Kamis, 12 Januari 2012

Laporan dari Padang: Siswi-siswi Kristen Pun Terpaksa Pakai Jilbab
Saya baru menyelesaikan tugas liputan Jurnal Perempuan di Padang, Sumatera Barat selama seminggu, 31 Maret—4 April 2007. 


Fokus liputan saya adalah, “Dampak Peraturan Busana Muslim (Jilbab) terhadap Guru dan Siswi Non Muslim di Sekolah-sekolah Negeri Umum”.


Liputan ini untuk satu edisi Jurnal Perempuan yang mengulas kebijakan-kebijakan publik yang diskriminatif.


Namun karena saya menganggap temuan-temuan saya di lapangan ini sangat mendesak untuk direspon maka saya perlu membuka temuan-temuan ini.


Peraturan busana muslim di Kota Padang berdasarkan Instruksi Walikota Padang, Fauzi Bahar, nomor


451.422/Binsos-iii/2005 yang ditetapkan tanggal 7 Maret 2005. Berarti pada bulan Maret 2008 ini aturan tersebut telah berusia tiga tahun.


Instruksi Walikota itu berisi 12 poin. Aturan busana muslim termaktub dalam poin kesepuluh, “BAGI Murid/Siswa SD/MI,SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA se Kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam dan bagi non Muslim dianjutkan menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi Perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki)".


Dari Instruksi tersebut, Kepada Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Padang, Dr. H. Mardjohan, M.Pd menyebarkan Instruksi tersebut melalui “Surat Pengantar Instruksi Walikota Padang” bernomor 1565/420.DP/TU.2/2005 tanggal 30 Maret 2005 yang ditujukan kepada Kepada SMP, SMA, SMK Negeri/Swasta dan Kacabdin Pendidikan berserta SD yang berada dalam jajarannya.


Pada saat Instruksi tersebut keluar, konstroversi pun meledak: pro atau kontra terhadap aturan tersebut.
Kala itu Walikota Padang bisa membela diri dengan mengatakan bahwa aturan tersebut berdasarkan otonomi daerah, adat-istiadat masyarakat Minang “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” dan aturan tersebut tidak termasuk siswi-siswi non muslim yang tidak diwajibkan untuk mengenakan jilbab di sekolah.

Namun bagaimana kenyataan Instrusi itu di lapangan setelah tiga tahun? Benarkah siswi non muslim diberi kebebasan untuk tidak mengenakan jilbab?

Temuan saya selama seminggu di

Padang, di sekolah-sekolah umum negeri dan swasta: SMP, SMU, SMK, SMP-SMU PGRI, SMP-SMU Pertiwi: siswi-siswi yang non muslim terpaksa mengenakan jilbab, dan saya melakukan wawancara dengan beberapa siswi Kristen dan orang tua murid mereka. Demikian juga saya sempat melakukan wawancara dengan Pendeta/Pastor di Gereja-gereja yang merupakan tempat pengaduan segala keluh-kesah dan penderitaan jemaat Kristen di sana.


Saya mewawancarai dua orang pendeta Kristen Protestan, seorang Pastor Katolik, berkunjung ke Paroki Padang Baru, liputan ke dua sekolah umum negeri (SMU), satu sekolah menengah kejuruan (SMK), wawancara dengan dua siswi Kristen yang tahun ini duduk di kelas tiga SMU, mereka tepaksa mengenakan jilbab sejak kelas satu.

Wawancara juga dilakukan dengan dua orang tua murid beragama Kristen Protestan dan Katolik. Saya juga mewawancarai seorang

anggota DPRD Kota Padang Komisi Pendidikan, seorang anggota Komnas HAM Perwakilan Sumantra Barat (Sudarto), dan seorang aktivis Perempuan (Lusi Herlina).

Beberapa temuan:

(1) Melalui pengamatan saya secara

langsung terhadap beberapa sekolah negeri umum pemerintah dan swasta, dari SMP, SMU, dan SMK seluruh siswi-siswinya memakai jilbab. Jilbab bagi siswi disamakan dengan aturan baju seragam yang menjadi kewajiban siswi untuk masuk sekolah, seperti baju putih lengan panjang, rok panjang warna abu-abu, sepatu hitam, kaos kaki, dan topi sekolah (lihat foto di www.jurnalperempuan.com)

(2) Pandangan umum sekolah-sekolah negeri telah berubah menjadi sekolah agama

(“madrasah”) melalui busana muslimah yang dikenakan oleh siswi—sedangkan siswa berkewajiban memakai baju “taqwa” (koko) pada hari Jumat—sekolah-sekolah umum negeri juga dipenuhi dengan papan, baleho, dan simbol-simbol keislaman lainnya. Pada hari Jumat ada kuliah tujuh menit (Kultum) ceramah agama.


