  Pernyataan yang sering saya dengar adalah segala sesuatu ditetapkan oleh Allah, tetapi dosa diijinkan oleh Allah.  Inilah yang membingungkan.

Jika diijinkan, kapan peristiwa mengijinkan itu? Apakah pada saat peristiwa itu akan terjadi atau dari kekekalan?  Jika pengijinan terjadi saat Adam makan buah, maka penetapan akan kematian Kristus juga ditetapkan saat itu juga sehingga kesimpulan saya adalah, Allah tidak merencanakan segala sesuatunya dari kekekalan, dan rencana Allah tidak tergantung pada Allah, tetapi pada situasi.  Bagaimana memahami hal ini?

Memang ini telah menjadi pertanyaan banyak orang.  Penjelasan tentang Allah mengijinkan manusia berdosa, menurut hemat saya sangat jauh dari fakta Alkitab.  Untuk itu, mari kita teliti satu demi satu menurut Alkitab tentang kejatuhan.

Pertama, adalah fakta bahwa Tuhan menciptakan manusia sempurna, segambar dan serupa dengan Diri-Nya (Kejadian 1:26-28).  Dan, manusia diberi kuasa untuk mengelola kehidupan seluruh ciptaan lainnya.  Bahkan Mazmur 8 berkata: “Engkau telah membuat manusia hampir sama seperti Allah!” Sebuah gambaran yang sangat terang benderang betapa sempurnanya manusia sebagai ciptaan. Dalam kesempurnaannya, manusia menerima ketetapan hukum Tuhan, karena manusia mampu memahami dan menjalaninya.  Ini suatu kehormatan yang memanusiakan manusia, lebih dari ciptaan lainnya yang tidak ditetapkan sebuah hukum.  Hanya pada manusia, karena dia penguasa bumi. Namun ingat, sebuah hukum pasti memiliki konsekwensi.

Kedua, adalah pertanyaan apakah Allah telah menetapkan dosa?  Jelas, tidak!  Allah tidak pernah menetapkan manusia untuk jatuh ke dalam dosa, juga tidak mengijinkannya, bahkan sebaliknya, Allah murka ketika manusia jatuh ke dalam dosa.  Yang ditetapkan Allah adalah hukum, yaitu: “Janganlah engkau memakan buah pengetahuan!” (Kejadian 2:16-17).  Dan sangat jelas akibatnya, jika memakan maka manusia akan mati rohani dan jasmani, (berdosa, terpisah dari Allah, dari sumber hidup).  Jadi manusia berdosa karena melanggar hukum Allah, dan bukan ditetapkan Allah, bahkan Allah menghukum manusia atas dosa yang diperbuatnya (bandingkan  1 Korintus 15:22).  Mata Tuhan terlalu suci untuk melihat kejahatan, bagaimana mungkin Dia menetapkan atau mengijinkan (bandingkan  Habakuk 1:13).  Bahkan Tuhan memalingkan wajah dari dosa dan kejahatan (Yesaya 59:1-2). Dan masih banyak catatan Alkitab lainnya.

Manusia jatuh ke dalam dosa karena tidak percaya kepada ketetapan hukum Tuhan, dan lebih percaya kepada godaan setan (Kejadian 3).  Jadi, kejatuhan ke dalam dosa bukan karena ketidakberdayaan manusia terhadap setan, melainkan karena kekurangpercayaan manusia kepada Tuhan.  Ketidaktaatan, itulah penyebab dosa.  Bukan rancangan Tuhan.

Mengapa manusia bisa jatuh?  Atau mengapa ada pohon?  Bukankah itu bukti Tuhan terlibat?  Itu gugatan banyak orang.  Padahal persoalan ini sangat sederhana.  Manusia bisa jatuh karena dia ciptaan, bukan pencipta.  Malaikat pun bisa jatuh.  Itu konsekwensi wajar ciptaan.  Yang malah aneh adalah, jika manusia tidak bisa jatuh.  Jadi Tuhan dalam mencipta manusia sempurna dalam ukuran ciptaan.  Soal pohon, bukan masalah selama mentaati hukum.  Yang jadi persoalan adalah, pelanggaran hukum, bukan pohonnya.  Kita mengenal UUD, UU, dan KUHP, dan kita akan dihukum jika melanggarnya.  Apakah semua perundangan yang ada itu salah?  Jelas tidak!  Bahkan dibutuhkan!  Tapi melanggarlah yang masalah. Tuhan terlibat dalam dosa?  Jelas tidak! I tu sebab, Dia menghukum pelanggaran yang membuahkan dosa. Tuhan justru merancang kehidupan sempurna dengan adanya hukum.  Kejatuhan manusia bukan karena kurang sempurna, tetapi justru sebaliknya, tidak menghargai kesempurnaannya.  Manusia sempurna dalam keterbatasannya sebagai ciptaan, tapi sayang, malah melanggar karena ingin tidak terbatas.  Ironis bukan?   Jadi wajarlah hukuman mati dari Tuhan kepada manusia.

