Senin, 06 Februari 2012

Politik Dua Muka SBY Di Papua!


Rizal Ramli.jpg

Dr.  Rizal Ramli, Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Menteri Ekonomi era Gus Dur, Dr Rizal Ramli ingin ada perubahan di negeri ini. Di dadanya terpatri jiwa nasionalisme. Kecintaanya terhadap bangsa ini ditunjukkannya dengan terus berjuang untuk keadilan. Lahir di Padang, Sumatera Barat, 10 Desember 1953. Pernah dipenjara saat kuliah di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung, karena melawan Soeharto. Dia bersama beberapa rekannya mendirikan ECONIT Advisory Group. Di lembaga think-tank ekonomi independen inilah ia mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang ini. Satu diantaranya ia kritisi soal kontrak PT Freeport Indonesia, dan kesenjangan ekonomi di Papua. Menikah dengan Siaw Fung (Afung). “Saya sangat mencintai istriku, dan tidak merasa malu menikah dengan seorang China,” katanya di depan jasad istrinya yang terbujur kaku. Istrinya meninggal karena kanker. Walau tidak lama hidup dengan Afung, namun ia selalu ingat pesan istrinya, cinta Papua. Beberapa waktu lalu REFORMATA berkesempatan bertatap muka di kantornya Rumah Perubahan 2.0 di Duta Merlin, Jakarta Barat. Demikian Petikannya:

Berita Papua yang bergejolak sekarang ini membuat banyak mata tertuju ke sana. Anda sepertinya orang yang amat peduli dengan Papua?
Saya mengenal Papua karena saya pernah meneliti di Papua. Satu waktu ada seorang lulusan doktor dari Amerika ketika itu minta izin dari saya untuk mengunakan bahan-bahan penelitian tersebut agar digunakan mendukung tulisannya, katanya untuk memperjuangkan keadilan. Nama orang itu adalah Amien Rais, dan ia jadi terkenal gara-gara itu. Walau pun untuk orang Papua sendiri belum terlihat sendiri manfaatnya, itu yang pertama. Kedua, ketika almarhum istri saya, Afung. Ia sangat cinta sekali Papua. Ia sebenarnya sudah berencana tinggal di Papua, dan sudah beli tanah di sana. Tetapi ketemu saya, saya jatuh cinta, akhirnya kita menikah. Dia banyak kawan-kawan di Papua. Waktu Barnabas Saebu ingin mencalonkan gubernur di Papua Barat. Ia (Afung) ikut naik turun gunung untuk membantu memenangkan Barnabas. Tetapi sayang, Barnabas mirip seperti SBY, tidak sesuai ucapan dengan tindakan. Ngomongnya indah. Mulutnya manis, tetapi yang dikerjakan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan orang Papua.

Berita terakhir adalah penembakan yang terjadi setelah Kongres Rakyat Papua ke-III...
Saya belum lupa kata-kata Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Dorkus Yokoisembut usai membuka Kongres Rakyat Papua (KRP) ketiga beberapa waktu lalu. “Sekali lagi kami memohon aparat jangan serta-merta mengambil tindakan, kami orang Papua sudah punah, jangan lagi membunuh kami, cukup sudah.” Kata-kata itu mengetarkan hati saya. Karena itu saya bersikap, jika rakyat Papua merasa dianaktirikan oleh pusat kekuasaan dan elite penguasa, saya ihklas, bersedia menjadi wali bagi semua warga Papua sebagai warga Republik Indonesia yang sah, bermartabat. Warga Papua sudah memberikan apa yang mereka punya, namun pemerintah pusat membalas budi-baik warga Papua tidak sepadan.
Dan perlu diingat, bahwa masa Gus Dur, Kongres Rakyat Papua ke-II juga ada peran Gus Dur di sana. Gus Dur bukan saja mendukung tetapi juga membantu dana. Kongres yang ketiga kemarin sudah tutup, lalu terjadi penembakan. Saya pernah merasakan dipenjara di Suka Miskin ketika melawan Soeharto, tidak sekejam sekarang. Tidak ada penembakan. Ini betul-betul biadab. Saya tidak bisa menerima ini. Apapun tidakan kekerasan, itu fasisme.

Melihat kondisi sekarang di Papua sepertinya tidak ada kenyamanan, tidak ada kebebasan....
Saya memahami semua kepahitan yang dialami saudara yang berasal dari Papua. Sebenarnya bukan hanya teman-teman Papua yang mengalami perlakukan itu. Kalau orang mengatakan bapak Rizal enak ya di Jakarta, ternyata tidak juga. Saya sendiri mengalami ketidaknyamanan, tiap hari kantor saya diawasi dan dijaga polisi. Kalau ada kegiatan di kantor bisa sampai 15 orang. Sebenarnya bukan hanya di Papua yang terjadi gejolak itu, hal ini juga dialami saudari kita yang lain. Bayangkan, saudara kita, Munir dibunuh. Saya masih ingat ketika ketemu Munir ketika ia baru ke Jakarta bertemu saya. Munir dibunuh, dipatahkan lehernya. Dan sepertinya tidak ada niat pemerintah untuk mengungkap kasus ini.