(3) Secara umum kondisi umat non-muslim Kristen di Padang merasa tertekan dengan adanya Perda-perda dan aturan yang berdasarkan syariat Islam. Kondisi tersebut merupakan “teror psikis” yang disampaikan oleh anggota jemaat Gereja Kristen Protestan atau pun Katolik (terlampir wawancara).


(4) Instruksi tersebut selama tiga tahun telah menyebabkan siswi-siwi non muslim terpaksa memakai jilbab, hal ini terjadi seorang siswi kelas 3 di sekolah negeri umum yang telah memakai jilbab sejak kelas 1. (terlampir wawancara). Demikian juga dengan adiknya siswi di sekolah menengah negeri yang juga terpaksa memakai jilbab. Menurut pengakuan seorang guru di sekolah menengah kejuruan negeri, di sekolahnya ada 25 siswi Kristen yang memakai jilbab. Demikian juga pengakuan seorang wali murid yang dua putrinya bersekolah di SMU PGRI yang terpaksa memakai jilbab.



(5) Pengakuan tersebut bisa disimpulan sebagai kecenderungan umum di Padang, karena diperkuat juga oleh kesaksian Pendeta dan Pastor yang menerima secara langsung keluhan anggota-anggota jemaatnya karena anak-anak mereka harus memakai jilbab ke sekolah (terlampir wawancara dengan Pendeta dan Pastor)


(6) Alasan siswi dan orang tua murid yang tetap menyekolahkan putri-putri mereka di sekolah umum negeri: (a) sekolah umum negeri lebih murah (2) lulusan sekolah umum negeri lebih mudah diterima di Perguruan Tinggi terkenal di Jawa (3) ingin mengikuti lomba, olimpiade, dan lain yang lebih diprioritaskan pada sekolah umum negeri (4) ingin mengenal kemajemukan suku dan agama


(7) Orang tua yang ingin menghindar dari arutan tersebut memindahkan secara langsung atau menyekolahkan anak-anaknya di luar daerah Sumantera Barat: Bengkulu, Riau, Medan, dan lain-lain. Sejak ditetapkan aturan tersebut, puluhan siswi Kristen pindah sekolah ke luar daerah Sumantera Barat (baca wawancara dengan Pdt. Robert Marthin)


(8) Aturan tersebut tidak hanya memaksa siswi non muslim untuk memakai jilbab, namun juga siswi-siswi muslim yang terpaksa memakai jilbab sebagai peraturan sekolah. Dari survei yang dilakukan oleh Sumatera Barar Intellectual Society (SIS) yang dipublikasikan di Padang Ekspres, Minggu 30 Maret 2008, 69 persen siswi-siswi sekolah dari SMP hingga SMU dalam sehari-harinya di luar sekolah tidak memakai jilbab, dan hanya 31 persen siswi yang sehari-harinya memakai jilbab.


Beberapa rekomendasi:

(1) Mencabut instruksi Walikota itu yang jelas-jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap siswi perempuan secara umum, siswi muslim, dan non-muslim yang terpaksa memakai jilbab secar khusus. Dalam konteks Islam, hukum jilbab masih memiliki perbedaan pemahaman, ada yang mewajibkan dan ada pula yang tidak mewajibkan (seperti alm. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, KH Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Quraish Shihab). Hukum jilbab tidaklah seperti kewajiban dasar-dasar Islam seperti syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Jilbab bukanlah persoalan pokok (ushul). Oleh karena itu aturan yang mewajibkan jilbab maka telah menafikan keragaman tafsir dalam Islam dan sebagai bentuk pemaksaan satu pendapat atau satu pemahaman terhadap pemahaman dan pendapat yang lain. Lebih-lebih dalam konteks ini siswi-siswi non-muslim pun harus mematuhi aturan ini.
Dan bagi siswi-siswi non-muslim aturan jilbab ini merupakan memaksakan satu simbol agama kepada penganut agama yang lain dengan menggunakan dalih aturan-aturan sekolah.


