Senin, 06 Mei 2013

Seandainya JK


Seandainya JK.jpg
Oleh:  Victor Silaen
PILIHAN-pilihan politik kerap tak bisa dikategorikan sebagai ”yang paling benar” dan sebaliknya ”yang paling salah”. Kecuali dalam kasus tertentu, seperti tahun silam saat warga Jakarta memilih Jokowi-Ahok atau Foke-Nara. Lha sudah tahu Foke itu terduga korupsi  (minimal ada 10 laporan korupsi yang masuk ke KPK, belum lagi yang bersumber dari kasak-kusuk di warung tegal dan arisan keluarga), kok masih dipilih juga? Makanya, komunitas Kristen yang mendukungnya seraya mendoakannya di mimbar gerejawi itu cuma dua kemungkinannya: tak berwawasan sama sekali dan/atau punya kepentingan tertentu dengan Foke.
Terkait itu, mungkin sebagian besar kita kecewa dengan kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bayangkan, karena sikap ragu dan lambannya, nama SBY kerap dipelesetkan menjadi Soslow Bimbang Youdontyouknow atau dipendekkan menjadi Presiden Susi. Apa boleh buat, itulah konsekuensi logis seorang pemimpin yang untuk partai sigap turun-tangan tapi untuk rakyat siap angkat-tangan.
Karena kekecewaan yang begitu besarnya, ada orang yang lantas berpikir begini: ”Coba dulu seandainya kita memilih JK.” Maksudnya, kalau JK (Jusuf Kalla) menang, dia pasti lebih baik ketimbang SBY yang kurang baik? Hmm... saya ragu. Bacalah berita yang dikutip dari beberapa situs dan media sosial ini.

Jumat (1/3) sore kemarin, Pak JK memimpin rapat DMI (Dewan Masjid Indonesia). Sehabis mahgrib ia cerita bahwa baru saja ceramah di Makasar dalam konferensi gereja di hadapan 700 pendeta. Dalam sesi tanya-jawab ada yang tanya tentang GKI Yasmin di Bogor. JK menjawab: “Anda ini sudah punya 56.000 gereja di seluruh Indonesia, tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih. Pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid, kenapa urusan satu gereja ini Anda sampai bicara ke seluruh dunia? Toleransi itu kedua belah pihak, Anda juga harus toleran. Apa salahnya pembangunan dipindah lokasi sedikit saja. Tuhan tidak masalah kamu mau doa di mana. Izin membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan wali kota.”
     Lalu ada lagi yang bertanya begini: ”Mengapa di kantor-kantor mesti ada masjid?” JK pun menjawab tegas: ”Justru ini dalam rangka menghormati Anda. Jumat, kan tidak libur. Anda libur hari Minggu untuk kebaktian. Anda bisa kebaktian dengan lima kali shift, ibadah Jumat cuma sekali. Kalau Anda tidak suka ada masjid di kantor, apa Anda mau hari liburnya ditukar: Jumat libur, Minggu kerja? Pahami ini sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen.”

Dalam acara lain, Launching Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012, di Hotel Akmani, Jakarta (7/3/2013), mantan wakil presiden 2004-2009 ini juga mengatakan toleransi di Indonesia sangat baik. Hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari beberapa perspektif. Hari libur nasional adalah hari libur semua agama. “Ini tidak terjadi di negara mana pun di dunia,” ujar JK.
Dari sisi kepemimpinan, lanjut JK, tahun 2007 ada sepuluh gubernur yang non-muslim dari 33 gubernur di Indonesia. Saat ini ada delapan gubernur. Dari sisi pemerintahan, pada zaman Orde Baru, semua kementerian penting pernah dijabat oleh non-muslim. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin tak pernah terjadi di Amerika Serikat sekalipun, bahwa ada kementerian strategis dipegang oleh muslim selaku minoritas di sana.

Memang, JK lebih tegas dan lebih cepat ketimbang SBY. Kita rindu pemimpin berkarakter seperti itu, alih-alih pemimpin seperti “bebek lumpuh” dan takut mengambil risiko pula. Tapi, kalau yang lebih cepat itu termasuk juga cepat bicara, bukan tak mungkin suatu saat dia memperlihatkan keaslian dirinya. Dan sayangnya keaslian itu justru ngacodan ngawur. Akhir Juni 2006, misalnya, JK pernah membuat pernyataan soal janda-janda di Puncak, Jawa Barat, yang kawin kontrak dengan para lelaki Arab Saudi. Saat itu ia, selaku wakil presiden, tengah berbicara dalam Simposium Strategi Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah di hadapan para pengusaha turisme. JK berkata: “Kalau ada masalah janda di Puncak, itu urusan lain. Jadi, orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak bisa memperbaiki keturunan. Nanti bisa mendapat rumah kecil, rumah BTN. Ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep.”

