Pengetahuan VS Agama
ALLAH menciptakan dunia dalam kondisi kosong dan hanya ada
kegelapan di sekitarnya. Lalu Allah membuat langit dan bumi serta
cakrawala hingga terbentuklah suatu galaksi yang dinamakan galaksi Bima
Sakti. Di dalamnya terdapat berbagai macam tata surya antara lain yaitu
meteor, bintang, bulan, komet, planet dan masih banyak lagi. Kemudian
Allah memisahkan antara gelap dengan terang, dan menciptakan makhluk
hidup: manusia, tumbuhan, dan hewan. Semua ciptaan Tuhan ini sangat
menakjubkan. Manusia adalah ciptaan terindah dan paling berharga di mata
Tuhan. Pernyataan di atas adalah sebagian kecil dari ilmu penge-tahuan
yang telah ditelaah oleh para ilmuwan yang telah melakukan eksperimen
dan memberi kita bukti sehingga kita mempercayainya. Tidak hanya itu
saja namun banyak sekali ilmu yang sudah tertanam dalam otak kita
mengenai apa saja yang ada dalam dunia ini. Banyak sekali hal yang telah
dibuktikan para ilmuwan dengan hasil penemuannya. Bahkan segala sesuatu
yang telah Tuhan ciptakan, di mana manusia tidak punya andil dalam
pembuatannya, dibuat seolah-olah tidak ada campur tangan Tuhan di
dalamnya. Contoh, pernyataan seorang ilmuwan bahwa penciptaan manusia
tidak ada hubungannya dengan Tuhan, namun manusia terbentuk dari seekor
kera yang telah berevolusi, mulai
fase membungkuk dalam wujud kera hingga mencapai fase tegak dalam wujud
seorang manusia. Di sisi lain, ajaran agama tertentu mengatakan bahwa
manusia dibentuk dan diukir tangan Tuhan Yang Mahaesa, dan Dialah yang
menghembuskan napas kehidupan itu bagi manusia. Kedua per-nyataan
tersebut sa-ngat bertentangan. Perbedaan tersebut menimbulkan bebera-pa
pertanyaan: “Mana yang harus kita yakini? Lalu bagaimana kita harus
memperca-yainya? Apakah benar ilmu pengetahuan itu bertentangan de-ngan
agama?
Sebelum menja-wab, mari kita me-ngetahui terlebih dahulu apa
ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu meru-pakan kumpulan pe-ngetahuan yang
telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit
sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan
kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya
berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian
pula tentang baik buruk, semua itu termasuk ilmu yang berpaling kepada
sumber-sumber moral.
“Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah
buta,” kata Einstein. Kebutaan moral ilmu, bisa saja membawa kemanusiaan
ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan
bermuara kepada filsafat, dan relativitas atau kenisbian ilmu
pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama. Filsafat adalah “ilmu
istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab
ilmu pengetahuan karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas
jangkauan ilmu pengetahuan. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia
dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal
integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai: a) hakikat Tuhan, b)
hakikat alam semesta, dan c) hakikat manusia termasuk sikap manusia
terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya
tersebut.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif.
Kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat
dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan
dan filsafat keduanya nisbi (relatif). Ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyelidikan, penga-laman (empiri) dan percobaan
(eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan
cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara radikal
(mengakar), dan integral (me-nyeluruh) serta universal (mengalam), tidak
merasa terikat oleh ikatan apa pun, kecuali ikatan ta-ngannya sendiri
yang disebut ’logika’ manusia dalam men-cari dan mene-mukan kebenaran
dengan dan dalam agama, dengan jalan mempertanyakan pelbagai masalah
asasi dari suatu kepada kitab suci, kondifikasi Firman Allah untuk
manusia.
Di setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas.
Pertama, adanya sikap percaya kepada Yang Suci. Kedua, adanya ritualitas
yang menunjukkan hubungan dengan Yang Suci. Ketiga, adanya doktrin
tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut. Keempat, adanya sikap
yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.
Agama memang tidak mudah
diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan
pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang
universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah
menunjukkan rasa “suci”, dan agama termasuk dalam kategori “hal yang
suci”. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai
yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan
manusia dengan “yang suci” menimbulkan kewajiban, baik untuk
melak-sanakan maupun meninggalkan sesuatu.
Ilmu pengetahuan dan agama
sebenarnya bukanlah suatu perbedaan yang perlu diperde-batkan.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta keunikan
tersendiri. Tidak ada faedahnya apabila kita memper-debatkan antara ilmu
pengetahuan dan agama karena hal itu hanya berdampak sia-sia.
Sesungguhnya hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama tidak perlu
dipersoalkan karena itu semua kembali pada diri kita sendiri. Kita
diberi kehendak bebas oleh Sang Pencipta bukan untuk memilih suatu
pilihan yang hanya digunakan sebagai bahan perbandingan kemudian
diper-debatkan untuk hal yang sia-sia. Kita berhak untuk mempercayai
ilmu pengetahuan begitu pula dengan keberadaan agama. Itu semua
tergantung kepada iman kepercayaan kita masing-masing.
Jadi, apa pun
yang kita yakini, itu merupakan hak kita karena kepercayaan bukanlah
suatu paksaan melainkan suatu dorongan yang timbul dengan sendirinya dan
menjadi rema dalam hidup kita.
Gonita Magdalena
Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.