(2) Mengembalikan fungsi sekolah umum negeri kepada fungsi awalnya, sebagai sekolah pemerintah yang disubsidi oleh negara dan disediakan untuk anak negeri Indonesia terlepas agama, suku, dan bahasanya. Di sekolah umum negeri, tunas-tunas muda bisa belajar kebhinnekaan suku, agama dan adat-istiadat. Oleh karena itu tidak diperbolehkan satu agama, satu suku, dan satu adat menguasai sekolah umum negeri. Karena sekolah tersebut disediakan dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia tanpa memandang agama, suku, dan bahasanya.

Beberapa catatan:

Ada beberapa masukan dan permintaan dari narasumber yang saya wawancarai, meskipun mereka sangat ingin aturan tersebut dicabut, namun demi keselamatan, keamanan dan kenyamanan, identitas mereka minta dirahasiakan. Beberapa siswi yang saya wawancarai saat ini duduk di kelas 3 SLTA yang akan menghadapi ujian akhir untuk menentukan kelulusan. Laporan ini dikhawatirkan berdampak negatif terhadap mereka khususnya siswi-siswi tersebut. Oleh karena apabila ada keinginan melakukan pengujian terhadap laporan ini bisa langsung ke sekolah-sekolah umum negeri/swasta, sekolah menengah kejuruan, yang siswi-siswinya diharuskan memakai
jilbab ke sekolah.

Laporan lengkap liputan ini, berikut foto (siswi Kristen yang tepaksa memakai jilbab, suasana dan kondisi sekolah yang jadi “madrasah” ), transkrip wawancara, telah saya kirimkan kepada anggota-anggota DPR RI yang telah berjanji akan membahas masalah ini, seperti Eva K Sundari, Nursyahbani, Maria Ulfah Anshor, dan dua Wakil Komisi X yang di mengurus juga bidang pendidikan: Heri Akhmadi dan Anisah Mahfudz.

Mohamad Guntur Romli

Apabila ada keinginan mengutip, mempergunakan, atau mendapatkan bahan-bahan ini lebih lengkap, silakan kontak: guntur@jurnalperempuan.com, 0815-1319-1313

lampiran

==================

Wawancara dengan seorang Siswi yang beragama Kristen di SMU di Padang

Kapan mulai pakai jilbab, bagaimana respon kamu saat itu?

Saya masuk SMA di tahun pertama kali peraturan ini diberlakukan (tahun 2005). Terkejut lah. Kok kayak begitu sih, kan dulu nggak ada! Enak kali yang sudah tamat-tamat itu, bisa bebas gitu, eh malah kita yang kena. Awalnya kan nggak mau, terus masuk hari pertama juga nggak pake.

Terus kakak senior bilang, “eh kok kamu enggak pakai jilbab?” , Saya jawab, “saya non-muslim kak”, “non-muslim, muslim harus pakai!” Ya itu senior kok galak, kirain cuma bercanda aja. Akhirnya waktu itu rapat, dan setelah itu Kepala Sekolah ngasih

pengumuman yang non-muslim juga harus pake jilbab. Diwajibkan menyesuaikan untuk memakai jilbab, itu peraturan dari sekolah. Ya udah lah terpaksa pake.

Pernah enggak kamu ke sekolah enggak pake jilbab? Terus gimana respon pengurus sekolah pada waktu itu?  Enggak pernah. Kalau ke sekolah, kalau belajar enggak pernah enggak pake jilbab, pasti pake, kecuali yang masuk pertama. Cuma kalau ke sekolah ada “ekskul”, kayak misalnya “ekskul” pelajaran biologi, atau apa, baru enggak pake jilbab.

Kamu melihat jilbab itu sebagai apa waktu itu?

Karena saya non-muslim, saya enggak tahu dan enggak peduli apa artinya jilbab. Pokoknya ini peraturan, ya udah lah pake aja. Apa artinya saya enggak perduli.  Waktu itu kan kamu kan punya pilihan untuk bisa masuk ke sekolah yang Katolik, yang tidak memberlakukan peraturan itu. Tetapi kena kamu ingin masuk SMU?


