Minggu, 05 Mei 2013

Teladan Kepemimpinan Yoshua

Teladan Kepemimpinan Yoshua.jpg
 “Pilih Tuhan atau Pilih Berhala”, ungkapan lugas, jelas dan tegas dari Yoshua, seperti disebut dalam Yosua 24:14-18. Sebuah ungkapan yang jika ditilik dalam konteks kepemimpinan yang tegas akan mendapat makna luar biasa.  Ketegasan seperti Yoshua perlu juga dimiliki oleh para pemimpin, khususnya pemimpin gereja.  Bukan hal mudah mengambil sikap yang tegas di tengah-tengah bangsa Israel yang sulit diatur.  Apalagi jika melihat sejarah kelam bangsa Israel yang begitu dinamis, penuh dengan perlawanan, pertobatan dan kembali tidak setia terhadap Tuhan yang telah membebaskan mereka.  Tidak cukup sekali, bangsa Israel lari dari Tuhan, jatuh-bangun relasi Israel dengan Tuhan.  Perselingkuhan dengan berhala; berbelok ke kiri ke kanan semaunya; lari dari jalan Tuhan, membuat Tuhan betul-betul murka terhadap mereka. Semua yang terjadi atas bangsa Israel menjadi pembelajaran penting bagi seorang Yoshua dalam kepemimpinananya kelak.  Sejarah moyangnya menjadi hal penting bagi Yoshua untuk mengerti hakikat dari kepemimpinan dalam kebenaran dan kepemimpinan yang tegas. Pemimpin yang tegas seperti diteladankan oleh Yoshua tampak dalam hal-hal berikut:

1. Tegas Pilihan Warnanya
Orang kristen, apalagi dia seorang pemimpin harus benar-benar menentukan dengan jelas “warna” apa yang dia pilih.  Putih, merah, hitam atau abu-abu; menjadi Kristen atau nonkristen, campuran keduanya, atau ada bentuk lain lagi, yang terpenting dan terutama adalah kejelasan warnanya.  Termasuk juga keharusan menentukan warna, apakah gereja sebagai lembaga hendak benar-benar dijadikan sebagai gereja atau perusahaan.  Hal ini penting, sebab gereja seringkali nampak tidak ada bedanya dengan yayasan.  Gereja bahkan tak jauh beda dengan perusahaan. Pengaturan keuangan, posisi keuangan, bagaimana pertanggungjawabannya menjadi penanda kondisi ironi gereja.
Secara filosofis tentu saja hal ini salah kaprah.  Betul, uang memang diperlukan untuk mengelola gereja, tapi tidak sama dengan gereja hidup karena uang.  Jika demikian lalu di manakah Tuhan sang empunya gereja itu.  Masakan Tuhan tidak dapat memperlengkapi gereja dengan cara-Nya.  Karena itu yang diperlukan hanyalah ketaatan kepada Dia dengan sungguh-sungguh, maka Allah pasti akan mengirimkan kebutuhan itu

