Hari Khusus Untuk Tuhan, Apa Perlu?
Kitab
Imamat 23:3 menulis ‘‘Enam hari lamanya boleh dilakukan
pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari
perhentian penuh, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan
sesuatu pekerjaan;itulah sabat bagi TUHAN di segala tempat
kediamanmu’’. Dilanjutkan ayat 29:“Karena setiap orang yang pada hari
itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari
antara orang-orang sebangsanya.”
Pertanyaan:, apakah hal ini masih relevan untuk dilakukan? Karena mencermati kehidupan saat ini, walaupun itu yang namanya pelayanan, kita terkadang sangat sibuk dan sulit punya waktu tenang dan bertemu secara khusus dengan Tuhan. Walau seringkali banyak slogan orang percaya semua waktu untuk Tuhan.
Bagaimana kita melihat hal ini? Haruskah kita tidak disibukkan dengan urusan lain, selain tenang, bersekutu, evaluasi dan memikirkan sesuatu untuk Tuhan? Atau melakukan retreat keluarga?
Pertanyaan ini
sangat pas untuk perenungan kita di era kini. Mari kita mulai dari
penciptaan di Kejadian 1-2. Jelas sekali Alkitab menggambarkan, usai
Allah menciptakan manusia di hari ke enam, itulah penciptaan yang
terakhir. Segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk sebuah kehidupan
sudah ada dan, dengan tegas dikatakan bahwa Allah menetapkan hari ke
tujuh sebagai hari perhentian. Artinya, manusia harus berhenti dari
kegiatan kesehariannya (kerja), dan mengkhususkan hari itu untuk
beribadah kepada Allah.
Kemudian, dalam sepuluh hukum Allah (Keluaran
20:11), jelas dikatakan supaya umat menguduskan hari Sabat (hari
perhentian). Lalu pada Keluaran 31:14 diatur ketentuan hukuman bagi
mereka yang melanggar kekudusan hari Sabat. Mereka akan dihukum mati,
karena dimasukan dalam kategori pelanggaran serius. Dan, ini dicatat
ulang pada beberapa bagian berikutnya, yang menjadi petunjuk penting,
betapa sakralnya peraturan tentang hari perhentian.
Bagaimana dengan
kita saat ini, yang mewarisi bukan saja PL, tetapi juga PB? Dalam Matius
5:17 Yesus berkata dengan tegas, bahwa Dia datang bukan meniadakan
Hukum Taurat, melainkan menggenapinya. Artinya, tidak ada yang berubah
dari perintah untuk mengkhususkan hari Sabat. Namun dalam konteks
menggenapi, maka hukuman mati karena melanggar hukum Sabat telah
ditanggung Yesus Kristus dalam kematian-Nya di atas kayu salib, sehingga
tidak ada lagi hukuman mati di dunia karena melanggar Sabat. Namun,
pelanggarannya akan dihukum Allah kelak di pengadilan akhir dan dalam
kehidupannya sekarang, orang yang melanggar perintah hari perhentian,
akan mengalami kematian rohani, dan kehidupannya akan jauh dari Tuhan.
Sama juga menuju kematian kekal.
Namun hari Sabat, harus dipahami
secara teologis, sebagai hari Perhentian (Kejadian 2:2-3), bukan sekedar
terminologi waktu, hari Sabtu, hari ke tujuh. Mengkhususkan hari,
hingga saat ini dijalani gereja sebagai Hari Kemenangan, yaitu hari
Minggu (hari Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus). Berkumpul pada hari
Minggu, hari pertama, telah merupakan tradisi gereja mula-mula, sejak
para Rasul (Kisah 20:7,1 Korintus 16:2).
Jadi, sangat jelas, kita
harus mengkhususkan satu hari, itu menjadi panggilan bagi setiap orang
percaya. Ibrani 10:25 mengatakan, janganlah kita menjauhkan diri dari
pertemuan-pertemuan ibadah kita, sebaliknya, marilah kita saling
menasehati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang
mendekat. Semangat ibadah, bukan saja hanya soal relasi kita pribadi
dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama. Karena itu sungguh tidak tepat
kita menghindari ibadah gereja dengan membuat ibadah pribadi. Sementara
soal kesibukan yang meninggi, ini adalah realita perkembangan jaman.
Namun, bukan alasan tidak mengkhususkan hari perhentian kita.
Kita
adalah tuan atas waktu yang ada. Kita yang mengaturnya, dan membuat
skala prioritas. Untuk itu, prioritaskanlah waktu bersekutu dengan Tuhan
dan umat-Nya. Membagi waktu dengan bijak adalah seni perencanaan. Semua
bisa dikerjakan dengan baik, jika ada perencanaan yang baik.
Ketidakmampuan mengelola waktulah yang menjadi kendala, seakan-akan kita
tidak lagi bisa melakukan ini dan itu. Sebagai orang yang sangat sibuk,
saya memahami realita ini. Namun, bukan karena kesibukan pelayanan,
saya boleh abai pada keluarga dan masyarakat. Semua bisa dijalani
sebagaimana mestinya. Bagi yang kantornya masuk hari Minggu, bisa
menghadap atasan agar tidak dapat gilir hari Minggu, dengan alasan
ibadah. Jika Anda pemilik usaha harus berani meliburkannya. Untuk
mempermudah ijin, jadilah pekerja yang profesional, cakap, dan bisa
dipercaya.
Lalu kita juga harus membuat jadwal saat teduh pribadi.
Bisa pagi, atau juga malam hari. Ini sangat tergantung kegiatan harian
masing-masing. Sementara soal retret keluarga, sangat baik sekali. Namun
tidak boleh dijadikan pengganti waktu ibadah minggu, atau saat teduh
pribadi.
Jadi, ibadah minggu, saat teduh pribadi, atau retret
keluarga, bukan saja masih, tapi bahkan sangat relevan dengan kekinian
masa. Sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan jasmani dan
rohani kita. Ingat, kerja saja membutuhkan libur, bahkan cuti. Di negara
maju cuti bahkan diharuskan. Untuk apa? Penyegaran! Sehingga orang
lebih bersemangat dan produktif bekerja. Lebih lagi kerohanian kita,
karena sangat erat hubungannya dengan sikap mental dan moral dalam
relasi keseharaian dan, menjadi peningkatan mutu kerja. Waktu itu sama,
namun aktivitas di dalamnya beda. Ada waktu kerja dan juga istirahat.
Begitu juga waktu ibadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.