Minggu, 20 November 2011

NRSV : ALKITAB TERBAIK ?





PERNAH mendengar buku beijudul "Doa Manasseh"? Bukan. Ini bukan buku terbitan penerbit Grafiti Press. Ini, sungguh, salah satu buku dari "ensiklopedi mini" yang kita kenal sebagai Alkitab.




Apalagi ini: Mazmur 151. Di manapun, versi Alkitab bahasa Indonesia atau daerah mana pun yang diterbitkanLAI, jumlah Mazmur tetap sama: 150. Tetapi, percaya atau tidak, ada yang disebut Mazmur 151.




Dan, tentu saja, ini bukan karangan "semau gue". Apalagi karangan palsu yang ditujukan untuk "menggoncangkan" iman Kristiani, semisal buku yang pernah beredar dalam terjemahan Indonesia dan sempat menimbulkan kegelisahan jemaat awam, yang berjudul "Injil Barnabas". Mazmur 151 ini, bisa ditemukan jika Anda membaca Alkitab Kristen Orthodoks, salah satu bentuk kekristenan tertua, bahkan jauh lebih tua ketimbang Kristen Protestan, yang sayangnya tidak dikenal di Indonesia mengingat mereka mempertahankan bahasa Yunani dalam liturgi mereka.




Nah jika Anda susah mencari Alkitab Kristen Orthodoks, "keanehan" di atas bisa ditemukan dalam Alkitab bahasa Inggris yang baru saja diterbitkan tahun lalu (1993, red): New Revised Standard Version: Catholic Edition (NRSV). NRSV sendiri, yang terbit pertama kali tahun 1990, sesuai namanya, merupakan versi yang diperbaharui dari Revised Standard Version (RSV, terbit 1952); sementara yang terakhir merupakan versi baru dari Alkitab bahasa Inggris paling terkenal, King James Version (1661). Konon, menurut laporan Crosslight tahun lalu, inilah versi Alkitab terbaik yang kita miliki saat ini.




Boleh jadi ini cuma "gombal" belaka. Jika dilihat faktanya, NRSV memang dipuji banyak kalangan berbahasa Inggris, baik para pakar Alkitab maupun orang awam. Kurang dari tiga tahun, NRSV telah terjual lebih dari 3,5 juta eksemplar, dan dianggap sebagai terjemahan Alkitab terbaik.




"Tidak ada terjemahan yang sempurna," ujar Pdt Dr. Dorothy Lee, pakar biblika dari Uniting Church Australia. "Tetapi NRSV dapat disebut terjemahan terbaik yang kita miliki saat ini." Tidak heran jika dia menggunakan versi ini dalam kelas yang diajarnya di United Faculty of Theology Melboume.




Lalu apanya yang beda dari versi ini dibanding versi lainnya? Pertama, adanya usaha menggunakan "bahasa nonsexistn dalam menerjemahkan Alkitab. "Bahasa Yunani tidak sangat sexist seperti bahasa Inggris," kata Lee. "Para penerjemah NRSV sadar bahwa bahasa Inggris telah lebih mengesampingkan wanita ketimbang bahasa Yunani. Saya kira lebih baik kita salah, namun menggunakan bahasa yang lebih inklusif."




Masalah ini sangat kontroversial di kalangan penutur bahasa Inggris. Untuk kita, publik berbahasa Indonesia, persoalan bias gender di mana wanita dikesampingkan -- dalam bahasa, memang tidak terlalu terasa. Misalnya Mazmur 1. Versi RSV berbunyi, "Blessed is the man who walks not..." Sementara NRSV: "Happy are those who do not follow..." [Edisi BIS: " Berbahagialah orang yang tidak..."]




Kedua, adanya usaha penerjemahan yang lebih bersifat oikumenis. Tim penerjemahnya sendiri, yang mulai ditugaskan tahun 1974, merupakan "gado-gado" dari sekitar 30 pakar biblika, lelaki dan perempuan, mencakup Kristen Protestan, Katolik Roma, Orthodoks Timur dan, untuk PL, melibatkan pakar dari Yahudi. Karena itu, Catholic Edition NRSV memuat "buku-buku aneh" bagi sementara kalangan, seperti tidak hanya kitab-kitab Deutero Kanonika yang ada dalam kanon Katolik Roma, tetapi juga kitab Esdras I dan II, Doa Manasseh, Mazmur 151, serta kitab Makabe III dan IV.