2. Tegas Posisi
Setiap pelayan Tuhan, entah itu Pendeta, Pengurus atau Majelis gereja perlu benar-benar tegas dalam menentukan posisinya, termasuk tujuan apa yang hendak dituju ketika jabatan itu disandang.  Sebab dengan jabatan itu orang mudah saja mendapuk diri sendiri sebagai Bos atas lainnya.  Sebagai orang penting dalam suatu lembaga seperti gereja mudah saja dia mengatur orang seenaknya.  Pendeta ataupun majelis sesungguhnya adalah pelayan Tuhan.  Sejatinya semua orang, baik itu Jemaat, Majelis pun Pendeta adalah pelayan atas Tuhan, sang pemilik gereja. Dialah Kristus Yesus itu. Maka tidak satu orang pun berhak mengatakan “ini gereja saya, saya yang bangun ini”. Lebih menyedihkan lagi, jemaat, atau orang-orang menganggap ini bukan sebagai hal yang penting.  Bahkan cenderung  permisif, jika itu masih ada dalam naungan kata “pelayanan”, dengan dalih ini dan itu.
Tentu saja hal seperti ini sangat membingungkan.  Bagaimana mungkin hal itu disebut pelayanan jika ketidakbenaran dibiarkan.  Semua orang di dalam naungan sebuah lembaga gereja, atau gereja secara organis adalah pelayan.  Tetapi tidak berarti boleh ada pelayan yang murahan.  Jika di luar sana tidak dapat berbuat apa-apa, tidak diterima di mana-mana, lalu mendadak masuk dalam dunia pelayanan dan berharap diterima.  Melayani sudah sepatutnya dengan baik dan maksimal. Semua melayani dengan profesional, dengan otak yang Tuhan beri.  Juga makasimal dengan harta yang Tuhan perbolehkan kita nikmati.

3. Jelas Tujuan.
Jikalau warna seorang pemimpin sudah tidak jelas, lalu posisinya pun tidak tegas, hendak dibawa kemana kepemimpinan dan orang yang dipimpin? Maka tidak perlu heran jika di kemudian hari tujuannya pun melenceng, lalu muncul kesulitan, bahkan menghadapi banyak benturan.  Nasi sudah menjadi bubur.  Sudah terlanjur. Menghadapinya tak perlu kemudian menjadi cengeng, kompromisitis, apalagi menjadi bunglon.
Sadar atau tidak, tanpa tujuan yang jelas, pemimpin justru membawa gereja menjadi bunglon, menjadi mirip dengan dunia.  Meng-copy-paste tradisi dunia bahkan menjadi sesuatu yang lumrah saja.  Bagaimana orang dunia menyanyi, itu yang ditiru.  Bedanya hanya ada pada liriknya saja.  Di dunia sana liriknya bicara tentang diri, tentang aku dan kekuatanku, di sini, gereja berbicara tentang Yesus Tuhanku. Padahal, sebetulnya spirit yang berlaku sama saja.  Semua sama-sama mencari kenikmatan diri semata, tanpa memikirkan kesejatian pujian adalah menyenangkan Tuhan.  Tujuan Gereja secara umum adalah menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan diri.  Saya ke gereja untuk menyenangkan Tuhan, dan bukan malah meminta untuk disenangkan, dipenuhi kebutuhan psikologis dan emosinya. Menghadapi kondisi ketidak-jelasan tujuan diperlukan teladan pemimpin dan kepemimpinan ala Yoshua. 
Yoshua dengan tegas menantang seluruh Israel, memilih berhala atau Allah.  Memilih cara dunia atau cara Kristus.  Tuhan bagi Yoshua tidak boleh dinomorduakan.  Maka dengan tegas dia berkata: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN”.  Patut diacungi jempol apa yang dilakukan oleh Yoshua.  Pilihan tegasnya didasarkan pada kesadaran yang mendasar, bahwa hidupnya dan keluarganya adalah benar-bbenar seutuhnya milik Allah.  Hidup untuk melayani Allah.  Bukan sekadar pilihan sikap basa-basi semata, tapi benar-benar Yoshua tunjukkan dalam sikap hidupnya.  Untuk itu, sebuah ketegasan perlu sikap hidup yang benar. Tidak ada cacat-cela yang dikemudian hari dapat ditunjukkan orang.
Dari pilihan sikap dan ketegasan Yoshua ini dapat dipetik prinsip penting, bahwa perilaku yang sejalan dengan kebenaran yang dihidupi memberikan keberanian pada orang untuk bersikap tegas. Dan Yoshua sudah melakukannya dengan jeli, dengan hebat.  Sebab tuntuttan Alkitab benar-benar sudah gamblang  dan jelas “jangan serupa dengan dunia ini”. 
Oleh: Pdt. Bigman Sirait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.