Kamis, 29 Desember 2011


Membangun Keluarga Memajukan Gereja

DALAM sejarah perkembangan kekristenan, kita menemukan bahwa gereja perdana bermula dari sebuah perkumpulan rumah tangga. Ketika itu belum ada gedung gereja. Orang berkumpul di rumah-rumah, maka disebut pula jemaat rumah (lihat Roma 16:5). Rumah bukan hanya tempat untuk berkumpul, tapi dalam rumah itu ada keluarga yang membentuk persekutuan berdoa dan belajar. Selain tuan rumah, hadir pula orang-orang yang bekerja di rumah itu, para tetangga dan sanak keluarga lainnya. Intinya adalah keluarga itu sendiri yaitu orang tua dan anak-anak mereka. Siapa yang memimpin dan mengajar persekutuan itu? Ayah dalam keluarga itulah yang memimpin. Hal ini meneruskan kebiasaan keluarga Yahudi, di mana seorang ayah memberikan pendidikan iman kepada anak-anaknya.



Pada waktu itu belum ada kelas katekisasi seperti yang kita kenal sekarang. Keluargalah yang menjadi kelas katekisasi. Anak-anak belajar katekisasi di rumah mereka. Gurunya adalah ayah dan ibu mereka sendiri. Kehidupan keluarga sehari-hari dijadikan kelas katekisasi. Dengan demikian ayah dan ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan iman. Ayah dan ibu menjadi ''guru dan pendeta'' bagi anak-anaknya. Keluarga menjadi wadah utama pendidikan agama. Persekutuan keluarga tersebut juga menjadi wadah bagi orang-orang yang belum Kristen untuk mengenal pokok-pokok dasar ajaran Kristen. Dengan demikian keluarga menjadi sebuah gereja kecil.

Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa keluarga memiliki peran penting dalam kehidupan gereja. Kekristenan berkembang mulai dari gereja dalam keluarga. Dalam rangka mengingatkan kembali betapa pentingnya kehidupan keluarga dalam perkembangan gereja, maka diadakanlah masa penghayatan khusus yang disebut bulan keluarga.

Bagaimanakah identitas keluarga sebagai ''gereja kecil''? Sama seperti hakikat gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, demikian pulalah hakikat keluarga sebagai sebuah gereja kecil. Dalam penghayatan sebagai gereja kecil, keluarga Kristen seharusnya memiliki identitas. Pertama, melakukan kehendak Allah. Keluarga sebagai gereja kecil memiliki identitas melakukan kehendak Allah, yaitu dengan mendengarkan Firman Allah dan melakukannya. Identitas keluarga yang melakukan kehendak Allah penting untuk dihayati, teristimewa dalam menyikapi perubahan-perubahan zaman. Firman Allah menjadi dasar dalam menyikapi pelbagai tuntutan perubahan. Dalam rangka melakukan kehendak Allah, keluarga perlu membangun kedekatan relasi dengan Tuhan dan sesama.

Keluarga yang melakukan kehendak Allah juga bisa dilihat perwujudannya antara lain dalam komunikasi satu dengan yang lain serta solidaritas. Jika dalam keluarga tidak terjadi komunikasi yang baik, biasanya akan mudah muncul kesalahpahaman, saling mencurigai dan tidak mempercayai hingga terjadilah konflik yang berkepanjangan. Dengan demikian keluarga sebagai gereja kecil yang melakukan kehendak Allah perlu menerjemahkan kehendak Allah dalam komunikasi yang penuh kasih dan membangun, sehingga tercipta suasana hidup bersama yang akrab dan rukun. Dengan hidup dalam kehendak Allah, maka tiap anggota dapat saling memahami dan menghargai. Satu dengan yang lain akan dapat merendahkan hati, menempatkan kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingannya sendiri, sehingga semakin hari semakin menyerupai kehidupan Kristus (Filipi 2:1-8).

Dalam rangka melakukan kehendak Allah, maka penting pula keluarga membangun solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas itu tampak dalam segala peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan. Solidaritas terungkap antara lain dalam sikap empati dan murah hati. Hal ini bukan saja merupakan sikap kepada sesama anggota keluarga tapi juga berkembang dalam solidaritas kepada semua orang dalam rangka membangun persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati adalah wujud pelaksanaan perintah mengasihi Tuhan dan sesama (Matius 22:34-40).

