Seandainya JK
Oleh: Victor Silaen
PILIHAN-pilihan
politik kerap tak bisa dikategorikan sebagai ”yang paling benar” dan
sebaliknya ”yang paling salah”. Kecuali dalam kasus tertentu, seperti
tahun silam saat warga Jakarta memilih Jokowi-Ahok atau
Foke-Nara. Lha sudah tahu Foke itu terduga korupsi (minimal ada 10
laporan korupsi yang masuk ke KPK, belum lagi yang bersumber dari
kasak-kusuk di warung tegal dan arisan keluarga), kok masih dipilih
juga? Makanya, komunitas Kristen yang mendukungnya seraya mendoakannya
di mimbar gerejawi itu cuma dua kemungkinannya: tak berwawasan sama
sekali dan/atau punya kepentingan tertentu dengan Foke.
Terkait itu,
mungkin sebagian besar kita kecewa dengan kinerja Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Bayangkan, karena sikap ragu dan lambannya,
nama SBY kerap dipelesetkan menjadi Soslow Bimbang Youdontyouknow atau
dipendekkan menjadi Presiden Susi. Apa boleh buat, itulah konsekuensi
logis seorang pemimpin yang untuk partai sigap turun-tangan tapi untuk
rakyat siap angkat-tangan.
Karena kekecewaan yang begitu besarnya,
ada orang yang lantas berpikir begini: ”Coba dulu seandainya kita
memilih JK.” Maksudnya, kalau JK (Jusuf Kalla) menang, dia pasti lebih
baik ketimbang SBY yang kurang baik? Hmm... saya ragu. Bacalah berita
yang dikutip dari beberapa situs dan media sosial ini.
Jumat (1/3)
sore kemarin, Pak JK memimpin rapat DMI (Dewan Masjid Indonesia).
Sehabis mahgrib ia cerita bahwa baru saja ceramah di Makasar dalam
konferensi gereja di hadapan 700 pendeta. Dalam sesi tanya-jawab ada
yang tanya tentang GKI Yasmin di Bogor. JK menjawab: “Anda ini sudah
punya 56.000 gereja di seluruh Indonesia, tidak ada masalah, seharusnya
berterima kasih. Pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid,
kenapa urusan satu gereja ini Anda sampai bicara ke seluruh dunia?
Toleransi itu kedua belah pihak, Anda juga harus toleran. Apa salahnya
pembangunan dipindah lokasi sedikit saja. Tuhan tidak masalah kamu mau
doa di mana. Izin membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan wali
kota.”
Lalu ada lagi yang bertanya begini: ”Mengapa di
kantor-kantor mesti ada masjid?” JK pun menjawab tegas: ”Justru ini
dalam rangka menghormati Anda. Jumat, kan tidak libur. Anda libur hari
Minggu untuk kebaktian. Anda bisa kebaktian dengan lima kali shift,
ibadah Jumat cuma sekali. Kalau Anda tidak suka ada masjid di kantor,
apa Anda mau hari liburnya ditukar: Jumat libur, Minggu kerja? Pahami
ini sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen.”
Dalam
acara lain, Launching Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia
2012, di Hotel Akmani, Jakarta (7/3/2013), mantan wakil presiden
2004-2009 ini juga mengatakan toleransi di Indonesia sangat baik. Hal
ini bisa dilihat dan dibuktikan dari beberapa perspektif. Hari libur
nasional adalah hari libur semua agama. “Ini tidak terjadi di negara
mana pun di dunia,” ujar JK.
Dari sisi kepemimpinan, lanjut JK, tahun
2007 ada sepuluh gubernur yang non-muslim dari 33 gubernur di
Indonesia. Saat ini ada delapan gubernur. Dari sisi pemerintahan, pada
zaman Orde Baru, semua kementerian penting pernah dijabat oleh
non-muslim. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin tak pernah terjadi di
Amerika Serikat sekalipun, bahwa ada kementerian strategis dipegang
oleh muslim selaku minoritas di sana.
Memang, JK lebih tegas dan
lebih cepat ketimbang SBY. Kita rindu pemimpin berkarakter seperti itu,
alih-alih pemimpin seperti “bebek lumpuh” dan takut mengambil risiko
pula. Tapi, kalau yang lebih cepat itu termasuk juga cepat bicara, bukan
tak mungkin suatu saat dia memperlihatkan keaslian dirinya. Dan
sayangnya keaslian itu justru ngacodan ngawur. Akhir Juni 2006,
misalnya, JK pernah membuat pernyataan soal janda-janda di Puncak, Jawa
Barat, yang kawin kontrak dengan para lelaki Arab Saudi. Saat itu ia,
selaku wakil presiden, tengah berbicara dalam Simposium Strategi
Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah di hadapan para pengusaha
turisme. JK berkata: “Kalau ada masalah janda di Puncak, itu urusan
lain. Jadi, orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak
bisa memperbaiki keturunan. Nanti bisa mendapat rumah kecil, rumah BTN.
Ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut
meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan
punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep.”