Ketiga, penggunaan sumber-sumber yang baru ditemukan, terutama apa yang dikenal sebagai "Naskah-naskah Laut Mati" yang ditemukan di gua Qum'ran tahun 1948. Hasilnya, bagian dari I Samuel 10 mendapat "tambahan" beberapa kata (sekitar empat ayat). Tambahan ini, konon, yang pertama kali diterbitkan dalam Alkitab berbahasa Inggris manapun!




Tidak heran jika Dr Lee menyebut NRSV sebagai "Alkitab paling up-to-date" dari semua Alkitab yang ada. "Kera tekstual yang dilakukan sangat luar biasa," ujamya memuji. Ia mengambil contoh penggalan kalimat dalam 1 Kor 13:3. Dalam RSV, juga dalam BIS, disebutkan ?dan saya menyerahkan diri untuk dibakar..? NRSV menerjemahkannya dengan "dan saya menyerahkan diri supaya dapat berbangga..." [Dalam BIS, kalimat "supaya dapat berbangga? ditambahkan di bagian "Catatan-catatan".]




Namun, yang paling kontroversial, adalah terjemahan Kej 1:2. RSV, termasuk Alkitab TB-LAI, menerjemahkan kata Ibrani ruach dengan "Roh Allah? Tetapi NRSV menerjemahkannya sebagai "angin dari Allah?. BIS mengambil alternatif lain: ?kuasa Allah? dengan catatan bahwa kata ini dapat diterjemahkan sebagai "Roh Allah", "angin dari Allah, atau bahkan "angin besar".




Bagi sebagian kalangan, terjemahan itu, sudah tentu, menimbulkan reaksi keras. Tetapi Prof. Robert Anderson, kolega Dr Lee, memberi alasan menarik tentang pilihan NRSV: "Terjemahan Roh Allah dari RSV, dengan 'R' besar, merupakan sumber dan sekaligus hasil dari pemikiran yang trinitarian." Maksudnya, yang menerapkan dogma Tritunggal Kristen pada konteks kitab Kejadian Yahudi yang sama sekali tidak mengenal konsep Tritunggal!




Cara penerjemahan begitu, tentu saja, mengandung bias tersendiri. "Satu-satunya cara untuk menghindari bias dalam penerjemahan," kata Lee, "adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin penerjemah dari berbagai tradisi yang berbeda. Dalam hal ini, NRSV harus disebut terjemahan yang paling oikumenis."




Tetapi, bagaimanapun juga, pilihan semacam itu sudah memberi bias tersendiri pula. Apalagi jika yang dihadapi adalah teks-teks sangat kuno, dengan cara pandang dan cita rasa penghayatan, serta makna kata yang sama sekali berbeda dengan zaman sekarang.




"Banyak orang mengatakan bahwa terjemahan NRSV terlalu samar, terutama untuk PL," ujar Pdt Arthur van Eck, Direktur unit terjemahan Alkitab dari National Council of Churches Amerika, pemilik hak cipta NRSV. "Tetapi seorang pakar PB dari gereja Anglikan mengatakan, bahwa hal ini mencerminkan ambiguitas makna teks Ibrani itu sendiri. Inilah, sesungguhnya, masalah utama setiap penerjemah dan proses penerjemahannya."




Untuk kita, "konsumen" hasil terjemahan, persoalannya hanyalah kemauan untuk terbuka, kritis, dan arif dalam memandang berbagai versi Alkitab yang ada. Juga, yang terpenting, kemauan untuk membaca Alkitab itu sendiri.


 









ALKITAB MARY JONES
obat tidur yang paling mujarab adalah Alkitab. Maka kalau Anda merasa sulit memejamkan mata, ambil saja Alkitab lalu baca. Dijamin, beberapa saat kemudian Anda akan pulas dan Alkitab yang tebal itu tertelungkup menutupi wajah.



