Teladan Kepemimpinan Yoshua
“Pilih
Tuhan atau Pilih Berhala”, ungkapan lugas, jelas dan tegas dari Yoshua,
seperti disebut dalam Yosua 24:14-18. Sebuah ungkapan yang jika ditilik
dalam konteks kepemimpinan yang tegas akan mendapat makna
luar biasa. Ketegasan seperti Yoshua perlu juga dimiliki oleh para
pemimpin, khususnya pemimpin gereja. Bukan hal mudah mengambil sikap
yang tegas di tengah-tengah bangsa Israel yang sulit diatur. Apalagi
jika melihat sejarah kelam bangsa Israel yang begitu dinamis, penuh
dengan perlawanan, pertobatan dan kembali tidak setia terhadap Tuhan
yang telah membebaskan mereka. Tidak cukup sekali, bangsa Israel lari
dari Tuhan, jatuh-bangun relasi Israel dengan Tuhan. Perselingkuhan
dengan berhala; berbelok ke kiri ke kanan semaunya; lari dari jalan
Tuhan, membuat Tuhan betul-betul murka terhadap mereka. Semua yang
terjadi atas bangsa Israel menjadi pembelajaran penting bagi seorang
Yoshua dalam kepemimpinananya kelak. Sejarah moyangnya menjadi hal
penting bagi Yoshua untuk mengerti hakikat dari kepemimpinan dalam
kebenaran dan kepemimpinan yang tegas. Pemimpin yang tegas seperti
diteladankan oleh Yoshua tampak dalam hal-hal berikut:
Orang
kristen, apalagi dia seorang pemimpin harus benar-benar menentukan
dengan jelas “warna” apa yang dia pilih. Putih, merah, hitam atau
abu-abu; menjadi Kristen atau nonkristen, campuran keduanya, atau ada
bentuk lain lagi, yang terpenting dan terutama adalah kejelasan
warnanya. Termasuk juga keharusan menentukan warna, apakah gereja
sebagai lembaga hendak benar-benar dijadikan sebagai gereja atau
perusahaan. Hal ini penting, sebab gereja seringkali nampak tidak ada
bedanya dengan yayasan. Gereja bahkan tak jauh beda dengan perusahaan.
Pengaturan keuangan, posisi keuangan, bagaimana pertanggungjawabannya
menjadi penanda kondisi ironi gereja.
Secara filosofis tentu saja
hal ini salah kaprah. Betul, uang memang diperlukan untuk mengelola
gereja, tapi tidak sama dengan gereja hidup karena uang. Jika demikian
lalu di manakah Tuhan sang empunya gereja itu. Masakan Tuhan tidak
dapat memperlengkapi gereja dengan cara-Nya. Karena itu yang diperlukan
hanyalah ketaatan kepada Dia dengan sungguh-sungguh, maka Allah pasti
akan mengirimkan kebutuhan itu2. Tegas Posisi
Setiap pelayan
Tuhan, entah itu Pendeta, Pengurus atau Majelis gereja perlu benar-benar
tegas dalam menentukan posisinya, termasuk tujuan apa yang hendak
dituju ketika jabatan itu disandang. Sebab dengan jabatan itu orang
mudah saja mendapuk diri sendiri sebagai Bos atas lainnya. Sebagai
orang penting dalam suatu lembaga seperti gereja mudah saja dia mengatur
orang seenaknya. Pendeta ataupun majelis sesungguhnya adalah pelayan
Tuhan. Sejatinya semua orang, baik itu Jemaat, Majelis pun Pendeta
adalah pelayan atas Tuhan, sang pemilik gereja. Dialah Kristus Yesus
itu. Maka tidak satu orang pun berhak mengatakan “ini gereja saya, saya
yang bangun ini”. Lebih menyedihkan lagi, jemaat, atau orang-orang
menganggap ini bukan sebagai hal yang penting. Bahkan
cenderung permisif, jika itu masih ada dalam naungan kata “pelayanan”,
dengan dalih ini dan itu.
Tentu saja hal seperti ini sangat
membingungkan. Bagaimana mungkin hal itu disebut pelayanan jika
ketidakbenaran dibiarkan. Semua orang di dalam naungan sebuah lembaga
gereja, atau gereja secara organis adalah pelayan. Tetapi tidak berarti
boleh ada pelayan yang murahan. Jika di luar sana tidak dapat berbuat
apa-apa, tidak diterima di mana-mana, lalu mendadak masuk dalam dunia
pelayanan dan berharap diterima. Melayani sudah sepatutnya dengan baik
dan maksimal. Semua melayani dengan profesional, dengan otak yang Tuhan
beri. Juga makasimal dengan harta yang Tuhan perbolehkan kita nikmati.
3. Jelas Tujuan.
Jikalau
warna seorang pemimpin sudah tidak jelas, lalu posisinya pun tidak
tegas, hendak dibawa kemana kepemimpinan dan orang yang dipimpin? Maka
tidak perlu heran jika di kemudian hari tujuannya pun melenceng, lalu
muncul kesulitan, bahkan menghadapi banyak benturan. Nasi sudah menjadi
bubur. Sudah terlanjur. Menghadapinya tak perlu kemudian menjadi
cengeng, kompromisitis, apalagi menjadi bunglon.
Sadar atau tidak,
tanpa tujuan yang jelas, pemimpin justru membawa gereja menjadi bunglon,
menjadi mirip dengan dunia. Meng-copy-paste tradisi dunia bahkan
menjadi sesuatu yang lumrah saja. Bagaimana orang dunia menyanyi, itu
yang ditiru. Bedanya hanya ada pada liriknya saja. Di dunia sana
liriknya bicara tentang diri, tentang aku dan kekuatanku, di sini,
gereja berbicara tentang Yesus Tuhanku. Padahal, sebetulnya spirit yang
berlaku sama saja. Semua sama-sama mencari kenikmatan diri semata,
tanpa memikirkan kesejatian pujian adalah menyenangkan Tuhan. Tujuan
Gereja secara umum adalah menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan
diri. Saya ke gereja untuk menyenangkan Tuhan, dan bukan malah meminta
untuk disenangkan, dipenuhi kebutuhan psikologis dan emosinya.
Menghadapi kondisi ketidak-jelasan tujuan diperlukan teladan pemimpin
dan kepemimpinan ala Yoshua.
Yoshua dengan tegas menantang seluruh
Israel, memilih berhala atau Allah. Memilih cara dunia atau cara
Kristus. Tuhan bagi Yoshua tidak boleh dinomorduakan. Maka dengan
tegas dia berkata: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah
kepada TUHAN”. Patut diacungi jempol apa yang dilakukan oleh
Yoshua. Pilihan tegasnya didasarkan pada kesadaran yang mendasar, bahwa
hidupnya dan keluarganya adalah benar-bbenar seutuhnya milik
Allah. Hidup untuk melayani Allah. Bukan sekadar pilihan sikap
basa-basi semata, tapi benar-benar Yoshua tunjukkan dalam sikap
hidupnya. Untuk itu, sebuah ketegasan perlu sikap hidup yang benar.
Tidak ada cacat-cela yang dikemudian hari dapat ditunjukkan orang.
Dari
pilihan sikap dan ketegasan Yoshua ini dapat dipetik prinsip penting,
bahwa perilaku yang sejalan dengan kebenaran yang dihidupi memberikan
keberanian pada orang untuk bersikap tegas. Dan Yoshua sudah
melakukannya dengan jeli, dengan hebat. Sebab tuntuttan Alkitab
benar-benar sudah gamblang dan jelas “jangan serupa dengan dunia ini”.
Oleh: Pdt. Bigman Sirait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.