Pertama kalau di SMA Negeri untuk nyambung ke universitas kan lebih gampang. Yang kedua, dari kecil saya sekolahnya di Katolik. Kata mama kalau sekolah di Katolik terus kapan bisa beradaptasi dengan orang yang beda. Yang ketiga ketika SMP Katolik ada acara olimpiade-olimpiade, saya enggak pernah ikut, karena SMP saya sekolah swasta. Jadi kesannya waktu itu olimpiade cuma buat sekolah negeri saja. Jadi ya udah lah masuk negeri aja, supaya tahu gimana rasanya sekolah di negeri. Ternyata emang iya, sekolah di negeri bisa ikut olimpiade, bisa ikut banyak lah, lebih enak aja di negeri.


ernah enggak ada diskusi dengan teman-teman kamu sendiri yang Kristen misalnya obrolan dan curhat tentang keharusan pake jilbab, ada perasaan risih dan sebagainya?

Ada. Khususnya tema-teman satu gereja. Kita tuh

cerita-cerita kalau kesel banget pake jilbab ini. Masa kita harus pake jilbab, kita kan non-muslim. Ya pengennya tuh kita apain itu Pemda, ya kayak gitu-gitu lah! Ya kesel-kesel gitu, ya cuma di hati aja. Apa yang bisa kita lakuin sebagai siswa, gitu kan?

…………………..

==================

Transkrip wawancara dengan seorang guru sekolah di SLTA yang beragama Kristen sekaligus wali murid yang putrinya terpaksa pakai jilbab.


Bagaimana renspon ibu sebagai guru di sekolah negeri umum, sebagai wali murid, dan umat Kristen terhadap peraturan yang ada di sekolah mengenai pemakaian jilbab?  Sebenarnya peraturan ini kabur karena seolah-olah Perda ini menghilangkan komunitas agama Kristen dan komunitas lain di dalam aturannya. Seharusnya dalam sekolah negeri, semua agama dapat masuk. Memang, yang non-Muslim juga ada di sekolah negeri, tetapi peraturan pemerintah yang mewajibkan memakai pakaian Muslim, jilbab, dan sebagainya memang harus diikuti tetapi tidak ada peraturan yang jelas dalam hal ini. Saya sebagai wali murid sebenarnya tidak keberatan, hanya saja jika dianalogikan seorang siswa Muslim mengenakan tanda Salib yang tidak ia mengerti, maka sudah kabur artinya. Sama halnya dengan yang memakai jilbab, jika siswa non-Muslim disuruh memakai jilbab maka sudah kabur artinya karena yang tahu mengenai jilbab ini adalah orang Islam, sedangkan orang non-Muslim tidak tahu apa artinya. Kecuali jika peraturan wajib menggunakan baju lengan panjang dan rok panjang, saya rasa ada manfaatnya contohnya, kulitnya tidak terkena sinar matahari. Akan tetapi, bagi saya yang non-Muslim, memakai jilbab ini justru banyak ruginya, contohnya, rugi waktu.


Anak saya sering sekali tidak makan dari rumah karena sibuk memakai jilbab. Waktu yang ia perlukan untuk memakai jilbab sekitar tiga puluh menit, sehingga ia tidak mau makan. Ia sering mengeluh bahwa memakai jilbab itu ribet sekali karena rambut tidak boleh terlihat, padahal dalam agama kami tidak ada peraturan seperti itu. Putri saya mencoba menyamakan dirinya dengan siswa lain di sekolahnya, ia merasa tidak enak jika kepalanya telanjang sendirian, sedang teman-temannya tidak. Tentu jika putri saya tidak makan saya mengkhawatirkan kesehatannya, maka kerugiannya bukan hanya waktu, tetapi juga berdampak pada kesehatan. Yang kedua adalah kerugian materi. Saya harus mengeluarkan anggaran untuk pembelian jilbab paling tidak tiga buah dalan satu bulan sekali yang tadinya tidak ada, harga satu jilbab itu lima belas ribu rupiah. Hal ini adalah kerugian materi bagi saya. Untuk orang Islam yang mengerti hal ini memang baik, katanya aurat itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, kalau perlu semuanya tertutup, hanya matanya saja yang terlihat, tetapi bagi orang Kristen hal ini tidak ada artinya. Jika ingin disamakan, bagi saya peraturan seragam lengan dan rok panjang lebih ada manfaatnya sehingga kulit putri saya bisa lebih mulus.akan tetapi, pemakaian jilbab tidak ada manfaatnya bagi kami, sehingga menurut saya seharusnya ada peraturan yang menyatakan dilarang keras yang non-Muslim memakai jilbab. Sehingga jika kita membawa masalah ini ke forum, tidak ada sanggahan bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan non-Muslim memakai jilbab, tetapi kenyataannya siswa yang non-Muslim harus mengikuti orang banyak. Akan tetapi jika ada peraturan yang menyatakan dilarang keras yang non-Muslim memakai jilbab, nah itu baru peraturan yang oke. Saya sangat berharap sekali karena di sekolah saya ada sekitar 25 orang non-Muslim yang memakai jilbab yang setiap tahun ajaran baru berbondong-bondong datang kepada saya.