Kutipan
pernyataan JK itu muncul di halaman depan The Jakarta Post. Pembaca
harian ini meliputi kaum intelektual, diplomat dan kalangan
internasional. Tak pelak, aktivis perempuan pun angkat suara. Sekitar 70
organisasi perempuan, termasuk Fatayat Nahdlatul Ulama, Institut Ungu,
Kalyanamitra dan Srikandi Demokrasi Indonesia, langsung menggelar
pertemuan media di Jakarta. Kaukus Perempuan -- kumpulan semua
legislator perempuan di DPR -- berniat memanggil JK.
Ucapan JK itu
ternyata juga dikutip berbagai media internasional, dari yang berbahasa
Inggris hingga Mandarin, dari Jerman hingga Arab. Maka, kantor wakil
presiden pun segera menggelar pertemuan pers guna meredakan kemarahan
orang. Saat itu JK mengakui itu hanya “kelakar”. Ia sama sekali tak
punya keinginan merendahkan perempuan. Benarkah? Bukankah apa yang
terucap mencerminkan apa yang terpikir? Dan kalau seperti itu pikiran
JK, tidakkah itu berarti dia tipikal lelaki peleceh perempuan?
Nah,
sekarang mari kita bicara soal toleransi di Indonesia. JK benar bahwa
rumah ibadah di mana-mana bertambah. Tapi, apa karena itu lalu rumah
ibadah yang sudah sah izinnya bisa direlokasi begitu saja? Apa lantaran
itu lalu GKI Yasmin bisa seenaknya saja disegel dan lalu disuruh pindah?
Ini soal hukum Pak JK. Jadi, kalau benar Anda negarawan, bicaralah
dalam koridor ini – jangan malah seperti preman yang sering melanggar
hukum. Tidakkah Anda paham bahwa Mahkamah Agung, sebagai lembaga
pengadilan tertinggi di negara ini, tahun 2009 sudah memutuskan GKI
Yasmin berhak atas rumah ibadahnya yang telah memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) sejak 13 Juli 2006 itu? Keputusan MA yang
telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) itu selanjutnya diperkuat oleh
Rekomendasi Ombudsman RI tahun 2011, bahwa tindakan penyegelan oleh Wali
Kota Bogor Diani Budiarto merupakan sebentuk mal-administrasi. Tidakkah
itu lebih dari cukup untuk menjamin secara hukum bahwa jemaat GKI
Yasmin berhak atas rumah ibadahnya?
Jadi, Pak JK, kalau mau bicara
soal toleransi, jangan abaikan soal hukum. Sebab kalau tidak, saya
kuatir yang dibicarakan sebenarnya adalah kompromi atau negosiasi. Itu
politik, bukan hukum. Ingat, Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat). Itu berarti, hukum harus menjadi panglima di negara ini.
Sekali lagi, kalau benar Anda negarawan, bicaralah dan berbuatkah demi
tegaknya supremasi hukum. Salah satu faktor perusak Indonesia dewasa ini
kan karena penegakan hukum dan aparat hukumnya berjalan simpang-siur.
Bukan begitu, Pak JK?
Nah, soal Jumat kerja Minggu libur, mengapa
Anda mengatakan itu sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat
Kristen? Lucu sekali. Tidakkah itu merupakan penyesuaian Indonesia
kepada dunia internasional yang telah berabad-abad menetapkannya sebagai
sesuatu yang konvensional? Ataukah, kalau Anda jadi presiden, Minggu
akan Anda jadikan hari kerja sedangkan Jumat hari libur?
Pak JK, saya
kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei selama ini:
bahwa Indonesia memang kian intoleran dari era ke era. Berita dari
situs tempo.co(5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi
Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan,
toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. “Masyarakat
menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi mereka
ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik dan
Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk
“Demokrasi Minim Toleransi”, 5 Juni 2012. Philips mencontohkan,
masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang
berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan
kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. “Ini menunjukkan
tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata
Philips.
Terkait itu tak heran jika Indonesia menjadi sorotan
sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle
di Jenewa, 23 Mei 2012. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era
selalu ada saja gereja yang dirusak/ditutup paksa? Bahkan di era SBY
(2004-2010), ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa
perusakan dan penutupan paksa. Itu baru gereja, belum termasuk rumah
ibadah umat lain semisal Ahmadiyah.
Sementara Human Rights Watch
(HRW) dalam World Report 2013 menyebutkan, selama 2012
Pemerintah Indonesia gagal membela minoritas agama yang terancam dan
para aktivis damai yang dipenjara karena pandangan politik mereka.
Sepanjang 2012, menurut HRW, Pemerintah Indonesia kurang mengambil
tindakan yang memadai terhadap para militan Islam yang memobilisasi
massa untuk menyerang kelompok minoritas agama. Hal senada dikatakan
oleh Setara Institute, bahwa serangan terhadap minoritas agama meningkat
dari 144 kasus pada 2011 menjadi 264 kasus pada 2012. Puluhan
peraturan, termasuk surat keputusan bersama menteri tentang pembangunan
rumah ibadah, menyuburkan diskriminasi dan intoleransi.
Jadi, Pak JK,
lebih bijaklah jika kita dengan rendah hati mengakui bahwa ada yang
salah di negara ini terkait meningkatnya intoleransi dewasa ini. Saya
percaya Anda bisa mencari faktor-faktor penyebabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.