Itu cuma sebuah guyonan yang sering dilontarkan pendeta untuk menyindir jemaat yang umumnya enggan membaca Alkitab. Alasannya banyak dan memang masuk akal. Tidak mengerti, hurufnya kecil-kecil, tebal dan sebagainya. Tapi yang jelas, Alkitab masih terasa sebagai benda asing, meski setiap hari tergeletak di meja atau terpajang di rak buku. Benarkah? Entahlah...



Barangkali karena dianggap asing itulah, maka Alkitab terus dicetak sebanyak mungkin agar bisa dibaca banyak orang. Bahkan sengaja diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa biar seluruh dunia bisa mendengar suara Tuhan. Dan ketika Tuhan "harus" berbahasa Indonesia, ini tak lepas dari kerja keras LAI, Lembaga Alkitab Indonesia.



Apa itu Lembaga Alkitab Indonesia?

Astaga! Rupanya lembaga yang menerbitkan Alkitab di Indonesia ini pun belum dikenal.



Tahun ini adalah ulang tahun yang ke-40 bagi LAI dan beberapa waktu lalu mengadakan Pertemuan Raya sekaligus merayakan HUT di Wisma Kinasih Cemerlang, Caringin, Bogor, tanggal 8-11 Februari 1994 bersama-sama para mitra dan sahabat LAI.



Tepatnya, tahun 1950, beberapa tokoh Kristen Indonesia mendirikan Dewan Gereja Indonesia yang sekarang ini berubah menjadi PGI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Lalu sebagian dari mereka memprakarsai berdirinya LAI. Maka pada tanggal 9 Februari 1954, berdirilah LAI yang untuk pertama kali diketuai oleh Dr. Todung Sutan Gunung Mulia, seorang tokoh Kristen Indonesia yang namanya diabadikan untuk BPK Gunung Mulia. Kemudian jabatan ketua itu berturut-turut digantikan oleh G.P. Khouw, S.H, Ph. J. Sigar S.H, Pdt. WJ Rumambi, Pdt Chr.A.Kiting dan sejak tahun 1989 dipegang Drs. Supardan M.A.



Namun jauh sebelum itu, seorang pedagang VOC, yaitu Albert Cornelist Ruyl yang atas biaya sendiri telah menerjemahkan dan menerbitkan Alkitab (Matius dan Markus) ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1612.



Konon, Pada tanggal 4 Juni 1814, sebenarnya telah berdiri satu lembaga Alkitab di Batavia (sekarang Jakarta). Lembaga ini merupakan cabang pembantu dari Lembaga Alkitab Inggris dan dinamakan Lembaga Alkitab Jawa. Dan tahun 1816, ketika pendudukan Inggris digantikan Belanda, lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Alkitab Hindia Belanda atau dikenal juga sebagai Lembaga Alkitab Batavia.



Menurut Daud Soesilo, seorang Konsultan Penerjemah United Bible Societies (UBS)untuk LAI, tidak banyak orang yang mengetahui kegiatan Lembaga Alkitab tersebut. Umumnya mereka hanya mengetahui bahwa sebelum berdirinya LAI, penyebaran Alkitab atau bagian-bagiannya di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga Alkitab tertua di dunia yaitu BFBS (British and Foreign Bible Society), Lembaga Alkitab Inggris dan NBG, Lembaga Alkitab Belanda, dengan nama Oost-Indische Bijbel Genootschap melalui sistem perwakilan (agen). Kemudian tanggal 11 November 1940, keagenan Alkitab itu dialihkan ke tangan orang Indonesia yaitu Mr. G.P. Khouw, seorang Sarjana Hukum yang juga salah seorang tokoh Kristen Indonesia.



Ternyata sebuah perjalanan yang panjang. Namun sayang, tidak banyak orang tahu perihal lembaga ini, meski pada cover dan lembar kedua setiap Alkitab selalu ada logo yang dikelilingi oleh tulisan Lembaga Alkitab Indonesia. Mungkin karena kebiasaan orang yang langsung mencari ayat ketika membuka Alkitab. Selain itu dari pihak LAI ataupun gereja sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa setiap bulan September kolekte yang dikumpulkan gereja-gereja dipersembahkan untuk LAI.