Mereka mendatangi saya karena saya Kristen, saya katakan sebenarnya peraturan yang mewajibkan siswa-siswa itu berjilbab tidak ada, tetapi jika mereka merasa nyaman memakai jilbab, saya persilakan, tetapi jika mereka tidak merasa nyaman, ya tidak usah memakai. Namun, karena mereka merasa malu karena hanya mereka yang tidak memakai jilbab, akhirnya mereka ikut menggunakan jilbab. Penggunaan jilbab ini terjadi dengan keadaan terpaksa. Mereka pun sering mengeluh pemakaiannya ribet, dan rugi waktu hanya untuk pemakaian jilbab. Saya pun sudah banyak mendengar laporan siswa agar masalah ini dibawa ke Pak Wali bahwa kami ingin komitmen ke Pak Wali tentang pelarangan yang non-Muslim memakai jilbab.


Siswa-siswa saya sering mengeluh bahwa memakai jilbab tidak ada artinya bagi mereka, sama saja dengan pemakaian Salib kepada umat Islam, dan hal ini adalah penghinaan. Sama halnya dengan jilbab, apakah orang Islam tidak merasa terhina jika oerang Kristen memakai jilbab? Ini laporan dari siswa. Menurut saya, orang yang memakai jilbab adalah orang yang betul-betul patuh terhadap agama, sama dengan yang memakai Salib. Walaupun sebenarnya jilbab ini tidak melambangkan bagaimana moral seseorang, bagaimana tingkat keimanannya, tetapi ini merupakan simbol. Jadi, setiap orang yang memakai jilbab adalah orang yang mengerti betul.


Kami jadi berpikir bahwa peraturan itu sebenarnya menutupi keberadaan kami yang beragama Kristen di sini (Padang). Seharusnya tidak usah ditutupi, jadi terlihat bahwa yang tidak memakai jilbab adalah yang Kristen sehingga terlihat betul-betul bahwa perbedaan itu ada. Semakin banyak perbedaan, di situlah keindahan suatu daerah itu.


Bagaimana perasaan ibu sebagai orang tua saat melihat anaknya menggunakan simbol agama tertentu yang bukan agamanya?
Sebenarnya jauh dari lubuk hati saya melarangnya, tapi karena saya ingin putri saya juga mendapatkan pendidikan negeri, saya memasukkannya ke sekolah negeri.  Awalnya dari TK hingga SMP putri saya sekolah di sekolah Katolik, bukan karena saya tidak mampu lagi menyekolahkan putri saya ke sekolah Katolik, tapi saya ingin Putri saya bergaul dengan orang Muslim juga dan saat SMP putri saya mendapat rangking satu sekota Padang untuk NEM terbaik sehingga saya katakan padanya untuk masuk ke sekolah negeri, waktu itu Putri saya rangking sembilan di SMA 1 Padang untuk penerimaan NEM terbaik. Akan tetapi, ada peraturan wajib berjilbab, Putri saya lalu enggan untuk masuk SMA 1 karena hal itu. Lalu saya katakan padanya bahwa ini peraturan jadi putri saya harus mengikutinya dan saya pun menjelaskan bahwa pakaian hanyalah simbol sehingga tidak mewajibkan dia harus mempelajari Islam karena iman seseorang itu tidak digambarkan dari jilbab dan iman seseorang itu tidak digambarkan dari Salib tetapi iman seseorang itu berada pada hati nurani. Sehingga saya katakan pada putri saya agar ia jangan kalah, ia haus bisa menunjukkan bahwa walaupun ia memakai jilbab, imannya masih teguh mempertahankan agama Kristen. Putri saya itu dididik untuk hidp berdampingan dengan umat agama lain, sehingga ia dapat memahaminya. Sebetulnya jauh di lubuk hati saya hal ini sangat menyiksa. Putri saya sendiri merasa tersiksa dengan peraturan ini, tapi jangan dianggap karena putri saya memakain jilbab, maka ia mengikuti agama orang lain, ia masih tetap mempertahankan keimanannya pada agama Kristen, ia hanya menyesuaikan diri saja.



