Mutu Seorang Pemimpin
Dewasa
ini, di saat dunia, bangsa, dan gereja membutuhkan seorang pemimpin
yang mumpuni, masih saja ada orang yang diangkat sebagai pemimpin karena
cara-cara dan trik tidak terpuji, main uang dan sebagainya. Atau
karena alasan lain, misalnya karena Ayahnya sebelumnya adalah seorang
pemimpin, lalu otomatis sang anak naik menggantikan, padahal sebetulnya
dia tidak mampu mengemban tanggungjawab sebesar itu.
“Ingatlah akan
pemimpin-pemim-pin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu.
Perha-tikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.” (Ibrani
13:7)
Ayat di atas dengan segera memberikan gambaran kelas yang
sangat jelas bagi seorang pemimpin. Pemimpin tidak dihormati karena
kedudukannya, jauh dari itu pemimpin dihormati karena mutunya. Pemimpin
ada bukan lantaran faktor keturunan, kekeluargaan, ekonomi, atau faktor
lain. Atau seperti yang terjadi di beberapa tempat, seorang pemimpin
dipilih karena faktor emosional, jengah dan bosa dengan kinerja pemimpin
lama, lalu serta merta menggantinya tanpa mempertimbangkan kualitas,
bobot dan mutu. Hal seperti ini memang cukup ironis dan menggelisahkan,
bahkan menakutkan, tetapi itulah fakta yang terjadi di dalam kehidupan
kita.
Karena itu diperlukan kehati-hatian di dalam menyikapi apa yang
ada. Maka dari itu pemimpin yang bermutu menjadi mimpi, menjadi impian
banyak orang. Sebenarnya apa yang membuat seorang pemimpin itu dinilai
bermutu. Faktor-faktor apa saja yang perlu ditilik lebih lanjut
terkait mutu kepemimpinan seseorang. Seorang pemimpin bermutu adalah
pemimpin yang:
1 . Berpengetahuan
Membincangkan soal
pengetahuan, merujuk kepada apa yang dikatakan dalam Ibrani, maka dapat
diambil contoh misalnya penilaian orang tentang seberapa hebat tingkat
pengetahuan para rasul dan para penulis Injil. Tidak sedikit orang,
bahkan pengkhotbah yang kemudian memelintir teks kitab suci dengan
mengetengahkan sosok para murid dan penulis-penulis Injil tidak lebih
dari pada orang bodoh. Murid-murid Yesus hanya diwartakan sebagai
nelayan-nelayan sederhana nan bodoh. Memang betul, sebelum menjadi
seorang murid mereka adalah seorang nelayan yang kurang
berpengetahuan. Tetapi, ketika mereka mengikut Yesus, para murid
mendapat pengetahuan tentang siapa Yesus dengan sangat melimpah. Mereka
belajar tidak kurang dari 3,5 tahun, siang-malam, teori dan
praktek. Menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati,
betul-betul kom-prehensif pengetahuan yang mereka dapatkan dari Tuhan
Yesus. Sepertinya mustahil mene-mukan Sekolah Tinggi Teologi (STT) yang
pengajarannya selengkap itu, apa lagi pengajarnya adalah Sang Guru
Agung sendiri.
Namun demikian modal pengetahuan saja apakah akan
menjamin para murid menjadi taat dan setia pada ajaran dan pengajar
sekaligus “objek” ajaran itu? Jawabnya tidak. Bahkan ketika Yesus
hendak disalib para murid justru lari ketakutan. Sudah sekolah, diajar
langsung oleh guru besar, berpengetahuan, tetap saja tidak lulus,
lantas bagaimana dengan mereka yang tidak sekolah? Alkitab berkata
“takut akan Tuhan permulaan pengetahuan”. Yang membenci pengetahuan,
bukankah dapat diartikan sebagai orang yang tidak takut Tuhan? Tapi
nyatanya tidak sedikit juga mereka yang berpengetahuan justru tidak
takut Tuhan. Itulah jika pengetahuan tidak sejalan dengan
kebenaran. Pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran akan membawa orang
pada pengakuan sang Kebenaran.
2. Bermoral
Berpengetahuan
saja tentu tidak cukup untuk dapat menyebut pemimpin itu bermutu. Moral
juga perlu dipertimbangkan. Berpengetahuan baik tapi moralnya tidak
baik, tentu sama saja. Pemimpin yang bermoral baik akan mengisi
hari-hari hidupnya dengan cara yang bertanggung jawab. Pemimpin yang
bermutu memerlukan bukan saja pengetahuan, tapI juga moral yang terpuji,
moral yang baik,moral yang bisa dilihat dengan segera dan diakui oleh
banyak orang. Alih-alih pemimpin dapat disebut bermoral baik, bahkan
untuk sekadar berkata jujur, sedikit saja yang mampu. Memutarbalikkan
kata, bersilat lidah, fitnah untuk menyelamatkan diri mewarnai kehidupan
para pemimpin, baik diluar dan di dalam gereja. Oleh karena itu,
di tengah-tengah situasi seperti ini, penting dilakukan orang untuk
selalu melihat perpaduan antara pengetahuan baik dan moral yang
baik. Langka ditemukan perpaduan harmoni keduanya. Ada yang memiliki
pengetahuan baik tapi moralnya tidak. Sebaliknya, ada yang bermoral
baik, sementara pengetahuannya kurang. Pilihan-pilihan tidak sederhana
kerap mewarnai kehidupan umat dan kepemimpinan di sekitarnya.