Keluarga Kristen yang otentik adalah keluarga yang membuka diri dengan penuh cinta kasih dan komitmen baik kepada masyarakat maupun gereja. Dengan demikian, kehangatan kasih dan persaudaraan bukan hanya untuk anggota keluarga tapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Ini berarti keluarga tidak membangun persekutuan yang eksklusif tapi sebuah persekutuan yang inklusif. Dalam hal ini keluarga terbuka untuk siapa saja yang ingin melakukan kehendak Allah. Keterbukaan mau menerima dan menghargai siapa saja terwujud pula dalam penerimaan, penghargaan bahkan dialog dan kerja sama dengan keluarga-keluarga lain yang ada di masyarakat yang memiliki iktikad baik untuk melakukan kehendak Allah dalam membangun dunia atau masyarakat menuju masa depan yang lebih baik, penuh damai dan sejahtera.

Kedua, berkumpul dan menyebar. Dalam melakukan kehendak Allah, keluarga berada di tengah masyarakat yang sedang mengalami gejolak perubahan zaman yang pesat. Perubahan-perubahan zaman ini dapat digambarkan seperti persekutuan para murid yang berkumpul sebagai satu keluarga bersama Yesus. Dalam persekutuan itu para murid menikmati kedamaian dan kenyamanan hidup dekat dengan Sang Guru namun sewaktu-waktu juga menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan bahkan ada saatnya mereka harus meninggalkan kenyamanan persekutuan untuk menyebar dalam karya melakukan perintah Sang Guru (Matius 10:5-15). Mereka diutus untuk masuk dalam kehidupan masyarakat, memberitakan kerajaan sorga yang membawa kesembuhan, kebangkitan, pemulihan dan kedamaian. Mereka diutus untuk berkarya dalam masyarakat yang sedang menghadapi pelbagai persoalan. Mereka mengalami banyak tantangan dan kesulitan bahkan penolakan di perjalanan, namun tak menghentikan karya membawa kabar baik bagi dunia dan melayani orang lain.

Dalam gambaran kehidupan para murid ini ada dinamika kehidupan yang berkumpul dan menyebar. Hal ini memberikan inspirasi pada dinamika kehidupan keluarga yang berkumpul dan menyebar di dunia. Dalam panggilannya untuk melakukan kehendak Allah, keluarga dipanggil untuk bersekutu dengan Allah namun juga siap menyebar menjadi pelayan masyarakat, menunjukkan kasihnya pada sesama, menjadi garam dan terang dunia (Matius 22:37-39).

Ketiga, solider pada yang lemah. Keluarga tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab untuk hidup solider terhadap mereka yang lemah. Solidaritas bukan hanya bagi anggota keluarga yang lemah tapi juga semua kaum lemah di tengah masyarakat. Inilah keluarga yang menyatu dengan sesama. Kalau kita melihat kehidupan Yesus Kristus, maka kita melihat bahwa Kristus senantiasa memberikan perhatian dan pelayanannya kepada mereka yang lemah.

Penghayatan identitas keluarga sebagai gereja kecil mestinya menyatu dalam kehidupan keluarga Kristen. Dalam bulan keluarga, kita diingatkan akan hal itu. Jadi penghayatan mendasar dalam bulan keluarga sebenarnya bukanlah sekadar senang membuat atau mengikuti rangkaian acara lomba, seminar dan bazar melainkan bagaimana gereja memampukan keluarga-keluarga Kristen hidup sebagai gereja kecil atau sebaliknya bagaimana keluarga menghayati hakikatnya sebagai gereja kecil. Acara-acara yang diadakan dalam bulan keluarga mestinya memberikan semangat baru bagi kita untuk membangun keluarga menjadi persekutuan gereja yang hidup.

Jika keluarga kita terbangun dengan baik, maka gereja pun akan maju dengan pesat serta menjadi berkat bagi masyarakat. Itulah hubungan yang erat antara keluarga dan gereja. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.