Rabu, 06 Februari 2013

Aum Shinrikyo


Ramainya pembicaraan mengenai “kiamat 2012” sedikit banyak mengingatkan kembali kita pada nama “Aum Shinrikyo”. Walaupun menghilang cukup lama pemberitaannya sejak pertengahan medio 1990-an dan kalah pamor dengan aksi-aksi terorisme bernuansa 11 September, rekam jejak Aum Shinrikyo sebagai sebuah sekte dengan manifestasi tindakan teror, menjadi hal yang tak akan terlupakan.

Secara terminologis Aum Shinrikyo (オウム真理教 Ōmu Shinrikyō) berasal dari bahasa Sansekerta “Aum” yang berarti alam semesta, dan “Shinrikyo” yang bermakna agama kebenaran. Aliran keagamaan ini diakui secara resmi oleh otoritas Jepang pada tahun 1989 dan mempunyai beberapa alias, seperti Aum, Aleph, dan Kebenaran yang Tertinggi (Supreme Truth).

Aum Shinrikyo, sebuah sebuah kultus keagamaan, di awal pembentukannya tidak banyak berbeda dengan kultus-kultus keagamaan lain di Jepang yang membawa nuansa Gerakan Zaman Baru (New Age Movement). Karakteristiknya pun tak jauh berbeda: kuatnya personalitas pimpinan, kepercayaan terhadap tanda-tanda zaman yang menuju suatu akhir waktu tertentu, serta sinkretisme yang harmonis.

Pemimpin kultus, atau sebuah sekte keagamaan sering menjadi pintu yang tepat dalam mempelajari bagaimana aliran tersebut terbentuk dan berkembang. Sang pendiri, Shoko Asahara (nama alias dari Chizuo Matsumoto), dikisahkan mulai membangun aliran ini dari sebuah kamar apartemennya di Tokyo pada tahun 1984. Metode kultus ini tampak dari kegiatan yoga dan meditasi yang menjadi awal perekrutan anggota. Hanya dalam beberapa tahun, popularitas aliran ini meningkat pesat, tidak hanya di kalangan awam, tapi juga di kelompok-kelompok mahasiswa. Tahun 1995, kelompok ini mengklaim sudah memiliki 40.000 anggota di seluruh dunia dengan 9.000 diantaranya berada di Jepang. Dengan jumlah anggota sebanyak itu, perkiraan uang yang bisa dikumpulkan oleh kultus ini melalui berbagai skema pada masa puncaknya mencapai 1,5 milyar USD.

Sisi menarik yang patut dicatat dalam perkembangan kelompok ini adalah bagaimana Asahara mampu membangun sinkretisme dari Budha, Hindu, dan doktrin-doktrin kekristenan tentang akhir zaman. Sebuah nubuatan yang populer dilontarkan oleh Asahara mengenai akhir dunia yang disebabkan Perang Dunia III sehingga menciptakan apa yang disebutnya “Armageddon” nuklir. Tidak itu saja, sama seperti sang mesias yang menebus dosa dunia, Asahara yang juga pernah mengklaim dirinya sebagai “kristus”, mempunyai misi yang sama.

Nubuatan-nubuatan akhir zaman dan suara-suara kenabian yang diucapkan Asahara, yang juga otomatis menjadi kebijakan aliran, berubah menjadi bencana tatkala teror mulai dilancarkan. Tapi sebenarnya, lampu kuning terhadap potensi kekerasan dalam skala besar dari kelompok ini sudah terekam ketika beberapa percobaan pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya, terutama kepada para anggotanya yang coba keluar, terjadi dalam kelompok ini sebelum insiden terbesar: teror gas sarin di Tokyo tahun 1995.