Sebenarnya anak-anak berasal dari sekolah swasta kurang diminati Perguruan Tinggi, sedangkan di SMA 1

ini, kurang lebih 90% siswanya diterima di Perguruan Tinggi, termasuk UI, UGM, dan banyak PTN lain. Jadi, saya mengarahkan

putri saya yang ingin masuk Fakultas Kedokteran di luar Padang agar ia masuk SMA 1. Sehingga putri saya yang awalnya tidak mau

masuk SMA 1 karena peraturan jilbab ini mau menggunakan jilbab, bahkan jika Minggu sepulang dari gereja ia ingin ke sekolah, ia

yang awalnya memakai rok pendek seperti saya merasa malu jika ke sekolah tidak memakai jilbab karena sudah terbiasa ke sekolah

memakai jilbab, saya merasa hal ini tidak apa-apa, selama putri saya tidak mengikuti agama lain. Yang saya optimalkan adalah

agar Putri saya dan siswa-siswa saya di SMK tidak terkena dampak mental karena memakai jilbab

ini.



================



Wawancara dengan Pdt. Robert Marthin, Ketua PGI Sumatra Barat



Pendeta

saya ingin mengenal lebih dahulu bagaimana kehidupan jemaat Kristen di Kota Padang ini?



Saya hanya bisa memberi

keterangan bahwa hanya terdapat dua puluh tujuh (27) gereja besar dan kecil di kota Padang dari PGPI (Persatuan Gereja

Pantekosta Indonesia) terdapat 24 gereja dan pada umumya kecil-kecil, berupa rumah dan ruko, sementara PGI terdapat 11 jemaat.

Dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan dalam segala hal mereka (para jemaat Kristen) sangat tertekan. Misalnya, para PNS

(Pegawai Negeri Sipil) yang beragama Kristen merasa tidak diberikan kesempatan, lalu dalam kehidupan sehari-hari, umat Kristen

di Padang memang sepertinya“tidak bisa diterima dengan sepenuh hati” oleh masyarakat Padang pada umumnya dan masyarakat

Minangkabau khususnya.



Jangankan masyarakat Kristen, masyarakat yang tidak sesuku pun diperlakukan secara tidak

adil, ini yang terlihat. Di kota Padang ada kurang lebih 22.000 umat Kristen, Katolik dan Protestan, berarti ada 22.000 jiwa.

Anda bisa bayangkan 22.000 umat Kristen dengan kondisi-kondisi yang saya katakan tadi, belum lagi umat Hindu, Budha, dan

penganut kepercayaan kesukuan dan etnis tidak mendapatkan tempat yang benar-benar seharusnya dianggap bagian dari masyarakat di

sini.



Ditambah lagi, siswa-siwi SMP dan SMA non-Muslim yang diharuskan memakai jilbab. Beberapa kasus, siswi-siswi

umat Kristen yang bersekolah di sekolah negeri karena tidak siap untuk memakai jilbab, maka mereka pindah ke luar kota. Dalam

catatan kami, tahun 2005-2006, kurang lebih ada 22 siswi yang harus keluar dari kota ini untuk bersekolah atau mereka kembali

ke kampung meskipun orang tuanya berada di Padang. Secara khusus, sebenarnya bagi umat Kristen, memakai jilbab atau tidak memakai jilbab bukan hal yang mengejutkan, tetapi yang sangat berdampak dan membuat shock adalah ketika siswi-ssiwi Kristen juga harus memakai jilbab. Perlakuan dan komentar tidak adil tidak hanya behenti di sini, meskipun siswi-siswi Kristen sudah memakai jilbab, tidak lepas dari komentar. Misalnya keluar perkataan, orang Kristen kok pakai busana Muslim?