Apakah
pemimpin itu bermental tahan banting atau tidak, atau justru
sebaliknya, mental tempe dan cengeng. Seorang pemimpin yang bermutu
hendaknya adalah orang yang punya mental yang kuat, tegas, bertindak,
tidak memble, tidak plin-plan, tidak juga orang yang hanya bertindak
berdasarkan situasi dan kondisi. Bagaimana dapat dikatakan seorang
pemimpin jika setiap aspek hidup dan pilihannya terus diwarnai oleh
situasi dan kondisinya. Jika demikian dia akan dibawa hanyut oleh
situasi. Padahal, seorang pemimpin adalah sosok atau pribadi yang patut
mengarahkan orang yang dipimpin pada arah yang pas. Karena itu
diperlukan mentalitas yang kuat dan pas untuk menggapai titik
itu. Meskipun pengetahuannya baik, tapi kalau mentalnya tidak kuat,
maka tatkala ada sedikit saja tantangan, maka dia akan lekas
berubah. Ada godaan sedikit saja dia akan lari. Banyak orang memulai
pelayanannya dengan baik, dengan rendah hati, tapi tumpukan harta justru
mengubahnya. Memanfaatkan jabatan diri untuk memfasilitasi keluarganya
demi kepentingan pribadi. Kelak semua akan berubah, bahkan idealisme
pelayanan yang dihidupi, pun semakin terkikis, perlahan tapi
pasti. Sepasti pertambahan harta, kekayaan dan fasilitas yang
dimiliki. Memang khotbahnya tidak ada yang berubah, tetap pengajaran
yang benar, pengajaran Yesus yang diwartakan. Tapi kemudian bergeser
bicara soal ini dan itu, tidak meminta secara langsung, mungkin,
tapi sharingmengatasnamakan pelayanan yang ongkosnya semakin tinggi,
mobilitasnya semakin meningkat, keluarganya yang memerlukan kendaraan
dan sebagainya. Tapi Yesus yang dibicarakan tetap sama.
Aspek
mental yang kuat ini seharusnya juga mengantarkan orang percaya bahwa
Tuhan memelihara, menjaga dia, sehingga dia tidak pernah menyerah pada
situasi apapun juga, bukan sebaliknya. Orang yang bermental kuat akan
terus maju, dia terus berjuang karena percaya Tuhan besertanya.
4. Beriman teguh
Aspek
spiritual memberi warna pada keseluruhan aspek yang sudah disebut
di atas. Baik pengetahuan, moral, dan mental, bergantung sepenuhnya
pada aspek iman yang membuat orang percaya kepada Tuhan. Pemahaman akan
kebenaran firman Tuhan yang terus memperteguh, memperkuat imannya,
sehingga imannya adalah iman yang benar kepada Injil yang murni, bukan
injil berdasar otak manusia, sesuai akal atau khotbah Pendeta. Iman
yang sungguh-sungguh berdasarkan pada kehendak Allah. Perjalanan hari
demi hari seorang pemimpin akan segera menunjukkan keberimanannya. Itu
menjadi tuntutan penting dalam kehidupan kita sebagai orang percaya di
dunia ini. Itu akan menjadi kesaksian yang tidak
terbantahkan. Pemimpin seperti inilah yang patut diingat, bagaimana
hidup mereka, tentu saja sampai kepada akhirnya. Sampai akhir harus
bisa menjadi contoh dan memang layak dicontoh.
Pemimpin yang bermutu
akan selalu menjadi kerinduan di dalam kehidupan bernegara, politik,
ekonomi, khususnya dalam kehidupan bergereja. Untuk itu gereja perlu
menjadi “kawah candra dimuka” yang melatih, meloloskan, melahirkan, dan
menciptakan tokoh-tokoh yang bermutu. Bukankah menjadi suatu kebahagian
dalam hidup ini kalau kita, umat Tuhan, para pemimpin yang ada di dalam
gereja bisa menginspirasi banyak orang, menolong dan menyadarkan banyak
orang. Sehingga mereka semakin maju dalam kehidupan, berubah dari
kegagalan, kemudian mengarahkan diri dan berpacu menggapai keberhasilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.