Pada 20 Maret 1995, beberapa anggota Aum Shinrikyo memasuki lima kereta bawah tanah yang penuh penumpang dan mulai melepaskan gas sarin yang mematikan. Akibatnya 12 orang meninggal dan ribuan orang ikut terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung dari gas mematikan yang mulai digunakan pada masa NAZI. Horor yang tercipta dari kejadian tersebut sempat melumpuhkan transportasi Tokyo. Dan dalam waktu kurang dari 48 jam, otoritas berwenang mulai menyerbu semua fasilitas yang berhubungan dengan Aum Shinrikyo. Sekitar 200 orang kunci Aum Shirinkyo langsung ditahan. Sebagian besar langsung didakwa dengan ancaman hukuman tiga tahun. Sang pemimpin, Shoko Asahara sendiri, divonis hukuman mati pada tahun 2004.

Entah pesan apa yang ingin disampaikan oleh Shoko Asahara lewat aksinya ini. Rasionalitas dalam konteks peradaban modern sulit untuk menemukan persinggungan aksi ini dengan bangunan peradaban modern yang ada di Jepang. Satu-satunya hal yang bisa ditemukan adalah: ‘irasionalitas’ dari aksi ini. Bukannya kelompok ini tidak pernah melakukan aksi yang ‘rasional’. Setidaknya mereka telah menempuh mekanisme elektoral, walaupun gagal total. Mindset mereka sebagai sebuah kelompok milenial tidak mampu dikomunikasikan secara politik. Mungkin ini pula yang menjadi titik balik bagi strategi ‘non-elektoral’ mereka. Bagi mereka, semua bangunan peradaban modern serta struktur masyarakat sekarang tidak mampu memenuhi tujuan mereka, dan satu-satunya cara yang ‘rasional’ bagi mereka adalah mengaborsi struktur masyarakat yang seperti itu.

Metomorfosis dari kelompok berbasis religius menjadi kelompok teror menjadi perdebatan tersendiri. Pola ini sebenarnya tidak jarang terjadi, suatu gerakan kesalehan yang kemudian menjadi ‘berbahaya’ juga terjadi pada kelompok lain.

Tahun 1984, sebuah kelompok keagamaan di bawah pimpinan Bhagwan Shree Rajneesh (alias Osho), melancarkan bio-terorisme dengan menyebarkan bakteri salmonela di 10 rumah makan di The Dalles, Oregon. Akibatnya 750 orang menjadi sakit. Komunitas tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama Rajneeshpuram, menekankan pada mistisisme timur, pemujaan individu, dan yang paling kontroversial adalah penekanan terhadap kebebasan seksual. Meskipun masih menjadi perdebatan kenapa kelompok ini melakukan tindakan berbahaya tersebut, dugaan akan konflik horisontal dengan masyarakat atau komunitas lokal menjadi hipotesis kuat kenapa mereka melakukan tindakan berbahaya tersebut.

Bagaimana di Indonesia? Apakah kemunculan kultus-kultus dan sekte-sekte tertentu punya potensi destruktif bagi struktur sosial yang ada? Memang keberadaan kelompok-kelompok sempalan atau kultus tertentu di Indonesia tetap ada dan berkembang, walaupun sering berlindung di bawah identitas agama resmi tertentu. Ancaman dan diskriminasi menjadi karakter yang muncul tatkala sebuah sekte atau kultus mencoba berkembang secara kuantitas. Jadi, potensi untuk melakukan tindakan teror kepada masyarakat masih minor, justru sebaliknya, kelompok ini yang berpotensi besar menjadi korban.

Setidaknya, Aum Shinrikyo, menjadi sebuah catatan tersendiri mengenai benturan antara masyarakat dan struktur masyarakat yang dilaksanakan oleh suatu pemerintahan tertentu dengan semangat zaman tertentu pula. Peradaban modern disertai rasionalitas ketat, tidak serta merta menghapus nilai-nilai konservatisme atau tradisionalisme. Permasalahan terjadi tatkala semangat tradisionalisme, yang bisa dengan mudah dibungkus label-label religius, berkumpul dan berwujud sebuah komunitas anarkhis yang menolak, sekaligus ditolak, oleh bangunan peradaban yang ada. Bagi kelompok semacam ini, satu-satunya bahasa yang bisa dikomunikasikan dan dimengerti ‘status quo’ adalah teror.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.