Selain Jerman, LAI Ternyata satu-satunya Lembaga Alkitab di dunia yang memiliki percetakan sendiri. Menurut Supardan, waktu itu Bung Kamo melarang barang impor. Dengan begitu Alkitab yang selama itu didatangkan dari Belanda tidak dapat masuk ke Indonesia. Karena alasan politis juga Bung Kamo memperbolehkan LAI untuk mendirikan percetakan sendiri. Maka berdirilah percetakan khusus untuk Alkitab di Ciluar, Bogor, Jawa Barat.



Selain bahasa Indonesia, LAI juga menerjemahkan dalam bahasa-bahasa daerah. Saat ini sudah 133 daerah memiliki sebagian terjemahan Alkitab. Sedangkan yang sudah memiliki terjemahan lengkap Alkitab sebanyak 17 daerah. Dan proses penerjemahan dalam bahasa daerah ini juga suatu kerumitan tersendiri.



Pengalaman David L. Baker, dosen bahasa Ibrani di STT Jakarta, untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Angkola-Mandailing, Tapanuli Selatan, memakan waktu sekitar 14 tahun. Kedua bahasa itu digunakan mengingat keduanya memang dipakai di daerah itu, meski sebenarnya bahasa Angkola yang paling dominan.



Kerumitan yang tampak, misalnya, adalah pemilihan istilah. Katanya, kata berdoa disana memiliki dua padanan, yaitu mandoa dan martangiang. Tapi bahasa sehari-hari masyarakat adalah mandoa, maka kata itu yang dipilih meski sebenarnya martangiang dianggap lebih cocok sebagai bahasa Gereja. Kemudian karena tidak ada orang yang bisa berbahasa Ibrani dan Yunani, bahasa asli Alkitab, maka diterjemahkan dari bahasa Indonesia dan Inggris, juga bahasa Batak.



Masalah lain, sebenamya penerjemahan itu selesai sekitar empat tahun. Namun karena waktu itu gereja Angkola pecah dua maka proyek terjemahan itu berlarut-larut dan baru terbit tahun 1991, ungkap Baker yang waktu itu bertindak sebagai penasehat.



Terjemahan dalam bahasa Irian, menurut Esther Oematan, anggota komisi penerjemah Alkitab dalam bahasa Irian Jaya, dari 250 bahasa di Irian Jaya, LAI baru menerjemahkan 32 bahasa. Sedang dari 133 bahasa di Maluku, baru 23 yang diselidiki dan dari 101 bahasa di Sulawesi, cuma 18 yang telah diselidiki.



Melihat kenyataan bahwa Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah, maka tugas LAI untuk mewartakan Firman Allah nampaknya masih butuh nafas panjang. Belum lagi untuk Alkitab berbahasa Indonesia yang memiliki beberapa versi, misal, Bahasa Indonesia Sehari-hari, Alkitab untuk pemuda, anak-anak dan masih banyak lagi.



Menurut Daud Soesilo, berdasarkan laporan terakhir, pada tanggal 11 Oktober 1993, LAI telah menyebarkan 400 juta unit Alkitab, Testamen, maupun bagian-bagiannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia. Dengan kata lain, setiap tahun LAI rata-rata telah menyebarkan 10 juta unit.



Tulisan almarhum T.B. Simatupang pada Berita LAI edisi khusus memperingati 360 tahun penerbitan pertama bagian Alkitab dalam bahasa Melayu, tahun 1989, menyatakan bahwa tugas LAI adalah menyediakan Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami serta dengan harga jual yang dapat dijangkau masyarakat.



Posisi LAI dalam segi bisnis sebenarnya sangat menguntungkan, tapi kenyataannya sangat beda. Seperti dikeluhkan Supardan selaku Seketaris Umum LAI, "Alkitab sebagai sebuah buku walaupun mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam gereja dan sangat monopolis, nyatanya tidak punya daya saing yang kuat di pasaran".