     Kutipan pernyataan JK itu muncul di halaman depan The Jakarta Post. Pembaca harian ini meliputi kaum intelektual, diplomat dan kalangan internasional. Tak pelak, aktivis perempuan pun angkat suara. Sekitar 70 organisasi perempuan, termasuk Fatayat Nahdlatul Ulama, Institut Ungu, Kalyanamitra dan Srikandi Demokrasi Indonesia, langsung menggelar pertemuan media di Jakarta. Kaukus Perempuan -- kumpulan semua legislator perempuan di DPR -- berniat memanggil JK.
Ucapan JK itu ternyata juga dikutip berbagai media internasional, dari yang berbahasa Inggris hingga Mandarin, dari Jerman hingga Arab. Maka, kantor wakil presiden pun segera menggelar pertemuan pers guna meredakan kemarahan orang. Saat itu JK mengakui itu hanya “kelakar”. Ia sama sekali tak punya keinginan merendahkan perempuan. Benarkah? Bukankah apa yang terucap mencerminkan apa yang terpikir? Dan kalau seperti itu pikiran JK, tidakkah itu berarti dia tipikal lelaki peleceh perempuan?

Nah, sekarang mari kita bicara soal toleransi di Indonesia. JK benar bahwa rumah ibadah di mana-mana bertambah. Tapi, apa karena itu lalu rumah ibadah yang sudah sah izinnya bisa direlokasi begitu saja? Apa lantaran itu lalu GKI Yasmin bisa seenaknya saja disegel dan lalu disuruh pindah?
Ini soal hukum Pak JK. Jadi, kalau benar Anda negarawan, bicaralah dalam koridor ini – jangan malah seperti preman yang sering melanggar hukum. Tidakkah Anda paham bahwa Mahkamah Agung, sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negara ini, tahun 2009 sudah memutuskan GKI Yasmin berhak atas rumah ibadahnya yang telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 13 Juli 2006 itu? Keputusan MA yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) itu selanjutnya diperkuat oleh Rekomendasi Ombudsman RI tahun 2011, bahwa tindakan penyegelan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto merupakan sebentuk mal-administrasi. Tidakkah itu lebih dari cukup untuk menjamin secara hukum bahwa jemaat GKI Yasmin berhak atas rumah ibadahnya?

Jadi, Pak JK, kalau mau bicara soal toleransi, jangan abaikan soal hukum. Sebab kalau tidak, saya kuatir yang dibicarakan sebenarnya adalah kompromi atau negosiasi. Itu politik, bukan hukum. Ingat, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Itu berarti, hukum harus menjadi panglima di negara ini. Sekali lagi, kalau benar Anda negarawan, bicaralah dan berbuatkah demi tegaknya supremasi hukum. Salah satu faktor perusak Indonesia dewasa ini kan karena penegakan hukum dan aparat hukumnya berjalan simpang-siur. Bukan begitu, Pak JK?
Nah, soal Jumat kerja Minggu libur, mengapa Anda mengatakan itu sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen? Lucu sekali. Tidakkah itu merupakan penyesuaian Indonesia kepada dunia internasional yang telah berabad-abad menetapkannya sebagai sesuatu yang konvensional? Ataukah, kalau Anda jadi presiden, Minggu akan Anda jadikan hari kerja sedangkan Jumat hari libur?

Pak JK, saya kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei selama ini: bahwa Indonesia memang kian intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co(5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. “Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi”, 5 Juni 2012. Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. “Ini menunjukkan tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata Philips.

     Terkait itu tak heran jika Indonesia menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei 2012. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada saja gereja yang dirusak/ditutup paksa? Bahkan di era SBY (2004-2010), ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa. Itu baru gereja, belum termasuk rumah ibadah umat lain semisal Ahmadiyah.
Sementara Human Rights Watch (HRW) dalam World Report 2013 menyebutkan, selama 2012 Pemerintah Indonesia gagal membela minoritas agama yang terancam dan para aktivis damai yang dipenjara karena pandangan politik mereka. Sepanjang 2012, menurut HRW, Pemerintah Indonesia kurang mengambil tindakan yang memadai terhadap para militan Islam yang memobilisasi massa untuk menyerang kelompok minoritas agama. Hal senada dikatakan oleh Setara Institute, bahwa serangan terhadap minoritas agama meningkat dari 144 kasus pada 2011 menjadi 264 kasus pada 2012. Puluhan peraturan, termasuk surat keputusan bersama menteri tentang pembangunan rumah ibadah, menyuburkan diskriminasi dan intoleransi.
Jadi, Pak JK, lebih bijaklah jika kita dengan rendah hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait meningkatnya intoleransi dewasa ini. Saya percaya Anda bisa mencari faktor-faktor penyebabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.