Tuhan tidak menetapkan manusia jatuh ke dalam dosa.  Penjelasan Alkitab sangat jelas, Tuhan benci pada dosa, dan menghukum mati.  Jika Dia yang menetapkan, maka jelas ini melanggar hakekat Diri-Nya yang suci.  Dia melanggar ketetapan-Nya  sendiri yang menghukum dosa.  Logika ini sangat rawan bukan.

Tetapi, Tuhan memang merencanakan keselamatan, bahkan di dalam kekekalan (Efesus 1:1-14). Penting diingat, Tuhan merencanakan keselamatan, bukan kejatuhan dan, janji keselamatan itu dinyatakan ketika manusia jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3:15).  Jelas janji keselamatan bukan by accident.  Jangan lupa, Tuhan adalah Dia yang melampaui ruang dan waktu, yang maha dalam segala hal, yang tak terbatas, dan kekal.  Karena itu rencana-Nya pasti juga kekal.  Bukan sebuah reaksi spontan seperti manusia yang terbatas, yang tidak maha.  Jadi ketetapan Tuhan adalah soal keselamatan, bukan kejatuhan.

Memang ada sebuah konsekwensi logis dalam berpikir filosofis, yaitu, jika Tuhan menetapkan keselamatan sebelum dunia dijadikan, bukankah itu berarti Dia juga yang menetap kan kejatuhan? Jika tidak, tentu tidak perlu ada ketetapan penyelamatan?  Ini adalah pemikiran wajar.  Namun, mari kembali ke Alkitab.  Tidak sekalipun Alkitab mengatakan, atau bahkan mengindikasikan, bahwa Tuhan menetapkan dosa.   Tapi bahwa itu bisa muncul dalam pemikiran manusia, sah-sah saja.  Lalu bagaimana menjelaskan hal ini?

Tuhan menciptakan manusia sempurna, namun terbatas.  Maka hakekat kesempurnaan manusia yang terbatas adalah: Manusia dicipta tidak berdosa (sempurna), namun bisa jatuh ke dalam dosa (ciptaan, terbatas).  Jadi, kejatuhan adalah kemungkinan, tapi bukan ketetapan.  Dan kemungkinan terjadi, bukan karena diijinkan, melainkan karena ketidaktaatan pada ketetapan yang ada.  Dengan sangat mudah kita bisa memahami hal ini dengan gambaran manusia sebagai pencipta produk.  Semua produk manusia tidak ada yang dirangcang untuk gagal, tetapi bisa gagal.  Artinya , jika produk itu bisa gagal, tidak berarti ditetapkan gagal bukan?  Bahkan diklaim sebagai tidak bisa gagal. Mungkin Anda akan berkata, itukan ciptaan manusia, bukan Tuhan yang sempurna?  Baik, itu juga sederhana.  Tuhan juga yang menciptakan hewan, tumbuhan, alam semesta.  Apakah ada salah satunya yang jatuh kedalam dosa?  Jelas tidak!  Semua hanya terimbas dosa manusia.  Mengapa manusia bisa jatuh?  Jangan lupa, ciptaan canggih, konsekwensinya juga canggih bukan?  Manusia adalah mahluk yang mampu berpikir, bahkan berkomunikasi dengan Tuhan.  Keunggulan sekaligus kerawanan atas keunggulan, karena itu manusia yang tidak berdosa, bisa jatuh ke dalam dosa, karena manusia bukan robot.

Inilah persoalannya!  Kita menggugat Allah sebagai Sang Sempurna yang tidak boleh gagal, lalu menerjemahkan kejatuhan manusia sebagai kegagalan-Nya.  Sungguh tidak adil bukan.  Padahal yang gagal adalah manusia, dan gagal dalam kemampuan untuk bisa tidak gagal, bukan tidak bisa tidak gagal.  Jelas Tuhan tidak menetapkan, atau mengijinkan dosa, karena tidak sejalan dengan kesaksian Alkitab, dan pemahaman logis.
Kiranya ini boleh jadi perenungan dan berkat bagi kita semua.  Selamat menikmati pergumulan teologis ini.