Kalau demikian apa yang harus dilakukan?
Jadi yang harus kita lakukan adalah perubahan, tindakan nasional. Kalau perubahan di tingkat nasional sudah terjadi maka, perubahan di Papua akan terjadi. Sekarang ini pemerintahan menerapkan politik dua-muka SBY-Boediono. Kalau kita dengar kata-katanya manis, mensejahterakan Papua, memperjuangkan nasib Papua dengan kesetaraan. Tanpa kekerasan, kenyataannya malah sebaliknya.

Mengapa Anda sebutkan pemerintahan SBY berpolitik dua muka?
Rezim SBY-Boediono memang menjalanakan politik dua muka di Papua. Di satu sisi, dalam berbagai pidato dan penyataan, SBY menyatakan pendekatan damai, perlakukan setara, dan tanpa kekerasan terhadap warga Papua. Tapi di sisi lain, dalam kenyataan-nya, terus berlangsung, bahkan semakin meningkat kekerasan di bumi Papua. Politik dua muka rezim SBY-Boediono tersebut harus kita hentikan sekarang juga. Karena kebijakan itu justru akan memicu peningkatan ketidakpuasan, keinginan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia ini. Saya ingin menegaskan, bahwa masalah Papua bukanlah sekedar masalah lokal, tetapi merupakan refleksi dari kelemahan dan politik dua muka rezim SBY-Boediono. Beberapa negara asing mulai aktif bermain di Papua karena melihat kelemahan kepemimpinan nasional. Suatu hal yang mereka tidak akan berani lakukan di masa Presiden Soekarno dan Soeharto. Kelemahan kepemimpinan adalah sumber disintegrasi bangsa, seperti halnya Presiden Gorbachev di Uni Soviet.

Sepertinya warga Papua semakin mengkristal keinginan untuk merdeka?
 Saya kira-kalau cara-cara kekerasan tidak dihentikan, kekerasan masih terus terjadi di Papua, memang sepertinya Papua harus merdeka. Untuk itu, kita serukan agar siapa yang melakukan penembakan terhadap 60 orang di Papua agar diadili dengan ganjalan yang setimpal.

Warga Papua bukanlah anak tiri republik ini, tetapi nyatanya ada penangkapan, disiksa....
Saya sadar sepenuhnya, bangsa kita disibukkan bicara NKRI harga mati. Padahal, pembunuhan penganiayaan, penyiksaan, penghilangan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang bagi orang asli Papua oleh aparat masih terus terjadi. Ada semena-mena, tindakan kekerasan yang tidak manusiawi, justru meningkatkan kebencian dan dendam warga Papua kepada NKRI. Padahal, seluruh warga Papua adalah anak kandung revolusi kemerdekaan 1945, dan anak kandung perubahan. Ratusan pejuang Papua telah ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Lalu, dorongan perubahan seperti apa yang diharapkan?
Perubahan nasional sekarang juga. Jika perubahan terjadi, kita akan lakukan perubahan kebijakan dan cara penyelesaian masalah Papua. Tidak akan ada lagi politik dua muka. Dan tidak ada lagi cara-cara kekerasan yang tidak manusiawi.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah dalam hal ini?
Harus ada dialog. Ruang dialog dan demokrasi harus dibuka seluas-luasnya, sehingga akar masalahnya dapat diketahui, dipetakan, dan dicarikan solusinya. Karena itu, dalam mengatasi kompleksitas masalah Papua, harusnya mengedepankan pendekatan kemanusiaan, persauda-raan, dan kebangsaan. Tidak bisa pemerintah pusat bertindak sepihak terhadap semua keputusan yang kaitannya dengan Papua. Harus melibatkan orang Papua sendiri. Dialog yang saya maksud adalah dialog yang pernah dilakukan Gus Dur.
Harus ada transparansi dan akuntabilitas dan keamanan kepada TNI-Polri, jangan sampai mengarah pada politik adu domba, di mana aparat keamanan harus berhadapan dengan rakyat Papua, terutama rakyat dan buruh di sekitar perusahaan tambang. TNI-Polri dan warga Papua adalah saudara sebangsa yang senasib sepenanggungan, bukan malah dibenturkan. Sekali lagi, kita wajib membela hak-hak warga negara Papua sesuai konsitusi dan mengedepankan perdamaian, keadilan dan kesetaraan. 
Hotman J. Lumban Gaol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.