Sehingga banyak siswi-siswi di SMP dan SMA negeri yang mengeluhkan hal ini pada orang tua dan orang tua mengeluhkannya pada kami. Ketika Walikota masuk menjelaskan hal ini di PGI beliau menjelaskan bahwa tidak ada paksaan siswi-siswi non-Muslim untuk memakai jilbab, sayangnya penjelasan ini hanya disampaikan kepada umat Kristen, seharusnya dijelaskan juga kepada Komunitas Kota Padang secara umum dan akan lebih bijak lagi jika disampaikan kepada khalayak ramai (seluruh masyarakat), bukan hanya kepada kaum minoritas Kristen.


Dalam tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pembinaan kerohanian untuk umat Kristen, dapat dikatakan pemerintah sama sekali tidak ada perhatian untuk itu. Umat Kristen untuk memohon perhatian saja harus “mengemis”. Saya belum pernah tahu bahwa pemerintah kota Padang secara sah memberikan bantuan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah yang ada di Sumatera Barat, minus Mentawai tentunya.

…………………..

===============

Wawancara dengan Pdt John Robert Pardede, GMI (Gereja Metodis Indonesia)

Bagaimana respon anda sebagai Pendeta terhadap aturan-aturan yang diberlakukan di Kota Padang yang berdasarkan agama tertentu?


Kami masih menganggap Sumatra Barat masih wilayah Indonesia, mana nasionalisme yang dipakai adalah nasionalisme Indonesia yang berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Dalam undang-undang tersebut telah diakui kebebasan beragama. Dengan terbitnya Perda-perda yang berdasarkan satu agama tertentu yang ada di Sumatra Barat, khususnya di kota Padang, jemaat Kristen tidak setuju dan sangat berkeberatan. Sewaktu Peraturan tersebut terbit, kami dari Gereja menyatakan keberatan kepada pihak pemerintah. Dan waktu itu, Pemerintah dalam hal ini Walikota menjelaskan bahwa Peraturan Busana Muslimah hanya diberlakukan pada umat Islam saja. Namun kenyataan di lapangan, jemaat kami juga diharuskan bahkan diwajibkan mematuhi aturan-aturan itu. Banyak anak-anak jemaat kami yang sekolah di sekolah-sekolah negeri umum yang tidak bisa masuk kelas kalau tidak memakai jilbab. Di sini kami melihat ada perbedaan antara yang disampaikan oleh Walikota dengan apa yang terjadi di lapangan. Saya tidak tahu, di mana letak persoalan sebenarnya.

Apakah anda sering menerima keluhan dari jemaat anda?

Iya, saya sering menerima keluhan dari anggota jemaat atas kejadian ini. Tidak hanya anak-anak Kristen yang diwajibkan memakai jilbab di sekolah-sekolah, namun juga jemaat kamu yang bekerja sebagai PNS terpaksa memakai jilbab. Akhirnya banyak anggota jemaat yang memindahkan anak-anak mereka ke sekolah Kristen dan Katolik, agar mereka tidak merasa terpaksa

Apakah ada penolakan resmi atau perlawanan?

Kami tidak bisa melawan. Kami sadar inilah resiko menjadi kelompok minoritas. Kami hanya terus introspeksi. Kami melihat tidak ada jalan lain kecuali dengan mematuhi aturan ini.
Mau gimana lagi? Ketika saya sering mendapat keluhan dari jemaat, saya hanya bisa membesarkan hati mereka dengan perkataan, “tidak apa-apa tutup kepala kalian dengan jilbab, tapi tutup hati kalian dengan iman kepada Allah kita.”


Bagaimana anda melihat jilbab itu sendiri, apakah sekedar aturan seragam atau ada unsur agama?


Tentu saja kami melihat jilbab sebagai simbol agama yang diharuskan dipakai oleh pemeluk agama lain. Dan kami sering mengingkari hati nurani kami, kami terpaksa memakai simbol-simbol yang tidak kami yakini.

Apakah anda pernah bertanya pada jemaat anda yang terpaksa memakai jilbab?

Sakit. Mereka merasa sakit, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Pernah suatu ketika saya datang ke rumah jemaat, dan anak-anak mereka datang ke sekolah, yang perempuan memakai jilbab. Saya bingung. Hampir saja saya tidak mengenal mereka, karena memakai jilbab. Saya hanya bisa berkomentar dan menyapa “ohh kalian ya, hampir saya tidak mengenal”.

sumber:

http://guntur.name/2008/04/12/laporan-dari-padang-siswi-siswi-kristen-pun-terpaksa-pakai-jilbab/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.