Selasa, 07 Mei 2013

Pendeta


Pendeta.jpg
Hotman J. Lumban Gaol

Kata “pendeta” dalam tradisi gereja, bahkan di Eropa tidak menemukan akar kata yang kuat. Sebutan Pastorlah yang tersemat bagi seorang pelayan Tuhan. Sebutan pendeta hampir tidak pernah disebutkan. Kalau demikian dari mana asal-usul dari gelar atau sebutan pendeta yang dipakai bagi pelayan Tuhan? Panggilan itu, disinyalir merupakan gelar pengakuan terhadap para pemimpin agama di era pasca-Reformasi, kemungkinan di abad ke-17.
Masa reformasi gereja di Eropa, kaum pelayan menyapa rekan sepelayanan dengan sebutan reverend brethren. Jika diterjemahkan bebas disebut “saudara pendeta.” Tak tepat sebenarnya. Namun, kalau kita merujuk gereja mula-mula, kata itu diartikan bebas sebagai pemimpin. Sebutan pendeta, yang dipakai kemudian mengacu kepada sifat dari jabatan, bukan kepada individual.

Jika kita merujuk sejarah, Kristen Indonesia yang memakai pendeta. Kata pendeta lebih dekat dengan sebutan pandita dalam tradisi Hindu. Pandita berubah lapal menjadi pendeta [bahasa Batak:Pandita]. Dalam agama Hindu kata pendeta memiliki kekuatan yang mengikat umat. Pandita adalah insan yang suci. Dilihat dari kemampuannya  memiliki pengetahuan, sikap, dan prilaku yang baik sehari-hari. Bahkan, keputusan ucapannya yang bijaksana.
Pendeta [bahasa Sanskerta: Pandita] berarti brahmana, guru agama dalam tradisi Hindu atau Buddha. Ucapan pandita adalah suara kebenaran, atau darma. Karena itu, ada empat sifat pandita yaitu: Pertama, Sang Satya Wadi artinya selalu membicarakan kebenaran. Kedua, Sang Apta artinya selalu dapat dipercaya. Ketiga, Sang Patirthan artinya tempat memohon kesucian. Empat, Sang Penadahan Upadesa artinya pandita memiliki kewajiban memberi pendidikan moral kepada masyarakat. Oleh karenanya, pandita disebut Adi Guru Loka yaitu guru utama dalam lingkungan masyarakat.
Pandita, berpaling dari pengertian “bhisama.” Lagi-lagi dalam agama Hindu, pada bait kakawin Ramayana disebutkan bahwa bhisama berarti bahaya untuk dilanggar karena bhisama sesuatu yang menakutkan. Berasal dari buah pikiran pandita suci. Artinya ucapan pandita harus ditaati. Pandita juga kata lain daripada pandito, diartikan penempa. Ibarat mpu, si penempa keris dari baja; menempanya di tungku perapian.  Padanan istilah pendeta untuk agama Islam disebut ustadz, untuk Kristen Katolik adalah pastor, sedangkan untuk Buddha adalah biksu  [bahasa Hokkian: boksu].

Tradisi Kristen Indonesia sesungguhnya mengadopsi bahasa Sansekerta, pandita menjadi pendeta. Tidak ada yang salah! Di Minangkabau ulama Islam pernah dipanggil pendeta seperti yang terekam dalam novel Marah Roesli, Siti Noerbaya, itu. Pendeta diartikan memiliki kewajiban untuk menentukan suasana dalam jemaat, sehingga jemaat dapat lebih giat memenuhi panggilannya. Penuntun sebuah komunitas yang belajar-mengajar. Pendeta adalah pengajar jemaat. Ia, juga merupakan seorang pengajar khusus, dimana sang pandito berjibaku melibatkan diri secara langsung.
Alih-alih ucapan pandeta berisi petunjuk, aturan yang bertujuan untuk menata, memantapkan, dan mengarahkan umat. Dalam ruang yang lebih luar berarti penuntun umat. Seorang pendeta mesti mengerti kitab suci, itu satu hal. Hal lain, yang tatkala penting tata pri kehidupannya. Ia, bukan hanya ketika berada di atas mimbar suci dalam tanda petik, tetapi integritasnya diuji di lakon kehidupan sehari-harinya. Maka, kepatutannya memperlihatkan sikap mulia.
Sang pendeta, pemberian sabda didasari oleh pengalaman nyata bersama Tuhan-Nya. Dalam tuntunan agama, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan dipakai sebagai acuan umat. Dan, yang pertama dan yang utama yang menjadi kekuatan di dalam diri pendeta adalah keyakinannya. Jauh di dalam lubuk hatinya, bahwa Tuhan telah memanggil dia menjadi seorang pelayan, bukan untuk dilayani. Jika itu melekat, dialah sang pendeta penuntun umat itu.