Ini sesuatu yang aneh. Padahal, agar Alkitab dapat dijangkau maka LAI selalu menjual Alkitab di bawah harga cetak. Saat ini harga Alkitab rata-rata Rp 8.500, jauh di bawah ongkos cetak yang Rp 12.500,-. Dan kata MP Sembiring, Sekretaris Departemen Distribusi, salah satu alasan mengapa Alkitab dapat dijual di bawah harga, karena kertas didapat secara gratis dari UBS dan pemerintah tidak mengenakan bea masuk.



Ketika masalah ini terlontar dalam Pertemuan Raya itu, peserta banyak memberi masukan, seperti, minat membaca masih kurang, nafsu membaca besar tetapi nafsu membayar tidak, huruf-hurufnya terlalu kecil sehingga sulit untuk dibaca. Ada juga ide yang mengusulkan agar LAI membagi-bagikan Alkitab secara cuma-cuma. Usul ini ditanggapi Supardan. secara guyon, "Itu ide yang baik untuk cepat menghabiskan stok Alkitab, tapi dengan begitu juga membantu proses penutupan LAI dengan cepat alias bangkrut."



Dari segi usaha memang nampak tidak menguntungkan, namum ditinjau dari sisi ideal, LAI telah mampu melayani seluruh masyarakat dari berbagai golongan yang membutuhkan Alkitab.



Wajah oikumenis inilah yang terlihat pada saat acara Pertemuan Raya di Gereja Kristus Jemaat Mangga Besar-Green Ville, Jakarta Barat dan di Wisma Kinasih Cemerlang. Wakil-wakil dari berbagai gereja pada berdatangan, seperti Pdt. KAM Jusuf Roni, dari Gereja Kristus Rahmani, kemudian Mgr V Kartosiswoyo, yang mewakili gereja Katolik juga utusan dari Gereja Bala Keselamatan. Mereka semua memakai Alkitab yang sama-sama di produksi oleh LAI.



Suasana oikumenis juga terlihat dari adanya kerja sama LAI dengan Lembaga Biblika Indonesia (LBI), Lembaga Alkitab milik Katolik. Terlepas dari kerja sama bisnis, kenyataan ini dapat dikatakan bahwa ada keindahan tersendiri membaca, menelaah dan merenungkan Firman Allah serta karya-karya Agungnya dari Alkitab yang sama, terjemahan yang sama pula, terlepas dari perbedaan denominasi.



Usaha LAI untuk menyebarluaskan Alkitab ada berbagai cara. Unuk ?mendongkrak? penjualan Alkitab, LAI mengadakan kerja sama dengan empat penyalur utama yang terdiri dari toko buku BPK Gunung Mulia, Immanuel, Kalam Hidup dan Gapura Jasa. Persaingan dagang di antara keempat penyalur itu sudah diatur LAI, tetapi apabila ternyata ada persaingan nakal, itu sudah di luar pemantauan LAI. Diakui oleh Supardan bahwa dengan sistem ini pemasukkan dari penjualan Alkitab meningkat sehingga dapat mengurangi beban LAI yang harus membagi-bagikan Alkitab ke gereja-gereja "tidak mampu".



Tetapi, Alkitab yang dibagi-bagikan ke daerah-daerah sebenarnya tidak diberikan cuma-cuma karena sebelumnya sudah 'dibeli' oleh para penyandang dana. Oleh sebab itu Hilda Pelawi, Direktur Penyebaran Alkitab, jika 'jalan-jalan' ke daerah-daerah untuk membagi-bagi Alkitab, selalu didampingi beberapa orang. Mereka ini adalah sebagian dari para donatur yang memberi dana untuk proyek itu. Maksud LAI mengajak mereka ialah untuk membuktikan bahwa memang benar dana itu digunakan untuk proyek tersebut. Kedatangan LAI ke daerah-daerah juga atas sponsor orang-orang yang terbeban terhadap proyek tersebut. Langkah-langkah ini sesuai dengan misi LAI dalam menyebarkan Alkitab, satu sisi memang untuk dijual namun di sisi lain adalah sebagai kesaksian.