Alkitab dengan gamblang menyebut seorang pelayan Tuhan [pendeta] adalah seorang manusia Tuhan. Walau pastor dan pendeta itu hanya jabatan, bukan gelar, karena nantinya setelah selesai mengembankan tugasnya gelar itu bisa pensiun disebut emeritus [bagi perempuan disebut emerita]. Pendeta yang bagi gereja tertentu, mengizinkan pendetanya bertugas seumur hidup.
Khotbah yang terbesar, yang termulia, dan yang terbaik dari yang pernah disampaikan oleh seorang pendeta adalah melalui contoh hidupnya sendiri. Ralp Waldo Emerson berkata, “Apa yang kamu sampaikan begitu nyaring, saya tidak dapat mendengar apa yang kamu katakan.” Tidak ada seorang-pun yang dapat berkotbah lebih tinggi dari suara tangisan terhadap contoh hidupnya sendiri.
Tetapi, umumnya gereja-gereja menetapkan batasan masa seorang pendeta. Yang hendak tidak bisa dilupakan jabatan pendeta itu jabatan yang diurapi Tuhan. Belakangan emeritus sendiri menjadi agak samar, karena ucapan emeritus yang dulunya disematkan pada pendeta, kini di kalangan akademik juga menyebut emeritus bagi professor atau guru besar yang pensiun.
Mengatakan “lakukan apa yang saya katakan” itu yang diucapkan, pendeta. Tetapi alangkah menghujam hinggap menusuk sampai ke hati kalimat Yesus “Perbuatlah seperti yang saya lakukan.” Paulus juga pernah katakan, tidak pernah berhenti menyerukan hal itu, tanpa sebuah keegoisan, untuk mengajak orang-orang yang percaya mengikuti keteladan dalam mencontoh hidupnya.

Jadi, kalau pendeta yang tidak menunjukkan sifat baiknya. Pelayanannya melenceng dari tugas mengarahkan umat, maka patut juga dipertanyakan, yang salah adalah lembaga tempatnya digembleng. Dari mana asal-usulnya, latar belakangnya lembaganya. Kata lain, dari mana asal sekolah sang pendeta tersebut.
Para calon tokoh pemimpin umat itu harus dilatih dengan keras. Para pendeta [pandito]terlebih dahulu digembleng sebelum diberikan tugas. Dulu, cerita pewayangan para panggawa pun harus melewati kancah candradimuka. Cerita pewayangan yaitu tentang cerita Gatotkaca, di mana Gatotkaca direbus dulu di dalam kawah candradimuka, setelah proses itu akhirnya dia memiliki kesaktian otot kawat tulang besi.

Ada pelatihan disiplin bagi mereka yang hendak memimpin umat. Orang yang didik dengan baik dalam candradimuka itu adalah orang yang baik. Sebaliknya pandito yang tidak pernah dididik dengan kedisiplinan terlihat. Calon pandito seperti ini nggak pernah merasakan dikerangkeng, menderita. Kalau tidak pernah dirasakan dipanaskan di atas tungku. Bagaimana menahan sakit! Tungku itu, zaman mondern ini disebut sekolah tinggi teologia. Tempat persemaian hamba-hamba Tuhan. Tetapi lihat, kalau mau jujur lulusan sekolah tinggi teologia seringkali tidak diperhitungkan, atau diberikan hak lebih layak dari lulusan lain.
Itu juga barang kali, konon, katanya, orang Kristen menganggap bahwa sekolah teologia adalah tempat orang-orang yang terakhir. Orang-orang yang tidak lulus seleksi perguruan tinggi biasanya pelariannya mendaftar ke sekolah teologia. Itu bisa dilihat, sejak tahun 80-an penerimaan mahasiswa sekolah tinggi teologia selalu dibuat terakhir. Untuk apa? Menunggu calon mahasiswa “buangan” yang tidak diterima di universitas. Ini salah kaprah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.