Tahun 1994 ini LAI memprogramkan 14 proyek penyebaran Alkitab dan bagian-bagiannya untuk berbagai kebutuhan pelayanan seperti untuk pemuda, anak-anak, petani, kelompok pembaca baru (yang buta aksara), orang sakit, dll. Salah satu contoh, pada bulan Juli nanti, bertepatan dengan Hari Anak Nasional akan diluncurkan Alkitab Anak-anak. Tujuan dari penerbitan ini adalah agar anak-anak dapat memahami Firman Tuhan dengan lebih baik karena bacaannya telah disesuaikan dengan bahasa anak-anak.



Dari usaha-usaha yang telah dilakukan LAI, jelas terlihat usaha yang sungguh-sungguh untuk menyebarluaskan Alkitab, sehingga berita kesukaan ini boleh menjadi milik setiap orang. Karena sesungguhnya setiap orang, setiap rumah tangga Kristen membutuhkan Alkitab sebagai pedoman hidupnya.



Seperti disampaikan Dr. P.D Latuihamallo, "LAI adalah lembaga non-profit, merupakan prinsip semua lembaga Alkitab di dunia, maka segala operasinya bergantung dari usaha 'Eigenlastung?. Tetapi pada hakekatnya pendanaan harus berasal dari gereja-gereja. Karena apabila gereja mengasihi Allah dengan segenap hati jiwa dan akal budinya, maka ia harus mendukung pekerjaan ini. Dan setiap orang Kristen yang mengasihi Yesus Juru selamat akan mendukung pekerjaan LAI untuk menyediakan Alkitab bagi semua orang tanpa menarik keuntungan".



Hal lain yang juga harus dipikirkan adalah bagaimana agar LAI beserta program-programnya dikenal oleh gereja maupun jemaat. Dan menurut Supardan, Sudah dua tahun ini kami punya Litbang untuk menopang dan meningkatkan mutu pelayanan LAI agar efektif dan efisien."



Permasalahan yang cukup rumit pula yang dialami LAI adalah bagaimana dapat membiayai kayawannya yang lebih dari 200 orang itu yang terbagi di tiga tempat yaitu kantor pusat di Salemba, kantor terjemahan dan percetakan di Bogor.



Kenyataan yang jelas, saat ini sangat sulit memasarkan Alkitab, kata Supardan. Maka, katanya, pertanyaan apakah Anda menganggap Alkitab sebagai suatu kebutuhan bagi orang Kristen? Apakah Anda menganggap Alkitab mempunyai kedudukan sangat sentral dalam gereja? Jika kedua pertanyaan itu Anda jawab ya, pasti Alkitab akan banyak dicari untuk dimiliki.



Menyusuri keberadaan lembaga yang mengadakan Alkitab ternyata memang cukup memprihatinkan. Di satu sisi dibutuhkan, tapi di sisi lain sulit sekali mengajak semua orang Kristen untuk turut memiliki. Bukan saja memiliki Alkitab secara pribadi, namun juga turut memiliki lembaga yang telah melahirkan Firman Allah itu dalam bentuk buku.



Dan mengenang kembali lahirnya lembaga Alkitab, tentu kita tak melupakan kisah gadis kecil, Mary Jones, yang tinggal di desa Pennat, Wales, Inggris. Mary yang sangat hafal dan senang cerita-cerita Alkitab yang sering diceritakan ayahnya itu ingin sekali memiliki.



"Andaikata aku dapat membaca dan membeli Alkitab sendiri, tentu aku dapat membacanya setiap hari," begitu pikir Mary.



Keinginannya itu mendorongnya untuk menabung selama tujuh tahun. Ia bekerja sebagai penjaga anak tetangga, menambal pakaian, mengambil kayu ke hutan dan beternak ayam. Dengan tabungannya itu ia berjalan 48 kilometer ke rumah Pendeta David dan Pendeta Thomas Charles untuk membeli Alkitab.



Pendeta Charles tepekur, diam tak menjawab, ketika Mary mengutarakan keinginannya. "Sayang sekali, nak, aku tak bisa memenuhi permintaanmu, karena ia cuma punya satu Alkitab."



Mary terperanjat bak disambar petir dan air matanya meleleh. Dan Pendeta Charles akhirnya mengatakan, "Nak, kaulah yang layak memperoleh Alkitab itu."



Kisah inilah yang mendorong berdirinya lembaga Alkitab pertama di dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.